2010 | Dan At The Movies | Page 5 [PDF]

Apalagi dengan berbagai kekurangan teknis yang muncul bakal mengerinyitkan kepala sebagian kalangan yang memahami prosed

5 downloads 17 Views 104KB Size

Recommend Stories


review | Dan At The Movies | Page 92 [PDF]
Ketika dewasa, Blu menjadi satu-satunya spesies jantan yang tersisa. ..... yang terjadi akibat banyaknya pembentukan gas biasanya akan dirasakan penderita yang mengeluh frekuensi buang angin mereka meningkat, dan tak jarang diikuti pula dengan ganggu

2011 | Dan At The Movies | Page 2 [PDF]
Sah, namun meninggalkan benang merah excitement-nya terlalu jauh ke belakang, juga bukan tindakan yang diinginkan banyak orang. .... maupun Melayu Sumatra yang juga mengenal bentuk keseniannya dengan nama sama, dan kontroversial atas penggambaran gej

review | Dan At The Movies | Page 95 [PDF]
Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui ..... cilik Emir Mahira (Garuda Di Dadaku, Melodi) yang sangat meyakinkan dengan cara berdialog dan

MEDIA LAW & ETHICS (at the movies) - School of Communication [PDF]
Sep 30, 2016 - 1.2 Films. There will be viewing of six films in this course to augment understanding of media law and ethics. The films include: • Absence of Malice. • All the President's ..... In-Class Activity: Read syllabus, explain structure

Programme Notes Online At the Movies
Ask yourself: Who is your greatest role model? Next

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

AZ Movies - Foxtel [PDF]
Apr 14, 2017 - BOlT. FOXTEL MOVIES DISNEY 2008 Family. April 3, 7, 13, 18, 23, 26. John Travolta, Miley Cyrus. For super-dog Bolt, every day is filled with adventure, danger and intrigue – at least, until the cameras stop rolling. BOOgie nighTs. MAST

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

Movies > Recently added Conflict resolution Movies - Listal [PDF]
Movies > Recently added Conflict resolution Movies.

Movies > Recently added Conflict resolution Movies - Listal [PDF]
Movies > Recently added Conflict resolution Movies.

Idea Transcript


. . Dan At The Movies . . movie reviews by Daniel Irawan



Archive for 2010 THE SOCIAL NETWORK : SO YOU KNOW THE FACEBOOK HISTORY NOW, DON’T YOU? • November 3, 2010 • 2 Comments Posted in they live!

WALL STREET : MONEY NEVER SLEEPS • October 31, 2010 • Leave a Comment Posted in ordinary people

AKU ATAU DIA? : A SEQUEL TO THE HILARIOUS INDONESIAN ROMCOM, HEARTBREAK.COM • October 28, 2010 • 3 Comments Posted in destinasian : indonesia

RED : ULTIMATELY EXPLOSIVE!! • October 27, 2010 • Leave a Comment Posted in adrenalination

TAKERS : AN INTENSE BUT INCONSISTENT ACTION EXTRAVAGANZA • October 23, 2010 • Leave a Comment Posted in adrenalination

ROKKAP : A BATAK’S LOVE STORY • October 22, 2010 • Leave a Comment Posted in destinasian : indonesia

STEP UP 3D : FOLLOW THE BEATS, FEEL THE EYE-SOAR AND LET YOUR FEET STOMPIN’! • October 12, 2010 • Leave a Comment Posted in and the beat goes on

