2011 | Dan At The Movies | Page 9 [PDF]

Bahkan Ayat-Ayat Cinta pun masih menyelipkan sindiran dan protes-protes kecil ala Hanung terhadap aspek reliji itu sendi

10 downloads 22 Views 175KB Size

Recommend Stories


2011 | Dan At The Movies | Page 2 [PDF]
Sah, namun meninggalkan benang merah excitement-nya terlalu jauh ke belakang, juga bukan tindakan yang diinginkan banyak orang. .... maupun Melayu Sumatra yang juga mengenal bentuk keseniannya dengan nama sama, dan kontroversial atas penggambaran gej

review | Dan At The Movies | Page 92 [PDF]
Ketika dewasa, Blu menjadi satu-satunya spesies jantan yang tersisa. ..... yang terjadi akibat banyaknya pembentukan gas biasanya akan dirasakan penderita yang mengeluh frekuensi buang angin mereka meningkat, dan tak jarang diikuti pula dengan ganggu

review | Dan At The Movies | Page 95 [PDF]
Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui ..... cilik Emir Mahira (Garuda Di Dadaku, Melodi) yang sangat meyakinkan dengan cara berdialog dan

MEDIA LAW & ETHICS (at the movies) - School of Communication [PDF]
Sep 30, 2016 - 1.2 Films. There will be viewing of six films in this course to augment understanding of media law and ethics. The films include: • Absence of Malice. • All the President's ..... In-Class Activity: Read syllabus, explain structure

Programme Notes Online At the Movies
Ask yourself: Who is your greatest role model? Next

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

AZ Movies - Foxtel [PDF]
Apr 14, 2017 - BOlT. FOXTEL MOVIES DISNEY 2008 Family. April 3, 7, 13, 18, 23, 26. John Travolta, Miley Cyrus. For super-dog Bolt, every day is filled with adventure, danger and intrigue – at least, until the cameras stop rolling. BOOgie nighTs. MAST

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

【2011年9月】(PDF 2.1 MB)
Every block of stone has a statue inside it and it is the task of the sculptor to discover it. Mich

9, 2011 Toronto, Ontario
What we think, what we become. Buddha

Idea Transcript


. . Dan At The Movies . .

movie reviews by Daniel Irawan

Archive for 2011 THE HANGOVER PART 2 : GET STONED ONCE AGAIN! • September 18, 2011 • 1 Comment Posted in on the funny side of the street Tags: Bangkok, Bradley Cooper, due date, Ed Helms, Justin Bartha, Ken Jeong, Mason Lee, Mike Tyson, movie, Nirut Sirijanya, Old School, Paul Giamatti, review, Road Trip, Sickjokes, Thailand, The Hangover Part 2, todd phillips, Zach Galifianakis

TARUNG : CITY OF DARKNESS : THE NAYACTION • September 16, 2011 • 2 Comments Posted in destinasian : indonesia Tags: CInta Dewi, Daud Radex, Ery Sofid, Fight : City Of Darkness, Guntur Triyoga, Krishna Putra, movie, nayato fio nuala, review, Shak Lap Fai, Tarung : City Of Darkness, twitchfilm, Volland Humonggio

MASIH BUKAN CINTA BIASA : SEKUEL POTENSIAL YANG TAK MAKSIMAL • September 15, 2011 • 2 Comments Posted in destinasian : indonesia Tags: afgan, Aline Adita, Anya, Axel Andaviar, benni setiawan, Budi Arab, budi dalton, Bukan Cinta Biasa, Ferdy Taher, joe p project, Masih Bukan Cinta Biasa, movie, Mucle, olivia lubis jensen, review, The Boxis, wulan guritno

RISE OF THE PLANET OF THE APES : THE EMO-LUTION RISINGS • September 12, 2011 • 2 Comments Posted in myths and legends Tags: Alzheimer, Amanda Silver, Andy Serkis, Brian Cox, Caesar, Charlton Heston, David Oleyowo, Freida Pinto, James Franco, John Lithgow, movie, Pierre Boulle, Planet Of The Apes, review, Rick Jaffa, Rise Of The Planet Of The Apes, Rupert Wyatt, Tim Burton, Tom Felton, Tyler Labine

RE-VIEW-SITED : BUKAN CINTA BIASA • September 11, 2011 • Leave a Comment Posted in destinasian : indonesia Tags: afgan, benni setiawan, Bukan Cinta Biasa, Ferdy Taher, joe p project, Olivia Lubis, rocky, wulan guritno

CAPTAIN AMERICA : THE FIRST AVENGER : HEART OF A HERO • September 9, 2011 • 1 Comment Posted in myths and legends Tags: Alan Silvestri, Captain America, Captain America : The First Avenger, Chris Evans, DC Comics, Dominic Cooper, Hayley Atwell, Hugo Weaving, HYDRA, Joe Johnston, Marvel Comics, movie, Red Skull, review, Sebastian Stan, Stan Lee, stanley tucci, the avengers, The Howling Commandos, The Rocketeer, Toby Jones, Tommy Lee Jones, View Master

GET MARRIED TRILOGY • September 2, 2011 • 4 Comments Posted in destinasian : indonesia Tags: aming, cassandra massardi, desta, Fedi Nuril, Get Married, Get Married 2, Get Married 3, hanung bramantyo, ira wibowo, Jaja Miharja, Kimberly Ryder, meriam bellina, Monty Tiwa, movie, musfar yasin, nino fernandez, nirina zubir, ratna riantiarno, review, Richard Kevin, ringgo agus rahman, Slank, trilogy

RE-VIEW-SITED : PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN : SEE IT WITH YOUR HEART OPENS •September 1, 2011 • Leave a comment PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Sutradara : Hanung Bramantyo Produksi : Starvision Plus, 2008 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/09/perempuan-berkalung-sorban.jpg) Selepas Ayat-Ayat Cinta, Hanung Bramantyo agaknya masih setia di tema reliji. Tapi nanti dulu, apakah latar belakang reliji itu lantas tampil utuh sebagai film relijius? Bahkan Ayat-Ayat Cinta pun masih menyelipkan sindiran dan protes-protes kecil ala Hanung terhadap aspek reliji itu sendiri. Tak banyak mungkin yang menyadari bahwa apa yang disampaikan lewat karyakaryanya justru berpotensi mengundang kontroversi, walau balutan romansa dalam AAC bisa menyapu bersih semua protes-protes kecil itu. Begitupun film terbaru Hanung yang diangkat dari novel karya Abidah El Khalifqi yang bernuansa Islami namun berisi protes pada persepsi sebagian pemeluknya yang menempatkan perempuan di posisi kelas dua dalam kehidupan itu. Potensi kontroversial lain bagi sebagian pihak lagi, adalah media yang dipilih tokoh utamanya sebagai senjata bagi perjuangan kesetaraan gender itu, buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang memang kontroversial karena dituding beraliran kiri. Latar belakang Pramoedya yang aktif di Lekra yang dimotori PKI itu membuatnya sedikit banyak menampilkan banyak aspek sosialis dan keinginan bebas dari keterkungkungan sehingga terus menerus diganjar pembredelan dan kehidupan bui. Banyak karya Pramoedya memang bernafas seperti tulisan-tulisan R.A. Kartini yang menyuarakan kesetaraan gender, dan seperti diakuinya sendiri, kedekatannya dengan sosok sang Ibu-lah yang melatarbelakangi tema-tema ini. Sejak kecil, Annisa (Revalina S.Temat) sudah terlihat tak setuju dengan paham konservatif agamanya yang tak memberi kesempatan lebih buat kaumnya, meski ia hidup di lingkungan pesantren putri milik ayahnya yang seorang kyai (Joshua Pandelaky). Anissa menyaksikan lekat-lekat, bagaimana ibunya (Widyawati) kerap diam saja atas penindasan itu, dan ia pun tak bisa menolak saat dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) yang tak juga memperlakukannya dengan layak. Impian Anissa untuk bersanding dengan Khudori (Oka Antara), sahabat kecil yang masih punya hubungan darah dengannya serta kuliah ke Jogja akhirnya kembali menyeruak saat Samsudin mempoligaminya diikuti kepulangan Khudori dari kuliahnya di Kairo. Bersama Khudori, Annisa akhirnya menyadari takdirnya untuk berjuang dengan caranya sendiri demi mendobrak kesetaraan itu. Mungkin memang tak mudah menerjemahkan novel dengan rentang waktu panjang ke sebuah film ber-masaputar standar. Meski dibalut nuansa reliji, bagian-bagian awal tak terlihat jauh berbeda dengan pakem standar film Indonesia sejak dulu tentang istri tersia-sia yang mencoba bangkit melawan nasibnya, namun akhirnya Hanung sampai juga pada bagian yang berbicara lantang tentang nafas utama plot karya ini yang sangat mengusung semangat feminisme. Seperti karya-karya Pramoedya yang tak terlalu jauh berbicara tentang kalah menang perjuangan itu, Perempuan Berkalung Sorban sudah lebih dari cukup membahas makna mendalamnya yang memang tak bisa ditelan serenyah AAC. Semua pendukungnya berakting dengan baik, termasuk Revalina, aktris senior Widyawati, Reza Rahadian yang mencuri perhatian dan saya yakin akan menanjak ke depannya nanti, kecuali Oka yang kadang terlihat sulit menghandle beban karakternya hingga tak tampil sesantai biasanya. Toh akhirnya kembali lagi ke sikap masing-masing untuk bisa menerima tontonan seperti ini dengan sedikit terbuka, meski resikonya tak jauh dari pandangan kontroversial buat sebagian orang. (dan) from my old blog @ http://www.danieldokter.multiply.com (http://www.danieldokter.multiply.com) Posted in destinasian : indonesia Tags: Abidah El-Khalifqi, hanung bramantyo, Joshua Pandelaky, movie, Oka Antara, perempuan berkalung sorban, Pramoedya Ananta Toer, revalina s.temat, review, reza rahadian, widyawati

RE-VIEW-SITED : MY NAME IS KHAN : HOW FAR WOULD YOU GO FOR SOMEONE YOU LOVE? •August 30, 2011 • Leave a comment MY NAME IS KHAN Sutradara : Karan Johar Produksi : Dharma Productions & Fox Searchlight, 2010 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/my-name-is-khan.jpg) So What’s So Good About Karan Johar? Sutradara film India fenomenal Kuch Kuch Hota Hai yang hanya muncul sekali dalam hitungan 3-4 tahun (sebagai sutradara, bukan produser) ini memang selalu meninggalkan karya yang banyak dibicarakan orang, dipuji di sana-sini bahkan membuat banyak penontonnya tak cukup hanya menonton sekali. Apakah visual yang bagus dan artistik? Tidak juga. Is it a criterion quality or festival feed? Ah, semua filmnya malah tergolong film komersil. Atau pengaruh Shah Rukh Khan sebagai muse-nya? Hmmm… bisa jadi, tapi tak juga terlalu tepat. Here’s one good answer. Komunikatif. Yup, seperti storyteller yang bisa membuat orang tak berpaling ketika ia bercerita, itulah Karan. Powernya ada disana. Dengan kemampuan itu, Karan bisa bergerak luarbiasa leluasa untuk mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Jangan pungkiri seketika Anda bisa merasa jengah dihujani bombastisme emosi ketika Karan melangkah terlalu jauh dari apa yang ingin disampaikannya, namun di saat yang sama ia kembali membuat semua pelarian itu terasa believable, dan Anda pun kembali merasa nyaman mendengarkan alurnya kembali, bahkan ketika Anda sadar hampir tiga jam atau lebih waktu Anda sudah tersita dengan ceritanya. Dan memang ada benarnya, salah satu amunisi itu juga ada di kharisma Shah Rukh, yang bisa jadi sangat klop memvisualkan kemauan Karan. Dengan sutradara yang lain, Shah Rukh tak selamanya bisa terlihat begitu sempurna. Apalagi, bila didampingi seorang Kajol, yang punya overpower chemistry dengannya. Setelah dihujani protes masalah moralisme lewat film terakhirnya, Kabhi Alvida Naa Kehna, yang tetap melaju mulus di perolehan box office luarIndia, seakan tak peduli, Karan’s now taking a step forward. Sebuah tema yang berani, yang menyimpan pemicu SARA di banyak sisi plotnya, namun sekaligus bisa berlindung di sebuah pesan bijak. Tak ada lagi lagu dan tari yang biasa menghiasi film Bollywood (don’t get me wrong, tetap ada lagu tapi berdiri sendiri sebagai soundtrack tanpa tampilan musikal, dan inisial awal judulnya pun tak lagi dimulai dengan huruf K yang seakan jadi senjata ampuhnya.