IRON MAN 2 •May 22, 2010 • Leave a comment IRON MAN 2 Sutradara : Jon Favreau Produksi : Marvel Ent & Paramount Pictures, 2010 Setelah lama ditunggu dengan banyak kabar perombakan kru inti, karakter superhero yang merupakan jawaban Marvel terhadap Batman dari pesaingnya, DC Comics ini, memperoleh sukses besar di tahun 2008 lalu. Di luar hype Dark Knight yang memunculkan standar baru film superhero ke wilayah yang lebih serius, gelap serta dewasa, sutradara mantan komedian Jon Favreau berhasil meracik formulanya dengan tetap mengedepankan faktor fun yang seru ala film superhero umumnya, serta setia pula pada pakem komik dan karakter aslinya. Maka seperti biasa, ekspektasi penonton pun menjulang tinggi pada sekuel yang menjadi pembuka summer blockbuster tahun ini. Peran sentral sang milyuner urakan namun jenius, tetap dibawakan oleh Robert Downey, Jr sebagai bagian dari proyek The Avengers tahun 2012 nanti dimana Marvel bakal menyatukan franchise superhero mereka ke dalam satu film. Iron Man 2 masih melanjutkan film pertamanya, dimana Tony Stark (Downey) tetap tak segan mengklaim identitas superheronya dalam rangka menciptakan perdamaian dunia. Namun kesombongan Stark yang mulai kelimpungan atas efek samping palladium yang mulai menggerogoti kondisinya kali ini mendapat tantangan dari lawan bisnisnya, Justin Hammer (Sam Rockwell), yang bekerjasama dengan Ivan Vanko alias Whiplash (Mickey Rourke),jenius Rusia dengan dendam dua generasi yang mengadaptasi kekuatan palladium Iron Man dengan dua cambuk listrik yang sangat kuat. Belum lagi usaha agen-agen rahasia S.H.I.E.L.D pimpinan Nick Fury (Samuel L. Jackson) dengan agen Natalie Romanova aka Black Widow (Scarlett Johansson) yang disusupkan memata-matai Stark yang ingin ditarik ke satuan itu. Bersama sekretaris setianya, Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) dan sang sahabat, Kolonel Rhodes (kali ini diperankan Don Cheadle menggantikan Terrence Howard yang digeser karena meminta honor lebih dari pemain lainnya), yang muncul mengambil alih kostum War Machine ciptaannya, Stark pun harus memutar otak lebih keras lagi dengan kejeniusan teknologi dan rahasia masa kecilnya untuk menghadapi Whiplash. Seperti Downey yang selalu kelihatan terlalu asyik memasuki karakter-karakter nyeleneh yang hampir sama dengan karakter nyatanya seperti dalam Sherlock Holmes, Favreau kali ini memang terlihat sedikit keluar jalur dengan faktor fun yang kelewat berlebih dari sisi eksplorasi komediknya sampai-sampai ikut memerankan Happy, supir Stark dan menampilkan komedian lawas Garry Shandling. Walau tetap lucu dan menjadi scene-stealer, serta terlihat semakin menjelaskan karakter Stark yang memang urakan seperti di komiknya, mau tak mau sisi ini sedikit banyak mengurangi intensitas adegan-adegan aksi yang dihadirkan. Selain adegan klimaks yang berlangsung kelewat singkat plus adegan-adegan dibalik helmet yang sebenarnya juga ikut menurunkan tensinya, Don Cheadle juga kelihatan tak bisa menyaingi kharisma Howard serta chemistrynya dengan Downey di film sebelumnya. Apa boleh buat, sekuel yang ditunggu ini pun hanya menyisakan pameran efek yang tetap wah, interaksi Downey dengan Paltrow yang semakin kuat di sisi love-interest sang superhero, tampilan sekelebat karakter Black Widow Scarlett Johannson yang menghentak, serta faktor fun yang cukup eksplosif sebagai sebuah blockbuster musim panas. Oops, dan satu lagi, full soundtrack dari band metal 80an AC/DC yang sama menggelegarnya. Namun untuk sebuah sekuel yang lebih menjanjikan dari pendahulunya, mungkin kita harus bersabar menunggu penyatuan formasi tadi dalam The Avengers. Satu tips, mungkin jauh lebih enak untuk menyaksikan versi digitalnya dengan gambar dan sound yang lebih jernih namun hanya hadir di beberapa kota besar itu. O ya, dan jangan tinggalkan bioskop sebelum guliran end creditsnya berakhir (meski kebanyakan bioskop kita suka memotongnya) karena ada sedikit kejutan ala Marvel seperti biasanya disana. (dan) Posted in myths and legends

ALANGKAH LUCUNYA (NEGERI INI) : A SATIRE THAT KNOCKS YOU THAT HARD. •May 22, 2010 • Leave a comment ALANGKAH LUCUNYA (NEGERI INI) : A SATIRE THAT KNOCKS YOU THAT HARD. Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara lucu, mungkin kita semua sudah tahu. Saya juga yakin, ketika orang-orang luar menyaksikan berita di media yang menyangkut kejadian-kejadian di Indonesia, kadang disamping miris karena tindakan-tindakan barbar yang dipertontonkan, mereka juga bakal tertawa dengan rasa tak percaya. Dan menelusuri akar-akarnya kembali, darimana kelucuan itu muncul, pasti bahkan lebih susah dari mencari jarum di tumpukan jerami. Seolah, hampir semua yang ada di negara ini memang dari sananya sudah salah kaprah. Atas protes-protes yang kemudian muncul itulah, seorang Musfar Yasin, penulis skenario pemenang piala citra yang sudah sukses menyuguhkan karya-karya penuh kritik sosialnya pada kita seperti Kiamat Sudah Dekat, Ketika, Naga Bonar Jadi 2 bahkan Get Married itu, menciptakan skenario film ini. Kolaborasinya juga didukung nama-nama besar. Ada Deddy Mizwar, aktor senior yang belakangan kerap memunculkan protes-protes sosial dan reliji hampir di tiap line dialog dalam film-filmnya, di kursi sutradara sekaligus pemain. Kemudian Slamet Rahardjo, Tio Pakusadewo, dan Reza Rahadian, yang kualitas aktingnya sudah sedemikian teruji dari film-film Indonesia pilihan yang turut diperaninya. Dan yang lebih menarik, sekumpulan aktor-aktor cilik yang sebagian kabarnya berprofesi pencopet asli, terjun memerankan diri mereka sendiri seperti yang sudah ditampilkan sebelumnya pada anak-anak nelayan dalam Jermal. Kadang kita tak bisa mengingkari, mereka-mereka ini, yang dituntut menampilkan karakternya sendiri kadang justru tampil jauh lebih wajar ketimbang aktor berpredikat aktor atau hasil tempaan IKJ. Jadi, sudah pasti menarik menyaksikan janji dari kolaborasi itu.