Sebagai individu yang terlahir dengan Asperger’s Syndrome, sebuah bentuk autisme yang membuatnya sulit bersosialisasi layaknya manusia normal, Risvan Khan (Shah Rukh) dididik dengan baik oleh sang ibu sebagai seorang muslim yang bisa terbuka menerima semua perbedaan di sekelilingnya, hingga mengejar mimpinya ke San Fransisco. Itulah yang membuatnya bisa mencuri hati seorang wanita Hindu, Mandira (Kajol), janda dengan satu anak bernama Sameer, yang bisa menerima semua kekurangan Risvan. Mereka pun menikah, dengan karir keduanya yang semakin menanjak. Ketika tragedi 9/11 terjadi, semuanya berubah, sampai akhirnya Sameer menjadi korban rasis di sekolahnya. Ia mengalami ‘spleen rupture’ (di teks tertulis berkalikali, patah tulang iga. pembuat teksnya, Narain Topandas, yang menjadi langganan pembuat teks film-film Bollywood, mungkin tak mengerti term ini tapi malas bertanya, jadi hanya mengira-ngira saja. Next time you better consult your english teacher again) ketika dikeroyok sampai meninggal. Mandira pun galau oleh identitas barunya dengan nama Khan di belakang namanya. Risvan kemudian diusir dari kehidupannya, dengan sebuah janji yang ditanggapi dengan latar belakang autis tadi, untuk menemui Presiden AS dan mengatakan “My name is Khan, I’m not a terrorist”. Pengembaraan Risvan pun dimulai, hingga sebuah ketulusan hatinya membantu korban badai di sebuah desa kecil di Georgia mendapat sorotan media. Baginya hanya ada satu motivasi, menyelesaikan tugas tadi untuk dapat membuat Mandira melupakan kemarahan dan kembali ke hatinya. Seperti biasa, Karan me-wrapped My Name Is Khan dengan kemampuannya mengaduk-aduk emosi penontonnya. Ia tak lagi bicara tentang cinta se-langsung dan se-lepas dalam Kuch Kuch, Kabhi Khushi Kabhie Gham bahkan Kabhi Alvida Naa Kehna, namun justru mengalihkannya pada pesan antirasisme antar reliji dengan lantang hingga ada sebuah dialog keras yang tak dibubuhi teks karena mungkin takut menyinggung. Namun Karan tetaplah Karan. Sejauh apapun ia memutar langkah untuk menyampaikan ide-idenya, apalagi dengan tampilan Shah Rukh dan Kajol yang kembali menunjukkan kualitas one of the best on-screen couple ever made, semuanya kembali pada sebuah pesan paling universal. Tentang Cinta. Seperti filmnya yang lain, dimana Karan bisa mengeksplorasi seluruh kekuatannya dengan bebas. In the end, it’s still a typical Karan. It’s all about How Far Would You Go For Someone You Love. (dan) from my old blog at : http://www.danieldokter.multiply.com (http://www.danieldokter.multiply.com) Posted in destinasian : india Tags: Asperger's Syndrome, Kabhi Alvida Naa Kehna, Kabhi Khushi Kabhie Gham, Kajol, Karan Johar, kuch kuch hota hai, My Name Is Khan, Shah Rukh Khan

ZINDAGI NA MILEGI DOBARA : LIVE YOUR MOMENT •August 28, 2011 • 5 Comments ZINDAGI NA MILEGI DOBARA Sutradara : Zoya Akhtar Produksi : Eros International & Excel Entertainment, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/zindagi-na-milegi-dobara.jpg) If you do think all about Bollywood is only cheesy-ness, think again. Sedikit banyak, resep serba meriah yang mengangkat perfilman mereka ke masa-masa gemilangnya di Asia tahun 7080an dulu, termasuk Indonesia yang hobi comot sana comot sini, memang masih dipertahankan sampai sekarang. Satu yang kembali pasca kembang-kempis nafas mereka, Kuch Kuch Hota Hai, juga tak jauh-jauh dari sana. Namun gerakan non-mainstream mereka juga masih terus berjalan sampai sekarang, meski luput dari perhatian kebanyakan penonton luar, dengan polesan yang sedikit lebih berkompromi ke pasar. Like a new wave of filmmaking, sekarang, citranya yang semakin terangkat ke dunia internasional, masih menyisakan sineas-sineas yang tak lagi hanya berorientasi di hal komersil. Tanpa action berlebihan dengan hero yang tak kunjung mati setelah tertembus belasan peluru, airmata yang tumpah ruah dengan dramatisasi over, konflik yang lebih datar. Tapi tetap bisa masuk ke kalangan penonton mainstream, dari cast bintang terkenal yang semakin berlomba tampil di film-film yang resepsinya baik di festival-festival internasional, serta ya, meski tak sebanyak dulu, tetap ada sequence lagu. Selain Aamir Khan, sineas new wave style itu adalah Farhan Akhtar. Putra dari sineas senior Javed Akhtar ini mulai menanjak lewat debut penyutradaraannya di Dil Chahta Hai yang juga dibintangi Aamir, lantas diikuti Lakhsya-nya Hrithik Roshan dan remake Don-nya Shahrukh Khan. Multitalentanya di bawah bendera Excel miliknya kini membawa Farhan banting stir lebih sering tampil sebagai aktor, dan membawa Zoya, saudari kembarnya yang sebelumnya sering jadi casting director di film-film terkenal termasuk Kamasutra, ke kursi sutradara. Setelah Luck By Chance, film bergenre new wave yang juga dibintangi Farhan, Zindagi Na Milegi Dobara ini adalah karya kedua Zoya. Tipikal film Bollywood yang akrab dengan resepsi internasional, award-award lokal, serta juga punya potensi gede di box office. Farhan kini menggandeng Hrithik kembali, yang banyak dibilang punya kemiripan fisik dengannya, dan generasi baru keluarga Dharmendra setelah Sunny dan Bobby, keponakannya, Abhay Deol. Ini adalah sebuah road movie tentang pencarian jatidiri tiga sahabat di awal pendewasaan mereka. Sedikit bromance, plus Bollywood’s beautiest actress these days, Katrina Kaif.

Di ambang pernikahannya dengan Natasha (Kalki Koechlin), Kabir (Abhay Deol) merancang bachelor trip bersama sahabat masa SMU-nya, Imraan (Farhan Akhtar), serta Arjun (Hrithik Roshan) yang sudah menjadi pialang workaholic sehingga tak hadir di acara pertunangannya. Padahal, Arjun sebenarnya tengah dilanda kegalauan karena diputuskan kekasihnya akibat kesibukannya. Sementara, hubungannya dengan Imraan pun masih naik turun karena masalah wanita di masa lalu mereka. Sasaran mereka adalah menelusuri Spanyol selama tiga minggu penuh, plus sedikit adrenalin untuk mencoba extreme sports. Pilihan Kabir ke deep sea diving membawa mereka pada seorang instruktur cantik blasteran Inggris, Laila (Katrina Kaif) yang dengan cepat mengalahkan ketakutan Arjun terhadap air. Laila kemudian mengenalkan sahabatnya Nuria (Ariadna Cabrol) yang kemudian dekat dengan Imraan, dan ikut serta dalam trip itu. Perasaan Arjun terhadap Laila juga mulai membuatnya berusaha lebih menikmati hidup. Semua berjalan sempurna hingga Natasha mencurigai Kabir berselingkuh dengan Laila dan menyusul kesana. Sikapnya yang penuh kontrol menyebabkan Arjun dan Imraan jengah sekaligus membuat Kabir berpikir ulang atas pilihannya. Sementara, masih ada petualangan skydiving atas pilihan Arjun menanti mereka, serta Imraan yang memilih adrenalin tertinggi setelah akhirnya berjumpa dengan ayah biologisnya, Salman (Naseerudin Shah) yang membuka rahasia perpisahannya dengan sang ibu. Sebuah bull run di Pamplona, Spanyol. Petualangan ini kemudian menyadarkan mereka atas pilihan-pilihan hidup sebenarnya, sementara Kabir juga harus segera memutuskan keraguan hatinya terhadap Natasha di ambang pesta pernikahan mereka. Yup, plot road movie tentang sebuah arti hidup dan persahabatan ini memang simpel-simpel saja, dan Zoya yang juga menulis skripnya sudah jelas menitikberatkan jualannya pada highlight adegan tiga pilihan sport yang intensitas extremenya sesuai anak tangga itu, panorama indah sepanjang jalanan kota-kota di Spanyol dan tentunya pameran castnya yang sedang jadi idola di Bollywood. Namun untuk bisa membuat penontonnya bertahan di masa putar film India biasanya, hampir dua setengah jam, Zoya ternyata punya senjata lain atas pilihan plot yang sekilas hanya bromance biasa. Untuk sebagian, bisa saja terasa a little bit draggy, namun dibalik itu Zindagi Na Milegi Dobara punya makna mendalam atas perasaan banyak orang di ambang usia yang sama, yang akhirnya membuat apapun yang ditampilkannya di layar bisa terasa akrab dengan cepat sekaligus komunikatif sebagai problem yang ditemui sehari-hari. It’s everyone’s fear of being grown-ups and settled, choices in life and renewed vows of any broken relationships. Gambaran dilematis tiap karakter yang tergambar dengan wajar tanpa harus didramatisir berlebihan seperti biasa mampu dibawakan aktor-aktrisnya dengan kewajaran yang sama, dan itu yang membuat pesannya jadi terasa berarti. Apalagi paras barisan castnya cukup seimbang membagi selera penonton pria dan wanita di kelas yang hampir sama, walau di tangan seorang penulis wanita, tema bromance bisajadi terasa lebih halus dan sensitif bagi sebagian pemirsa. And finally, ketika skor, track lagu dan tari-tarian sebagai resep klasik yang dibesut trio Shankar-Ehsaan-Loy bisa tampil sebagai pengiring yang bagus dengan campuran style flamenco sesuai setnya, plus beberapa yang dinyanyikan langsung oleh pemerannya termasuk Hrithik-Farhan-Abhay sendiri, you really wouldn’t say no to this. Seperti judulnya yang kira-kira punya arti ‘you won’t get life back again’, so live the moment as well. (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/zindagi-na-milegi-dobara-poster.jpg) Posted in destinasian : india Tags: Abhay Deol, Ariadna Cabrol, bromance, Farhan Akhtar, hrithik roshan, Kalki Koechlin, Katrina Kaif, movie, Nasseerudin Shah, review, Senorita, Shankar Ehsaan Loy, Zindagi Na Milegi Dobara, Zoya Akhtar

KEJARLAH JODOH KAU KUTANGKAP : SI KABAYAN KW2 •August 28, 2011 • 1 Comment KEJARLAH JODOH KAU KUTANGKAP Sutradara : Indrayanto Kurniawan Produksi : Mitra Pictures & Big Production, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/kejarlah-jodoh-kau-kutangkap.jpg) Kalau ada yang bilang komedi slapstick itu menyepelekan logika, saya tak akan membantah. Memang seperti itu adanya. Komedi slapstick itu klise, itu juga benar. Orang ketabrak pintu kaca, orang terpeleset kulit pisang, kepala ketimpuk bola, ditampar sampai melayang dan muter-muter, mimik yang ditolol-tololkan, intip-intipan sampai komedi buang air, those are slapsticks. Plotnya juga biasa sama klisenya? Nah itu juga benar. Bahkan mau bicara yang legendaris sekali pun, pakem-pakem cerita orang kampung datang ke kota serta gap-gap yang sama seperti si jelek naksir si cantik, si kampung naksir si kota, dari jaman baheulak juga sudah begitu terus. Formula lain adalah menjual kekurangan. Orang jelek, orang kampung, orang aneh, kelewat gemuk atau kelewat kurus, banci-bancian dan sejuta kekurangan lain akan mendapat porsi eksploitatif paling gede. Jadi bulan-bulanan dengan satu tujuan. Memancing tawa. Tapi ingat satu. Bahwa slapstick tak harus berarti kacrut, kalau fondasi dan bangunannya benar. Menyepelekan logika boleh saja dalam sebuah komedi, tapi konteks memaksa orang yang tidak bodoh harus berpikir bodoh, itu tolol. Semua ada batasnya untuk bisa jadi believable. Inilah yang selalu jadi sandungan dalam banyak komedi slapstick kita, sama seperti tema-tema lain yang suka konflik dan reaksinya serba over. Maunya diramu dengan sempalan dramatis dengan skor musik yang entah apa maksudnya, atau dibesut dengan pesan-pesan dengan cara yang sama sekali tak masuk akal. Kalau setnya di dunia antah berantah dengan unsur fantasi, monggo, silahkan. Tapi ketika berhadapan dengan realita,ah, yang benar-benar saja. Silahkan membangun komedinya tanpa logika. Itu akan mengundang tawa. Tapi ketika seluruh plot dan pengadeganannya pun dibangun tanpa logika, that’s a meh! Kalau masih perlu contoh, tengok kembali Si Kabayan versi Kang Ibing atau Didi Petet. Atau komedi-komedinya Jim Carrey dan Adam Sandler. Atau Sex And Zero-nya Korea, yang lebih berhasil lagi meramu dramatisasi pas di tengah slapstick kacau-balau. Tak ada jalan lain yang harus ditempuh Asep (Andhika Pratama), anak juragan kaya di Desa Endah Pisan selain melarikan diri saat dijodohkan ibunya (Lydia Kandou) dengan Enok (Pretty Asmara) yang bertubuh bomber. Bersama pamannya yang mengejar (Joe P-Project, credited as Drs. Joehana Sutisna), mereka kemudian bertemu dengan sekumpulan model yang kena protes warga desa di lokasi pemotretan. Asep yang menyelamatkan mereka dari kemarahan warga lantas jatuh cinta pada pandangan pertama pada Farah (Donita), salah satu model itu dan menawarkan pertolongan kala mobil mereka mogok. Perasaannya pun jadi kian dalam, sampai memberanikan diri merantau ke Jakarta untuk menyusul Farah. Gap yang muncul antara Asep yang udik dan taat agama dengan Farah yang menjalani kehidupan metropolisnya pun saling bertubrukan, namun usaha Asep yang tak kenal menyerah lama-lama meluluhkan juga hati Farah serta ibunya sendiri. Tapi masih ada satu halangan dari Brandon (Bertrand Antolin), mantan Farah yang terus mencoba kembali sementara Asep, meski sudah dibantu supir taksi (Polo) dan seorang nazir mesjid (Mucle) dan sang paman, tetap tak berani mengutarakan perasaan sebenarnya. Sementara Farah juga menyimpan sebuah rahasia dibalik kehidupannya yang serba glamour. Kalau dalam sebuah modul blok kurikulum universitas, kata kunci dalam permasalahan konflik yang dihadirkan ini adalah ‘believable’. Seperti kebanyakan film-film kita yang tak pernah bisa beranjak dari plot serta karakter yang wajar, seperti itulah Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap ini sejak awal adegannya bergulir. Not believable. Keinginan Benni Setiawan sebagai penulis untuk membombastiskan celah konflik-konfliknya justru semakin ngaco seiring film berjalan, meskipun dialek serta bahasa Sunda yang muncul itu jadi nilai plus untuk membangun nuansa komedinya. Selain Andhika Pratama yang mau menggerakkan sejuta otot mukanya untuk kelihatan goblok dan udik bagaimana seriusnya pun tetap terasa terlalu ganteng sebagai ‘Si Kabayan wanna-be’, sempalan dramatisasi dalam penyampaian pesan reliji sebagai perwujudan produk film Lebaran pun jadi tak sinkron dengan skor musik yang (sok) bermellow-mellow dengan akting Donita yang terus merengek-rengek. Mau karakter Asep diganti dengan pelawak berwajah aneh sekali pun, ramuannya tak akan bisa bekerja membangun sebuah gap komedi yang baik. Lagi, ini adalah bukti dimana sineas penuh bakat, termasuk Lydia Kandou yang berdialek Sunda, tentunya, plus sutradara Indrayanto Kurniawan yang sebelumnya membesut Saus Kacang sebagai romcom yang terasa fresh dalam tema, mau-maunya berusaha mati-matian berinteraksi ke plot yang dari sananya sudah serba ‘not believable’ itu. Bakat-bakat ini memang sedikit mampu menyelamatkan beberapa sisi komedinya yang masih bisa mengundang tawa lebar bersama kiprah Joe, Polo dan Mucle, tapi keseluruhannya masih menunjukkan kecenderungan film komedi kita yang suka seenaknya saja memaksa penontonnya jadi ikut-ikutan berpikir setolol karakter-karakternya. Dan mencatut judul yang sedikit dipelesetkan dari salah satu film komedi situasi paling dibanggakan dari sejarah perfilman kita, ‘Kejarlah Daku Kau Kutangkap’ yang unggul di semua sisinya hanya karena ada nama besar Lydia disana? Well guys, that’s not wise at all. Not wise at all. (dan) Posted in destinasian : indonesia Tags: Andhika Pratama, benni setiawan, Bertrand Antolin, donita, Indrayanto Kurniawan, joe p project, Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap, Lydia Kandou, movie, Mucle, Polo, Pretty Asmara, review