Gelar sarjana manajemen yang disandang Muluk (Reza), putra pak Makbul (Deddy Mizwar) yang berprofesi sebagai penjahit di kampungnya, ternyata bukan jaminan buat memperoleh lapangan kerja. Bosan mencari-cari solusi, terlebih atas desakan Haji Sarbini (Jaja Miharja), ayah calon istrinya, Rahma (Sonia) yang kerap membanding-bandingkannya dengan Jufri (Edwin) yang calon wakil rakyat, Muluk nekat merancang sebuah manajemen baru untuk para pencopet cilik yang hidup di bawah naungan preman Jarot (Tio Pakusadewo). Oleh usahanya yang diganjar 10% dari hasil copet, ternyata copet-copet ini mulai punya tabungan, kendaraan, pendidikan formil dan agama sekaligus lapangan kerja baru buat Samsul (Asrul Dahlan), sarjana pendidikan yang terpuruk jadi penghuni gardu main gaple setiap hari serta Pipit (Tika Bravani), putri Haji Rahmat (Slamet Rahardjo), ustadz bijak di kampung itu, yang terus berkutat dengan kuis majalah dan televisi. Perlahan, Muluk mendorong mereka untuk meninggalkan dunia copet dan beralih ke usaha asongan. Namun muncul masalah baru. Apa lantas ini jadi solusi untuk merubah semua anak-anak itu hidup lebih baik? Lantas juga masalah halal-haram honor mereka yang ditentang tetua-tetua kampung yang notabene orangtua mereka sendiri. Gaya penceritaan dan penggambaran anak-anak pencopet bak Slumdog Millionaire yang digelar sedikit komikal plus dialog-dialog penuh sindiran halus sampai kasar dalam membalut drama komedi satir ini menjadi kekuatan utama untuk komunikasi yang akrab pada para penontonnya. Tampilan copet-copet polos yang tak juga polos, orang jahat yang tak juga sepenuhnya jahat, orang-orang alim yang tak juga alim, orang bijak yang tak juga pintar, semakin menegaskan sisi humanisme tiap karakternya. Protes-protes terhadap masalah sosial, reliji, meski kadang terasa overload, namun di saat yang sama memang seakan belum cukup untuk terus dipertanyakan terkait dengan masalah sehari-hari yang kita hadapi sebagai penghuni negeri ini. Dan adalah sebuah kehebatan seorang Musfar Yasin yang bisa merangkum protes tadi menjadi sebuah jalan cerita yang berjalan runtut, menarik untuk diikuti, serta penuh konflik internal yang tak berlebihan seperti film-film Indonesia biasanya. Protes demi protes yang menjadi jiwa penyusun plotnya tak lantas membuat film ini berjalan terpenggal-penggal seperti Bebek Belur namun di satu sisi terlihat utuh sebagai sebuah premis. Di segmen lain, akting para pendukungnya juga sekaligus jadi kekuatan lain yang semakin membuat film ini begitu pedas menyentuh hati penontonnya. Begitupun, saya sempat berpikir ketika konflik diarahkannya ke arah-arah penghujung film, mengingat ini adalah kolaborasi Musfar dengan Deddy, yang kerap tampil dengan pesan relijius Islami kelewat kental, bahwa mungkin sisi agamisnya akan menjadi pahlawan yang mengakhiri kisah ke ending klise ala film kita, namun saya harus mengakui bahwa sekali ini pikiran itu adalah sebuah kesalahan. Seperti problem-problem berkepanjangan yang menjadi borok biang kerok negara ini hingga semakin terlihat tambah ajaib, Musfar dan Deddy sukses mengeksekusi endingnya tanpa sebuah solusi plong namun justru dengan pertanyaan baru terhadap masalah-masalah lain tanpa jalan keluar sama sekali, dengan latar lagu yang terasa sangat nasionalis berikut tampilan sebuah pasal Undang-Undang Dasar 45 yang terdengar sedemikian sakti namun tak pernah jadi kenyataan pula, “Fakir miskin dan Anak-Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara”. Dan untuk itu, sebuah judul yang diusung terasa begitu berarti menjelaskan jiwa filmnya sendiri, ALANGKAH LUCUNYA (NEGERI INI). So, biarpun negara ini belum lagi sampai ke tahapan bebas seperti yang berkali-kali didengungkan di film ini, lantas faham-faham reliji dan pendidikan pun tak bisa jadi solusi, dan copet-mencopet ternyata punya tingkatan berlapis sebagai metafora kritik sosial itu, just let yourself be free dan selamat sekali lagi, untuk bisa hidup dan menjadi bagian dari beratus juta penghuninya. (dan) Posted in destinasian : indonesia