LIMA ELANG : BEGINNING OF A KIDS ADVENTURE •August 27, 2011 • 1 Comment LIMA ELANG Sutradara : Rudi Soedjarwo Produksi : Indika Pictures, SBO Films & Kwarnas Gerakan Pramuka (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/lima-elang.jpg) Film anak-anak sudah semakin langka di Indonesia, itu ada benarnya. Namun sama sekali mati tidak juga. Sesekali kita masih punya sineas yang masih memiliki hati mau membuat film-film yang pasarnya memang tergolong susah ini, kecuali adaptasi novel atau memasang superstar anak-anak yang tengah bersinar. Di luar nama besar sutradara Rudi Soedjarwo dan mungkin bagi yang lebih mendetil memperhatikan kredit film, penulis Salman Aristo, Lima Elang tak punya kekuatan itu. Namun ia digagas dari sebuah niat baik yang didukung sepenuhnya oleh Kwarnas Gerakan Pramuka. Sebuah film anak-anak untuk menyambut ultah ke-50 Pramuka. Sebuah ekstrakurikuler SD dan SMP yang sangat mendidik, yang sayangnya jarang-jarang diangkat ke film kita. Terakhir, hanya Lima Sahabat (1981) yang dibintangi Septian Dwicahyo dan Benyamin S. Yang menyorot anak-anak Pramuka secara sedikit detil. Meski resepnya masih tak jauhjauh dari trend Home Alone yang tak pernah padam, anak-anak menghadapi sekumpulan penjahat sebagai highlightnya, pemaparan tentang Pramuka dan pesan-pesan moral lainnya tak ditinggalkan begitu saja. Ini adalah film liburan yang pas sekali disaksikan bersama seluruh keluarga, apalagi yang pernah atau masih mengikuti pelatihannya semasa sekolah. Kepindahan kedua orangtuanya ke Balikpapan dari kehidupan mereka di Jakarta membuat Baron (Christopher Nelwan) kecewa. Masalahnya, bersama-sama teman-temannya disana, ia memiliki klub mobil RC sebagai hobi yang sulit ia tinggalkan, apalagi sebuah kompetisi menanti mereka. Akibatnya, Baron jadi sedikit sinis dan introvert dalam beradaptasi di sekolah barunya. Tapi Rusdi (Iqbaal Dhiafkari Ramadhan), penggalang pramuka yang berambisi sekali menjadi pramuka terbaik yang ikut ke Jambore Nasional menganggap Baron adalah kandidat yang pas untuk direkrut ke dalam regunya dalam mengikuti perkemahan Pramuka tingkat daerah. Baron awalnya jengkel karena perkemahan ini berarti memupuskan niatnya liburan ke Jakarta untuk mengikuti kompetisi RC. Toh keinginan kedua orangtua dan gurunya atas siasat Rusdi tetap diikutinya dengan satu rencana dibalik itu. Bersama Anton (Teuku Rizky Muhammad), si gembul yang ahli api dan Aldi (Bastian Bintang Simbolon), si kecil temperamental yang diam-diam punya kemampuan renang, mereka mengikuti perkemahan itu. Tapi perbedaan tujuan akhirnya memisahkan mereka, berikut Sindai (Monica Sayangbati), pramuka perempuan yang juga kesal dengan kelompoknya. Saat Rusdi dan Anton yang berniat meneruskan usaha mereka menjadi korban penyekapan para penebang hutan liar, Baron baru tersadar atas niat tulus Rusdi menjadikannya seorang sahabat. Mengetahui dua temannya sedang dalam bahaya, Baron pun merancang usaha penyelamatan bersama Aldi dan Sindai. Kalah menang tak lagi jadi sasaran, tapi yang penting adalah sebuah persahabatan, dan kalau bisa, siap di saat kapanpun ada bahaya menghadang. Usaha dari ketua kwartir Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH yang langsung turun sebagai produser eksekutif dengan tim khusus dalam supervisi teknis ke produksinya benar-benar membuat gambaran perkemahan Pramuka dengan games-games-nya terlihat cukup hidup sebagai balutan tema baru di film-film anak kita. Pilihan cast anak-anaknya juga pas membangun sebuah syarat mutlak di sebuah film anak yang baik, yang mampu memunculkan kepolosan anak ketimbang memaksa mereka berperan selayaknya orang dewasa seperti yang kebanyakan terjadi dalam sinetron kita. Mau di sisi menyebalkan atau menarik, masing-masing punya kualitas scenestealing dibalik tampilan polos yang sangat anak-anak. Ini adalah salah satu spesialisasi Rudi sebagai sutradara, dimana sekedar pemeran pendukung sampai figuran tak penting pun bisa tampil dengan wajar. Sebuah knowledge tentang makhluk hutan yang disebut Batutut (Bigfootnya Asia), sebagai salahsatu mitos yang ditakuti di hutan Kalimantan dan Sumatera, juga diselipkan secara cukup informatif dan menambah konfliknya jadi semakin menarik. Hanya ada satu kekurangan di storytelling yang agak terbata-bata membangun chemistry dan konflik dengan turnover karakter yang masih terasa kurang believable. Begitupun, dalam kemasannya sebagai kids adventure, intensitasnya sudah cukup menarik dengan kelucuan yang juga polos serta terjaga. Dan saat Rudi menghadirkan satu lagi kemampuan ekstranya dalam membesut ending yang cheerly, ia lagi-lagi membawa kita ke sebuah penutup yang jauh lebih besar dari filmnya sendiri. Apapun hasil perolehannya, semoga mereka tetap punya niat melanjutkan kiprah lima elang ini dalam petualangan selanjutnya yang lebih seru lagi, seperti masa kecil kita membaca novel-novel Lima Sekawan atau Sapta Siaga. Oh c’mon. Tak harus pernah jadi Pramuka seperti Rudi sendiri, Let’s have a heart, dan mari hargai niat baik untuk terus membawa pesan-pesan itu kembali ke masa kanak-kanak kita semua! (dan) Posted in destinasian : indonesia Tags: Bastian Bintang Simbolon, Batutut, Christopher Nelwan, Iqbaal Dhiafkari Ramadhan, Lima Elang, Lima Sahabat, Lima Sekawan, monica sayangbati, movie, Pramuka, review, Rudy Soedjarwo, Salman Aristo, Sapta Siaga, Teuku Muhammad Rizky

TENDANGAN DARI LANGIT : A GOAL FOR THE HEART •August 26, 2011 • 2 Comments TENDANGAN DARI LANGIT Sutradara : Hanung Bramantyo Produksi : SinemArt, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/tendangan-dari-langit.jpg) Ketika kita disuguhkan sebuah family movie di masa-masa liburan, akan naif sekali kalau apa yang ada di harapan adalah kisah berbelit dengan twist yang njelimet. Cuma ada satu hal penting disini mau apapun yang menjadi plotnya, seberapa baik buruk pun penggarapannya secara filmis. Simply lovable. Seperti lagu yang catchy, seperti penganan yang lezat, satu kontak saja sudah bisa membuat kita dengan gampang menyukainya. Faktor cast, pembangunan karakter, tema yang membumi, itu hanya jadi faktor sampingan. Yang terpenting adalah komunikasinya ke penonton dalam membangun chemistry yang kuat dengan apa yang terpampang di layar. Ini memang wilayahnya seorang Hanung Bramantyo. Meski film-filmnya tetap mementingkan sinematografi yang artistik, ia tak pernah berandai-andai. Tak pernah lari kesana kemari agar penonton memutar otak memikirkan maksudnya. Seperti tipikal guru yang paling disukai muridnya, ia menyampaikan pesan dengan sebuah keakraban visual. Bukan merepet dan bukan diam, tapi berbuat. And so, sinema kita boleh punya segudang film tentang sepakbola, tentang mimpi yang dengan banyak usaha menjadi nyata, plot zero to hero, apapun. Namun klise-klise itu menjadi fresh ketika ditangani dengan komunikasi yang baik. Bersama produk-produk Hanung yang lain, ini adalah contoh sebuah produk pop yang baik. Penuh pesan, kalau perlu sedikit bombastis dalam pengadeganan, tapi bisa diterima semua lapisan dengan semangat inspiratif tapi tendensi hiburannya tetap mencuat. Dan ah, keberhasilan produser menggamit Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan yang dipampang gede-gedean di poster itu memang sebuah selling point, yang justru membuat tanggung jawabnya makin besar. Here it is, saat sebuah visual bisa menggugah, kita tak akan ribut-ribut lagi soal kekurangan lainnya. Jauh di kaki gunung Bromo yang gersang dan penuh debu, kita dikenalkan ke karakter Wahyu (Yosie Kristanto dalam peran debutnya). Seorang remaja biasa yang punya bakat alam di dunia sepakbola amatir. Bakatnya dimanfaatkan oleh Hasan (Agus Kuncoro), makelar sepakbola amatiran di tiap pertandingan untuk mencari nafkah. Namun ayah Wahyu (Sujiwo Tedjo) menentang keras bakat putra satu-satunya ini atas sebuah trauma masa lalu yang belum pernah diketahui Wahyu sendiri. Ibunya (Yati Surachman) pun tak bisa berbuat apa-apa melihat Wahyu yang kerap dihajar ayahnya setiap ketahuan bermain bola. Sebuah lomba debat di kabupaten yang diikuti oleh gadis gebetannya, Indah (Maudy Ayunda) yang juga lebih menyukai Wahyu ketimbang Hendro (Giorgino Abraham) yang lebih dalam segala-galanya, membawa Wahyu pada pelatih tim Persema, Timo (Timo Scheunemann) yang lantas menyadari bakat alamnya dan mengajaknya ikutserta dalam tryout untuk masuk ke dalam tim. Lagi, sebuah insiden atas kesehatan lutut Wahyu menjadi penghalang, namun Wahyu akhirnya harus menetapkan pilihannya. Tak hanya antara Hasan dengan Persema, namun juga antara kecintaannya antara sepakbola dan Indah.