CINTA 2 HATI : ANOTHER 3 IDIOTS-ESQUE LOVESTORY •May 22, 2010 • Leave a comment CINTA 2 HATI Sutradara : Benni Setiawan Produksi : Wanna B Pictures, 2010 Seperti dokter yang belum bisa mendiagnosa penyakit pasiennya, kebanyakan sineas kita sepertinya masih belum bisa mengatasi permasalahan yang ada di film Indonesia. Dalam sebuah diskusi interaktif, saya pernah mempertanyakan ini secara bergilir pada audiens yang ada. Jawaban mereka beragam. Tapi rata-rata keluhannya, tentu di luar keterpurukan tema yang nyerempet horor dan seks, ada di soal akting. Sinetron sekali, kaku sekali, bahasanya kaku, ekspresi dan intonasinya berlebihan, and so on. Mencari kelemahan memang mungkin hal gampang. Tapi disitulah letak kelemahan film-film kita. Akting dalam pengertian sebuah produk layar lebar, seringkali diselaraskan dengan teater. Maklum, penghasil terbanyak insan film di negara kita adalah IKJ, yang kebanyakan orangnya berbasis sama. Dalam sebuah pre produksi, mereka kerap harus belajar dulu soal intonasi, ekspresi, gestur, gerak, atau apapun itu, yang semuanya bernuansa teatrikal. Jadi tak usah heran kalau rata-rata akting di film kita itu dipenuhi segala sesuatu yang serba over, padahal keakraban komunikasi dalam penyampaian filmis lebih bisa dicapai dari pengadeganan yang dekat pada kehidupan sehari-hari. Berdialog, berbahasa, bergerak, berekspresi dan berintonasi dengan wajar selayaknya percakapan seharihari. Namun lagi, bukan itu sebenarnya yang paling parah. Letak penyakit paling besar ada pada penyusunan plot dan skripnya, yang rata-rata, meski tak semua, penuh dengan plot dengan konflik-konflik yang sangat ‘not believable’, dan kadang perjalanannya tak berjalan runtut. Penuh lompatan yang juga ‘not believable’, dan ini hadirnya di film bergenre drama atau komedi ringan. Tak jarang kita bisa menemukan konflik kecil kemudian dalam skripnya disikapi dengan gaduh gelisah, berteriak-teriak, meraung-raung, and so on. Itulah yang terjadi dalam produksi kedua Wanna B Pictures, yang juga terkenal sebagai label rekaman dimana sang pemeran utama, Afgan, bernaung. Film perdana mereka yang juga disutradarai Benny Setiawan, Bukan Cinta Biasa, harus diakui sebagai film Indonesia yang bagus. Bukan hanya menghadirkan tema baru seperti film-film rom-com keluarga produksi Disney, ada banyak kewajaran disini, yang berhasil dibangun dari premis simpel serta chemistry bagus diantara pendukungnya. Cinta 2 Hati (saya sedikit bingung kata ‘Dilema’yang bersinar-sinar kecil diatas judul itu artinya apa dan harus diletakkan dimana, karena di page fb-nya ada tulisan Cinta 2 Hati Dilema , sementara di sertifikat lolos sensor Dilema Cinta 2 Hati, dan yang muncul di layar ya itu tadi, seperti neon lights mubazir yang justru merusak judul yang cukup catchy, seperti themesongnya yang dinyanyikan Afgan), mengisahkan tentang penyanyi terkenal bernama Alfa (diperankan seperti orang autis oleh Afgan yang kabarnya sudah mendapat pembelajaran dari Didi Petet sebagai acting coach yang namanya terpampang pada kredit, dan saya yakin ini dikhususkan buat Afgan karena aktor lain di film ini sudah teruji kapabilitasnya), yang kerap diganggu seorang fansnya, gadis belia dan cantik bernama Jane (Olivia Jensen). O ya, taraf gangguan itu sudah berjalan seperti ini. Alfa bisa terbangun karena kamarnya dimasuki Jane tanpa ada pengamanan apapun, dan kemudian reaksinya cuma,”Mau Kamu Apa Sih?”, itupun diucapkan dengan flat. Datar. Kemudian dengan satu tangisan, objek gangguan itu bisa luluh, duduk bersama dengan sarapan yang sudah disiapkan Jane. Ini disebut tim pembesutnya dengan sebuah kata bernama obsesi. Yeah, right. Lantas, beberapa menit sekali, Alfa bisa tersadar, mengusir Jane lewat manajer dan asistennya (Jodhy Bejo dan Roy Tobing), sehingga Jane berniat bunuh diri. Dari sini penonton dikenalkan pada sosok konglomerat Bakti Hasan (Deddy Mizwar, ya, Deddy Mizwar, yang membuat saya heran awalnya kali ini mau tampil dengan menanggalkan atribut agamisnya bak seorang ustad seperti biasanya itu), kakek Jane yang bersedia berbuat apa saja demi cucunya. Cerita berkembang lagi memaparkan alasannya. Kedua orangtua Jane, anak dan menantu sang konglomerat sudah meninggal ketika Jane masih kecil. Begitu. Alfa pun lagi-lagi harus mengorbankan apapun itu, untuk menghalangi obsesi Jane tadi. Bakti pun menawarkan imbalan. Awalnya 500 juta, bagi Alfa untuk meladeni Jane. Alfa menolak. Padahal, sebenarnya ia sudah punya kekasih, seorang mahasiswi, Laras (Tika Putri), yang sering makan hati mendapati keadaan ini, bahkan memergoki Jane menginap di apartemen Alfa. Then comes another plot. Jane ternyata