Zero to hero. Klise? Sudah jelas. Bukan hanya di part sepakbola, namun juga di konflik pertentangan dengan orangtua, sosok ayah yang kejam, trauma-trauma masa lalu, dan teen love storynya, sampai pada kebetulan demi kebetulan dan akhirnya-akhirnya yang jadi syarat bangunan plot yang sulit dihindari untuk genre-genre seperti ini. Jadi dimana letak spesialnya? Rasanya tak berlebihan untuk menyebut semua faktornya untuk membangun suatu sinergisme dalam membangun ‘Tendangan Dari Langit’ jadi tontonan yang sangat lovable. Selain spesialisasi Hanung dalam komunikasi itu, skenario yang ditulis Fajar Nugroho menyajikan pemaparan konflik yang cukup padat dengan beragam karakter dan dialog-dialog yang menarik untuk penyampaian pesan plus kritik sosial dan persepakbolaan negeri ini, lengkap dengan warna kedaerahan yang down to earth dengan dialek-dialek pemerannya, tak seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah yang mengabaikan kepentingan latar ini. Ulasan singkat tentang gambaran medisnya pun sesuai porsi dan bukan lagi-lagi omongkosong penuh mitos. Selanjutnya, sinematografi Faozan Rizal yang tak ketinggalan membesut panorama Bromo yang eksotis dan masuk ke sebagian besar adegan pentingnya. Debu-debu gunung itu seakan ikut berbicara memberi kesan ke tiap penyampaiannya. Ini bukan Bromo yang diam, misterius dan mengerikan dengan segelintir karakter ayah penjual anak seperti di Pasir Berbisik, tapi sebuah gambaran keindahan alam yang membuat kita sesekali ingin ikut merasakan suasananya. Atmosfer pertandingan sepakbolanya juga tertangkap dengan detil yang cukup baik. Atau lihat adegan Wahyu berlatih dengan sang ayah sambil menunggang kuda di tengah debu-debu Bromo itu. Skor yang lagi, dibesut oleh Tya Subiyakto juga ikut membangun chemistry yang baik di setiap adegannya. Terakhir adalah cast yang menerjemahkan karakter-karakter unik yang ada dalam skenario Fajar dengan Mrs Hanung, Zaskia Adya Mecca sebagai casting directornya. Sebagai debut, Yosie sama sekali tak tampil mengecewakan dalam menggambarkan semangat yang berkobar dalam karakternya. Chemistrynya dengan Indah (Maudy Ayunda) yang diletakkan di dasar perbedaan jauh pun sangat believable. Sampai karakter-karakter sampingan seperti tiga sahabatnya, Meli (Natasha Chairani), Mitro (Jordi Onsu) dan Purnomo (Joshua Suherman) yang menyempil dengan puisi-puisi lucu pun terasa begitu hidup bersama penjual warung yang berkonyol-konyol tapi memancing tawa. Karakter-karakter aslinya seperti Timo, Irfan, Kim dan Matias sang pelatih? Juga tampil apa adanya biarpun hanya dengan sepenggal ekspresi yang terasa jadi berarti. Namun ada tiga yang paling bersinar disini. Agus Kuncoro sebagai Hasan yang aji mumpung tapi tak menghalangi empati penonton terhadap sosok eksentrik dibalik kaki pincang dan topi baret-jaket militernya, serta dua aktor yang biasanya tampil over dengan gaya teatrikal, Torro Margens dan Sujiwo Tedjo namun disini bisa menggunakan style itu untuk karakter yang luarbiasa jadi highlight di tiap penampilan mereka. Kalaupun ada sedikit kekurangan adalah pemilihan lagu soundtrack dari Kotak yang tak terdengar terlalu bersemangat mengantarkan klimaks kemenangan Wahyu, namun tak juga terlalu mengganggu karena semua unsur yang menyatu dalam sinergi luarbiasa itu sudah bisa membuat semua penonton bersorak di adegan klimaks pertandingan singkatnya seolah benar-benar menyaksikan pertandingan bola bareng-bareng. This is a simply lovable family movie for this holiday, bahkan mungkin yang terbaik dalam gelaran film-film lebaran tahun ini. It’s simple and clear, fun and cheer, and goal! Bola itu pun masuk dengan gemilang ke gawang hati Anda. (dan) Posted in destinasian : indonesia Tags: agus kuncoro, Fajar Nugroho, hanung bramantyo, Irfan Bachdim, movie, review, Sujiwo Tedjo, Tendangan Dari Langit, Tya Subiyakto, Yosie Kristanto

DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH : ‘LOVE STORY’ GOES TIME MACHINE •August 25, 2011 • 13 Comments DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH Sutradara : Hanny R. Saputra Produksi : MD Pictures, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/dibawah_lindungan_kabah.jpg) Semoga Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang sudah tenang di alam sana tak murka dengan adaptasi terbaru dari novelnya di tahun 1936 ini. Dibesut dengan biaya, kabarkabarnya, entah benar atau tidak, 25 M, dengan barisan bintang-bintang senior sampai junior dan pembangunan set Ka’bah lifesize, Di Bawah Lindungan Ka’bah tak hanya mengkhianati esensi novel aslinya yang jadi literatur wajib Sastra Indonesia, namun juga dengan seenaknya menggubah adaptasi yang dicantumkan jelas-jelas ‘based on’ itu dengan timeline asal-asalan. Apa yang hadir kemudian adalah seperti film terakhir Hanny R. Saputra, ‘Love Story’, tentang sebuah kasih tak sampai lengkap dengan kincir angin kayu raksasanya itu yang dipindah set saja. Kalau memang begitu kenapa susah-susah mencatut nama harta karun kesusasteraan kita itu? Tak hanya menodai karya aslinya, versi terbaru ini juga merusak adaptasi pertamanya yang dulu bermasalah di era pemerintahan Soeharto hingga diganti judul menjadi ‘Para Perintis Kemerdekaan’, yang cukup setia pada novelnya, dan baik pula secara filmis. Tolong jangan bela novel akan beda ketika diadaptasi ke film karena ada satu kata kunci yang harus ada dengan pencatutan nama ‘based on’ tersebut. Bukan hanya sekedar meminjam dialog, namun bahwa esensinya harus tertuang walau plotnya diubah sedemikian rupa. Ini tak lebih dari jualan kisah cinta Hamid dan Zainab sebagai bagian dari karya asli HAMKA yang dipoles dengan segala klise-klise bumbu lovestory terlarang akibat beda status sosial yang mengharu biru ala Indonesia (dan memang, catat, disukai penonton kita), ditambah sedikit bumbu dakwah untuk tendensi peredarannya di momen lebaran. Padahal, rencana awalnya banyak dianggap baik karena ada niat untuk memperkenalkan kembali karya-karya sastra kita yang sudah makin luntur ditelan zaman. Apalagi, masih tersisa sedikit keseriusan penggarapan dan ini yang selalu jadi masalah. Bagaimana aktor-aktris senior dan yang punya bakat akting luarbiasa bagus itu bisa diyakinkan untuk tampil superserius atas skenario yang sesungguhnya tak serius? Wallahualam. Allah knows best.