menderita kanker (menurut press releasenya kanker pankreas, tanpa ada penjelasan selain Jane yang kerap jatuh memegang perutnya kesakitan). Maka mendadak sontak semua karakter di film ini, dekat atau tidak, kenal atau tidak, bahkan Laras yang menjadi korban paling telak sekali pun, kemudian berlomba-lomba memberikan kebahagiaan pada Jane menjelang akhir hidupnya yang diperkirakan tak lama lagi. Saya jadi teringat film AFFAIR atau AYAT2 CINTA pada beberapa sisi penceritaannya, yang cenderung ‘not believable’ tadi itu. Bedanya, Tika Putri dan Olivia memang terlihat sangat loveable di tengah ketololan karakter mereka, dengan akting lepas dan tak pernah sekalipun terlihat berlebihan, seperti biasanya di film mereka yang lain. Laras sampai memaksa Alfa untuk mencintai Jane walau di depannya, lantas Alfa sebentar mau sebentar menolak, tetap dengan hasil coaching akting dari seorang Didi Petet yang sepertinya gagal total, hingga penonton pun tak bisa menangkap jelas apa maunya. Klimaks berlangsung ketika Jane menemukan titik cerah penyembuhannya dan harus segera dioperasi. Ketika sang dokter yang masih sahabat Bakti (diperankan Dwi Yan) mengoperasi Jane (ah, set dan peralatannya sebenarnya sudah cukup meyakinkan, tapi tak terlihat ada darah di sarung tangan dokter dan perawat yang membongkar perut Jane), Bakti pun kalap. Sambil diceramahi supirnya, Mang Uu (Dalton, yang aktingnya cukup wajar) dengan sedikit dakwah, Bakti berteriak-teriak ke langit mempertanyakan penderitaan bertubi-tubi yang dialami Jane. (Disini saya jadi paham kenapa Deddy mau memerankan Bakti. Pasti ujung-ujungnya dakwah lagi). Dan benar sekali, adegan kemudian menunjukkkan ia ikutan sholat sambil diiringi narasi penuh sesunggukan memohon kesembuhan Jane. Jane sembuh, dan sang kakek jadi rajin sholat. Benar-benar jawaban yang bijak sekali sepertinya dari dialog sama bijak yang dilontarkannya saat mengamuk itu. Kalau permintaan dikabulkan, you go with it. Jadi termasuk kebalikannya. Kalau tidak, you don’t go with it. Begitu ya inti dakwahnya, Om Deddy? (Walau saya tak bisa memungkiri adegan mengamuk di balkon itu juga jadi salah satu adegan terbaik film ini bersama cameo Jaja Miharja yang mengatakan “Kaya Kutubuku begitu lo demenin, gimana Oma Irama?” kepada segerombolan anak kos yang siap menerkam Alfa saat menyambangi Laras di kos-kosannya). Jane pun kemudian sembuh, dan seperti film AFFAIR, Laras bingung karena Alfa sudah berjanji untuk mencintai Jane. Bukan film Indonesia namanya kalau lantas tak bisa menyelesaikan masalah serumit dan se-not believable apapun. Dengan airmata, Jane kemudian merelakan Alfa kembali pada Laras. Menjelang keberangkatannya ke UK, semua saling berpelukan. Well, call it overreacted, tapi memang saya menemukan unsur-unsur pembangun plot dan konflik dalam skrip film ini hampir tak ada satupun yang bisa dipercaya, walau di satu sisi ada some bits di beberapa adegan yang membuat film ini masih cukup layak buat dinikmati. Selain akting Afgan yang terkesan seperti anak autis (kecuali tentu saat menyanyikan beberapa lagu di film ini)dan seakan hanya bisa mengatakan “Apa Sih Maunya Kamu?” tanpa ekspresi/intonasi beratus kali, sehingga menghancur-leburkan chemistry-nya dengan Tika Putri dan Olivia Jensen yang berakting dengan kualitas bertolak belakang, tampilan aktor sekelas Deddy Mizwar juga membuat chemistry-chemistry-an itu terasa semakin jauh. Bukan dari kualitasnya, tapi gaya akting Deddy yang tetap seperti film apapun yang diperankannya di tahun 80an, dengan dialog dan percakapan berbeda gaya itu terasa pincang dengan Olivia yang tampil sewajar apa adanya. Kalau dibilang turnover penyanyi ke akting selalu gagal, rasanya tak benar juga. Marcell, Delon dan terlebih-lebih Ariyo Wahab masing-masing dalam Andai Ia Tahu, Vina Bilang Cinta dan Biarkan Bintang Menari bisa menampilkan akting sebagaimana mestinya kok. Dan kembali ke pesan yang tak tersampaikan dengan baik tadi, coba perhatikan apa yang dilansir dari press release Wanna B. “WannaB yakin Film ini akan memberikan kontribusi yang positif bagi generasi muda untuk menumbuhkan kesadaran akan artinya nilai pengorbanan yang bijaksana dan menyadarkan bahwa ujian dari Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan harta yang dimiliki, demikian menurut H.Naldy Nazar Haroen (Eksekutif Produser). Insya Allah Film yang mulai diproduksi 4 Desember 2009 ini dan akan tayang serentak di bioskopbioskop tanah air pada Maret 2010.” Saya lagi-lagi jadi bingung. Ini sebenarnya komedi romantis atau film dakwah? (DAN) (http://www.kaskus.us/newreply.php? do=newreply&p=191905886) Posted in destinasian : indonesia