Berset di Padang tahun 1920an, oleh pasangan Haji Ja’far (Didi Petet) dan istrinya (credited as Widyawati Sophiaan), tempat ibunya (Jenny Rachman) bekerja, anak yatim Hamid (Herjunot Ali) sejak kecil disekolahkan hingga melanjutkan pendidikan agama. Otaknya yang cerdas dan pintar mengaji membuatnya jadi salah satu dari tiga lulusan Thawalib (sekolah agama) yang disegani disana. Namun ia tak bisa menahan hatinya untuk mencintai putri majikannya, Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tengah dijodohkan dengan Arifin (Ajun Perwira), putra Haji Rustam (Leroy Osmani). Zainab pun memiliki perasaan sama dengannya, namun keduanya sadar, status berbeda itu akan menyulitkan mereka. Hamid dan Zainab sama-sama memendam perasaan sampai akhirnya sebuah kecelakaan membuat Hamid seketika mendapat ilmu dari masa datang. Zainab yang nyaris tenggelam diresusitasinya dengan mouth to mouth ventilation sehingga selamat (Oh ya, silahkan bongkar semua sejarah medis bangsa ini dan tunjukkan satu bukti bahwa mouth to mouth ventilation yang di luar saja baru populer di era Perang Dunia sudah sampai ke Indonesia, di kampung kecil pula). Berteriaklah semua tetua agama dan penduduk kampung, walaupun Haji Ja’far mengaku Allah menjawab doanya untuk menyelamatkan Zainab melalui Hamid. Hamid yang memegang teguh agamanya terpaksa menerima hukuman. Ia diusir dari desanya, terpisah dengan sang ibu, dan kemudian bekerja di logistik stasiun kereta api. Beberapa kejadian mulai dari meninggalnya Haji Ja’far dalam perjalanan haji sampai ibunya yang meninggal setelah digambarkan batuk darah (yang ini boleh-boleh saja meskipun klise mengingat setnya memang di tahun 1920an dimana TBC masih jadi momok menakutkan yang sulit disembuhkan) membuat Hamid kembali ke desa itu namun belum lagi diterima. Hubungan terpendamnya dengan Zainab makin kompleks, apalagi istri Ja’far membujuknya mendekati Zainab agar mau dijodohkan dengan Arifin. Mereka berpisah lagi, dan kali ini Hamid berangkat ke Mekkah. Hanya ada satu surat di ambang keputusasaan Zainab yang dititipkannya pada sahabat Hamid yang berangkat haji tanpa tahu Hamid ada disana, dengan harapan bahwa Allah akan kembali menyatukan mereka. Now I’m gonna tell you what’s not in the novel yang seharusnya menuangkan esensi Islami di tengah perjuangan para pemuda di daerah Minangkabau itu melawan penjajahan, lengkap dengan pandangan gender dan kesetaraan status. Jawabannya adalah hampir semua. Hanya ada nama-nama karakter, sebagian line dialog dan perbedaan status sebagai ganjalan sempalan kisah cinta tadi. Gambaran gender dari pandangan Islam hanya disiratkan lewat sebuah adegan singkat lomba debat yang entah iya atau tidak sudah disebut itu di tahun 1920an, dan penjajahan Belanda cuma ditunjukkan dari satu bos bule dengan tentara-tentara pengantar surat di daerah mereka. Aura relijius yang dalam novel digambarkan dari keteguhan mereka memandang Islam sebagai resepsi konflik-konflik yang ada hanya tertuang lewat kisah cinta yang dangkal. Selebihnya adalah cerita berbeda yang terasa sekali mengulang esensi kisah cinta terlarang dalam film Hanny terakhir, Love Story. Kalau Love Story terasa wajar karena setnya memang fiktif, apa yang ada disini justru jadi bombastis tanpa arah, kalau perlu dengan seenaknya melakukan turnover tanpa survei, salah satunya ya di adegan ‘mouth to mouth ventilation’ yang justru jadi pemicu konflik utamanya itu. This is that ‘Love Story’ goes on a time machine to 1920s. Masih ada yang lebih parah? Jawabannya, ada. Dan itu terletak di dialog yang dipilih para penulis skenario bersama Hanny disini. Jangan lupa, bahwa set ini adalah Padang. Satu daerah dimana adat istiadat termasuk dialeknya termasuk unik karena masih dipegang teguh sampai sekarang. Menggunakan bahasa-bahasa Minang seperti wa’ang (kamu), duo (dua), dan lainnya, tanpa sama sekali ada dialek Minang, dan memilih bahasa baku ala novel menjadi pengantarnya, itu adalah suatu kekonyolan yang sangat-sangat mengganggu. Ini seperti bila Anda menutup mata dan hanya mendengar suara, apa yang kemudian terdengar tak lebih seperti film asing yang didubbing. Melewati batas 20 menit film bergulir, entah mengapa, sebagian pendukungnya termasuk Widyawati tapi bukan Junot dan Bella sebagai pemeran utamanya, mulai mencoba-coba menggunakan dialek meskipun tidak pas. Ini jadi tak konsisten secara, silahkan tanya ke orang Minang manapun yang masih merasakan hidup di zaman itu di kampungnya, apakah ada yang berbicara tanpa dialek tapi menggunakan bahasa daerahnya. Film aksi seperti Merantau saja lebih tahu perlunya dialek ini untuk menggambarkan latarnya. Saya jadi berpikir mungkin dalam syuting mereka disyut dua kali dengan dialek dan tidak kemudian dicampuradukkan dalam editing yang tak juga tampil rapi karena seringkali menghilangkan ekspresi dalam sambung-sambungan adegannya. Dan ini juga mengkaburkan karakterisasi dan aura relijiusnya sekaligus dengan sangat sukses. Kadang mereka terlihat seperti orang tangguh, tiba-tiba jadi bodoh tanpa alasan. Masih ada lagi yang lebih parah? Jawabannya, ada, yaitu di pencitraan iklan sebagai sponsornya. Berkali-kali, bahkan belum lagi film memasuki masa putar 5 menit, sudah tampil kotak cerutu dengan merk Chocolatos terpampang jelas. Itu pun ternyata bukan cerutu, tapi sama dengan snack coklat yang kita konsumsi sekarang. Kasar tak kepalang. Setelah itu, ada adegan Hamid membeli kacang dengan mengatakan, ‘Kacang Garuda, duo’ dan belakangan muncul pula bungkus kacang Garuda yang sama dengan sekarang, namun dengan ejaan lama bertuliskan ‘Garuda Katjang Koelit’. Belum lagi obat nyamuk yang dibakar diatas bungkus Baygon yang lagi-lagi, sama dengan zaman sekarang. Saya tak tahu cuci otak macam apa yang dipaksakan pihak sponsor untuk pencitraan produknya ke pembuat film ini sampai mereka mau-maunya membuat iklan itu tidak lagi tampil terselubung. Astaghfirullah! And so, Di Bawah Lindungan Ka’bah versi baru ini, saya malu menyebut karya besar itu sebenarnya dalam review ini, hanya menyisakan set yang lumayan cantik meski dengan dejavu kincir angin kayu di Love Story (mungkin ini propertinya Hanny), skor yang megah dari Tya Subiyakto meski strings latarnya sedikit plagiat, plus beberapa adegan yang memang sangat catchy. Salah satunya adalah tempat rendezvouz Hamid dan Zainab yang saling berbicara terhalang sebuah tembok kayu. Ini indah untuk menggambarkan hubungan terlarang secara puitis, paling tidak. Kalaupun mau menyebut satu lagi, adalah akting cemerlang dari para pendukungnya yang bisa menyelamatkan sedikit bagian pertengahan untuk mengalir dengan cukup runtut. Adegan Hamid melepas ibunya yang tengah sekarat dengan Junot yang menangis begitu lepas, itu hebat, kalau saja tak dirusak sedikit dengan editing yang tak rapi. Lagi-lagi, saya kembali bingung. Bagaimana bakat-bakat luarbiasa ini bisa dipaksa untuk menampilkan akting begitu baik di tengah skenario Titien Watimena dan Armantono yang terkesan asal jadi dan seenaknya itu. Forgive me for being this rude, tapi mencatut karya sebesar itu untuk jadi roman yang akhirnya jadi se-picisan ini, rasanya tak ada yang lebih tepat ketimbang mengusir Anda dari sebuah desa. (dan) Posted in destinasian : indonesia Tags: armantono, baygon, chocolatos, Di Bawah Lindungan Ka'bah, didi petet, HAMKA, hanny r saputra, Herjunot Ali, Jenny Rachman, kacang garuda, Laudya Cynthia Bella, leroy osmani, Melly, movie, Opick, review, titien watimena, Tya Subiyakto, widyawati Dan At The Movies

Create a free website or blog at WordPress.com.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.