CLASH OF THE TITANS : SCREWIN’ WITH THE GODS •May 22, 2010 • Leave a comment CLASH OF THE TITANS (2010) Sutradara : Louis Leterrier Produksi : Warner Bros, 2010 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2010/05/clash-of-the-titans1.jpg) Penggemar film-film sci-fi tempo doeloe pasti tahu benar siapa Ray Harryhausen. Karya-karyanya yang, boleh jadi, bagi sebagian kritikus dianggap tak lebih dari crap dan omongkosong berteknik stopmotion special FX yang serba patah-patah itu, di sisi lain justru berjasa besar dalam sejarah genre ini. Paling tidak, dengan teknik serba terbatas di zamannya itu, ia sudah melahirkan basic yang kuat untuk efek-efek CGI di zaman canggih ini. Clash Of The Titans (1981), satu dari karya-karya terakhirnya sebelum turun tahta, pun begitu juga. Di tengah cercaan yang bergulir, film yang mengupas jelas mitologi dewa-dewa Yunani itu sudah sukses menjadi cult classics yang dihargai banyak sci-fi dan fantasy lovers serta fans mitologinya sendiri. Then comes a remake. Dan oh, ini bukan versi modern yang ditawarkan Percy Jackson and The Olympian Thief yang sedikit banyak merombak karakterisasinya menjadi highschool movies itu. Versi Louis Letterier, sutradara The Incredible Hulk yang sukses merepair cacat Hulk versi Ang Lee itu, kali ini melangkah lebih jauh lagi dengan gempuran CGI yang belakangan diconvert pula mengikuti trend 3D yang sedang marak sekarang. Karakterisasinya sendiri tak berbeda jauh, namun tak demikian dengan plotnya yang sangat mendasar. Sang hero tetaplah seorang demigods bernama Perseus (Sam Worthington), menghadapi makhluk-makhluk bernama Medusa, Kraken dan menyelamatkan sang putri bernama Andromeda (Alexa Davalos), namun kali ini muncul dengan quest yang jauh berbeda. Letterier agaknya kepingin membuat versi baru yang lebih gelap, bahkan menghujat mitologi itu dengan sedikit kurangajar. Zeus (Liam Neeson), head of the Gods council yang suka berkumpul bak tokohtokoh Jedi itu, malah diplesetkan menjadi biangkerok yang memulai semua masalahnya. Bila dalam versi lama Perseus digambarkan lebih sesuai dengan mitologinya, putra Danae, putri Raja Acrisius yang paranoid terhadap suatu ramalan yang bakal mencelakakan dirinya hingga membuang Danae dan Perseus dan kemudian diselamatkan Zeus hingga memancing kecemburuan dewi laut bernama Tethys karena menyebabkan putri Andromeda berpaling dari Calibos, anaknya yang berwajah aneh, versi baru ini menempatkan Perseus sebagai hasil kecabulan Zeus menyetubuhi Danae yang bukan putri tapi istri Acrisius (Jason Flemyng). Villain baru pun dimunculkan. Hades (Ralph Fiennes), saudara Zeus yang tercampak menjadi dewa neraka dan menyimpan dendam terhadap Zeus lantas menyusun suatu rencana dibalik kemarahan manusia terhadap tindakan sesuka hati penciptanya. Lalu, tak ada lagi romance-related antara Perseus dengan Andromeda, karena sekarang ada Io (Gemma Arterton), demigods guardian angel Perseus yang jauh lebih hot. Ada satu lagi. Kemunculan Bubo, burung hantu mekanik buatan dewa pandai besi yang diutus Zeus untuk membantu quest Perseus yang dulu tampil sebagai highlight icon bak Bumblebee-nya Transformers sekarang malah membuat banyak penonton bingung, walau sebenarnya dimaksudkan jadi suatu tribute untuk Harryhausen dan versi lamanya. Dan overall, Tujuan Perseus kini bukan lagi sang putri, tapi sebuah pembalasan dendam terhadap Hades yang sudah membunuh orangtua angkatnya. Promo trailer yang hadir begitu menghentak dengan gelaran efek spesial bernilai big eyecandy itu memang mau tak mau mengundang ekspektasi over para penontonnya, baik yang sudah mengenal versi aslinya maupun penonton belia yang sekedar menyangka ini tiruan Percy Jackson. Dari sisi itu, versi baru ini memang muncul dengan kemegahan CGI luarbiasa. Tampilan monster-monster versi lama yang mungkin semakin terasa kuno di zaman sekarang juga berhasil dipoles dengan mantap, meski banyak juga deja-vu yang muncul dengan tampilan fisik Kraken yang mirip dengan Abomination, musuh Hulk versi Letterier, Stygian Witches yang (lagi-lagi) mirip monster Pan’s Labyrinth, Hades yang mirip Dementor Harry Potter atau Sheikh yang mirip Megatron Transformers . Penceritaannya pun cukup efektif, singkat, padat dan tak bertele-tele. Namun nanti dulu. Sebuah genre fantasi yang sedikit nyerempet karakterisasi superhero seperti ini, sudah pasti memerlukan empati terhadap karakter sentral yang membuat penonton bisa merasa akrab dengan konflik-konfliknya. Itulah yang gagal disampaikan Letterier yang agaknya terlalu asyik mengeksplorasi kegilaannya merombak plot awalnya di sana-sini, dengan tendensi menyamarkan hitam putih penokohan para dewa yang ada, yang cenderung menjadi sosok antagonis yang tak lagi bisa mengundang simpati termasuk ke tujuan akhir misi Perseus yang semakin blur. Kemudian, masih ada kritik buat sebagian orang lagi, efek konversi 2D ke 3D yang dianggap terlalu dipaksakan itu membuat tampilan 3Dnya tak lagi terasa sangat spesial (ini juga ikut dikritik seorang James Cameron tentang kelatahan film-film yang mengikuti trend 3D dengan kecenderungan aji mumpung, padahal ia juga berencana mengkonversi Titanic ke dalam format 3D, walah), terlebih dengan kemunculan subtitle yang sangat mengganggu kenyamanan menikmati visualnya. plus keengganan Sam Worthington tampil dengan bentuk rambut yang berbeda dengan film-filmnya yang lain, yang akhirnya membuat karakternya terasa tak masuk dengan atmosfer setting. However, tanpa harus terlalu banyak menggerutu, sisi visual dan efek spesial itu jugalah yang akhirnya tampil sebagai highlight terbesar yang ditawarkan Clash Of The Titans versi baru ini. For all those, this movie has successfully captured our eyes, but surely not our hearts. (dan) (http://www.kaskus.us/newreply.php? do=newreply&p=189967105) Posted in myths and legends

TE(REKAM) •May 22, 2010 • Leave a comment TE(REKAM) Sutradara : Koya Pagayo Produksi : Starvision, 2010 Ini sedikit cuplikan berita dari film ini: “Yang pasti kita nggak pernah lihat,” jelas Olga yang membuat film tersebut bersama Julia Perez bersama Monique, saat ditemui di Planet Hollywood, Jakarta, Rabu (17/3/2010) malam. Mengenai judul filmnya yang juga mirip, ‘Rec,’ bintang film 33 tahun itu pun membantah jika disebut mencontek. “Kita bingung memang mau dikasih judul apa. Mungkin mirip Rec, tapi judulnya apa dong, jadinya inilah,” urainya. Dikisahkan Olga, dia sebenarnya tidak pernah bermaksud membuat film ‘Te (rekam).’ Mantan model itu mengaku hanya iseng saat mengajak dua temannya, Julia Perez dan Monique, pergi ke sebuah rumah kosong di daerah Gadog, Bogor. Saat itu, Olga dan kawan-kawan sebenarnya hanya berniat untuk melakukan survei sebelum membuat film horor. Namun tiba-tiba terbersit ide untuk merekam semua kegiatannya di sana. Di setiap sudut rumah, juga dipasangi kamera.”Jadi agak kaget juga, dari dokumentasi yg ada, diedit-edit, bisa menjadi suatu film,” jelasnya. Oh, yeah. Saya sempat terperanjak ketika menyadari setelah menonton film ini, bahwa ternyata, setelah Affair yang sembarangan itu, walau sudah ada dua film bagus yang saya nikmati, Green Zone dan How To Train Your Dragon (ah, ada tiga sebenarnya, tapi yang satu agaknya tak layak disebut film), bahwa ternyata kita masih stuck di dunianya Nayato. Alias Koya Pagayo. Alias entah siapa lagi. Kenyataannya, di Indonesia memang hal-hal seperti ini jadi kebiasaan. Istilahnya, tipu-tipu. Dari pemerintahan sampai sineas film pun seperti itu. Bahkan, ketika keadaan yang ada seolah sudah tak memungkinkan mereka untuk menipu, yang namanya tipu-tipu itu tetap muncul. Tapi ada yang lebih parah. Orang-orang lainnya, justru mau ditipu.(Saya jadi ingat sebuah pengalaman saat menunggu Shutter Island diputar di smoking lounge sebuah teater XXI Jakarta, saat ada seorang yang mendatangi saya meminta api. Sambil melihat ke LCD yang memutar trailer Te[rekam] di dalam lounge itu, ia berkata,” Wah, penasaran juga lihat film ini ya Mas. Katanya asli.”) Jadi itulah yang terjadi. Menyaksikan Te[rekam], orang-orang ini, Koya Pagayo bersama bintangnya, Olga Lydia, Monique Henry, dan Julia Perez, maunya membawa penonton ke sebuah pameran horor ala Rec, Paranormal Activity, Cloverfield atau The Blair Witch Project (Dengan berani Koya juga mempertontonkan dvd REC diatas meja Olga). Bedanya, saat film-film tadi diolah dengan satu kamera untuk menekankan kejadian yang seolah tampil nyata, film ini terlihat bertaburan kamera seperti film biasanya, dengan efek dan warna berbeda-beda pula. Kadang biasa, kadang nightvision, bahkan efek yang tak ada di kamera, walau profesional sekalipun. Kemudian, tak hanya itu, ada music score disini. Musik berdebum ala film horor kita biasanya, yang menurut banyak sineas kita, bisa ikut menambah suasana seram. Lantas, Koya juga tampaknya belum bisa meninggalkan gaya editing film-filmnya yang kontras dengan usaha menampilkan keadaan seolah nyata itu. Dan berbeda dengan kebiasaan film luar yang bisa membangun turun naik konflik dan pameran seram tadi dengan wajar, Te[rekam] masih terpuruk di kebiasaan film Indonesia biasanya. Bisa kita lihat orang yang sudah takut setengah mati karena diganggu setan atau semacamnya, di scene berikut berubah kembali tenang bahkan bercanda ria. Kemudian takut lagi. Kemudian ketawa lagi. Kemudian berteriak. Kemudian tenang lagi. Nah, yang terparah, muncul pula hantu-hantu yang maunya mereka diakui sebagai hal nyata yang terjadi saat ‘eksperimen’ tadi berlangsung. Oh, ternyata pemikiran mereka tepat sekali. Hantu asli yang ada di sekitar kita ternyata tampilannya memang sangat Indonesia. Penuh mock-up berantakan. Lantas belum lagi puas, di awal dan akhir film, muncul wawancara dimana mereka dengan eksplisit mau meyakinkan semuanya bahwa yang bakal dan barusan dilihat memang kejadian nyata, dengan ucapan thanks to sutradara dan produser pula, plus tulisan di layar, 13 video rekaman yang ada diedit hingga menjadi film. Kira-kira seperti itu. Okelah, untuk penonton yang mungkin tak mau mengurusi tetek-bengek macam ini, mungkin bisa mengikuti Te[rekam] dengan suasana seram yang cukup menakut-nakuti. Atau, ada komentar lain yang memuji akting Julia Perez. Dibanding Olga dan Monique, ekspresi Jupe memang terlihat sedikit lebih pantas, dan lepas. Selepas-lepasnya sampai mengiringi penampakan hantu-hantu tadi dengan penampakan nipple dibalik tanktopnya. Tapi kembali lagi ke usaha penipuan publik ber-tagline “No Script, No Crew, Only Fear’ dilengkapi dengan (lagi-lagi) komentar ajaib sutradara dan artis-artisnya memuji-muji film mereka sendiri itu, mungkin akhirnya sedikit banyak kita bisa mengerti mengapa ada isu penyelenggaraan akbar Seven Wonders bakal digelar disini. Indonesia memang memiliki banyak keajaiban. Daripada memilih Orangutan, Candi-candi, atau produk alam manapun, nominasikan saja negaranya langsung, mungkin lebih banyak kans buat memenangkannya. Atau, mungkin ini yang terjadi. Buat yang sudah menyaksikan Shutter Island yang meninggalkan open twist di penghujungnya, mungkin itu juga opsinya. Bisajadi aktris-aktris ini di-dope dan dijebak produsernya dalam pengakuan bo’ong-bo’ongan itu, atau dari sananya, semua tim pembesutnya memang sudah gila. (dan) Posted in destinasian : indonesia

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON •May 22, 2010 • Leave a comment HOW TO TRAIN YOUR DRAGON : PLAY A LITTLE PHYSICS, RIDE THE DRAGON AND RULE THE WORLD! Just when you think the show is over dengan Avatar dan Alice In Wonderland, kini bersiaplah menuju Berk, sebuah pulau di dunia masa lalu yang dipenuhi perang tanding Vikings vs Dragons . Indonesia yang mendapat kehormatan untuk menikmati semacam sneak preview versi 3-Dnya setelah Rusia sebelum animasi terbaru Dreamworks ini dirilis worldwide tanggal 26 nanti sayangnya tak didukung dengan promosi melimpah seperti produksi-produksi Dreamworks sebelumnya, KungFu Panda, Madagascar atau Shrek. Antusiasme penonton pun tak terlihat memenuhi hall, termasuk di Medan dimana posternya saja tak terpampang di display. Hanya ada potongan kecil display gantungnya disana. Namun ada sedikit catatan, tak seperti biasanya dimana subtitle masih jadi kendala untuk menikmati tontonan 3-D, How To Train tampil dengan subtitle, yang kenyataannya jadi sedikit mengganggu kenikmatan menikmati visualnya secara keseluruhan. But I guess this is what everybody wants. However, let’s get on with the plot. Animasi yang diadaptasi dari serangkaian novel tahun 2003 karya Cressida Cowell tentang petualangan putra kepala suku Viking bernama aneh, Hiccup (disuarakan Jay Baruchel), ini memulai kisahnya dari sekumpulan naga dalam berbagai subspesies yang kerap menyerang perkampungan Viking di pulau bernama Berk. Berbeda dengan Sang Ayah yang gagah perkasa, Stoick (Gerald Butler), Hiccup hanya punya ambisi besar namun tak dialiri darah brutal para viking. Hingga suatu ketika ia berhasil menembak jatuh seekor naga dari spesies Night Fury yang langka dan berbahaya dengan kanon pengikat, semuanya berubah. Hiccup yang selama ini diremehkan dalam Dragon Training oleh rekan seangkatannya, termasuk Astrid (America ‘Ugly Betty’ Fererra), cewek remaja pemberani, seketika menjadi bintang karena berhasil menjinakkan naga-naga tawanan yang dijadikan bahan latihan mereka. Persahabatannya dengan Toothless, naga terluka itulah yang membuat Hiccup bisa leluasa mengeksplorasi kelemahan naga-naga yang lain. Hiccup yang lebih memiliki otak encer ketimbang otot itu pun menyelamatkan Toothless dengan penemuan-penemuan fisikanya dan menjadi penunggang naga Viking pertama, hingga akhirnya memancing murka Sang Ayah bersama seluruh sukunya. Toothless kemudian ditangkap sebagai umpan para Viking untuk menyerbu sarang naga, dimana seekor ratu naga raksasa berkuasa atas naga-naga yang lain disana. Sekarang, dengan resiko apapun, Hiccup bersama Astrid dan para pendukungnya harus mengakhiri perang yang bisa mengancam kelangsungan generasi mereka. Chris Sanders dan Dean DeBlois, dua sineas pentolan co-writer dan director franchise Disney, Lilo And Stitch, kini hijrah ke Dreamworks untuk membesut How To Train Your Dragon dengan efek animasi 3-D yang muncul sangat menakjubkan seolah menaiki rollercoaster raksasa berkecepatan tinggi dilengkapi visual yang luarbiasa sebagai eyecandy. Di tangan mereka, plot sederhana tadi dirangkai menjadi sebuah tontonan segala umur yang mengalir lancar, lucu, sekaligus seru. Tampilan Toothless dengan gerakan mata yang sangat berbicara seperti Wall-E walau keseluruhan tampangnya mirip seperti Pokemon creature itu merupakan satu nilai plus yang membangun chemistry kompak, lucu namun juga menyentuh dengan kecanggungan karakter Hiccup. Lantas inilah highlight sebenarnya. Sebut semuanya; ketakjuban kita saat menyaksikan Star Wars’ Pod Race, Avatar & Reign Of Fire’s Dragon Riots, Alien’s Freaky Monster’s Nest, Top Gun’s Dog Fight, Starship Troopers’ Spectacular Battleground, Gladiator’s Fastpaced Arena, hingga Superman or E.T.’s Romantic Flying Scene, semua seakan terulang lagi disini dalam metafora adegan berbeda dan membawa kita ke sebuah petualangan dan sensasi baru dunia animasi 3-D. So get yourself ready, fasten your seat and Ride On! Yii-Haaaaaa! (dan) Posted in sunday morning flicks

Hello world! •May 21, 2010 • 1 Comment Welcome to WordPress.com (http://wordpress.com/). This is your first post. Edit or delete it and start blogging! Posted in Uncategorized

Create a free website or blog at WordPress.com.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.