April | 2012 | Dan At The Movies [PDF]

Apr 11, 2012 - Sebuah tim eksplorasi yang dipimpin oleh Brock Lovett (Bill Paxton) menelusuri jejak kapal legendaris RMS

8 downloads 20 Views 169KB Size

Recommend Stories


review | Dan At The Movies | Page 92 [PDF]
Ketika dewasa, Blu menjadi satu-satunya spesies jantan yang tersisa. ..... yang terjadi akibat banyaknya pembentukan gas biasanya akan dirasakan penderita yang mengeluh frekuensi buang angin mereka meningkat, dan tak jarang diikuti pula dengan ganggu

2011 | Dan At The Movies | Page 2 [PDF]
Sah, namun meninggalkan benang merah excitement-nya terlalu jauh ke belakang, juga bukan tindakan yang diinginkan banyak orang. .... maupun Melayu Sumatra yang juga mengenal bentuk keseniannya dengan nama sama, dan kontroversial atas penggambaran gej

review | Dan At The Movies | Page 95 [PDF]
Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui ..... cilik Emir Mahira (Garuda Di Dadaku, Melodi) yang sangat meyakinkan dengan cara berdialog dan

Movies March & April
Don't ruin a good today by thinking about a bad yesterday. Let it go. Anonymous

MEDIA LAW & ETHICS (at the movies) - School of Communication [PDF]
Sep 30, 2016 - 1.2 Films. There will be viewing of six films in this course to augment understanding of media law and ethics. The films include: • Absence of Malice. • All the President's ..... In-Class Activity: Read syllabus, explain structure

Programme Notes Online At the Movies
Ask yourself: Who is your greatest role model? Next

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

AZ Movies - Foxtel [PDF]
Apr 14, 2017 - BOlT. FOXTEL MOVIES DISNEY 2008 Family. April 3, 7, 13, 18, 23, 26. John Travolta, Miley Cyrus. For super-dog Bolt, every day is filled with adventure, danger and intrigue – at least, until the cameras stop rolling. BOOgie nighTs. MAST

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

At the April General Meeting
We can't help everyone, but everyone can help someone. Ronald Reagan

Idea Transcript


. . Dan At The Movies . .

movie reviews by Daniel Irawan

Archive for April, 2012 THE DEVIL INSIDE : BEYOND EXORCISMS • April 30, 2012 • 2 Comments Posted in screamers Tags: Bonnie Morgan, Evan Helmuth, Exorcism, Fernanda Andrade, Ionut Grama, Matthew Peterman, movie, Paranormal Activity, review, Simon Quaterman, Stay Alive, Suzan Crowley, The Devil Inside, William Brent Bell

MODUS ANOMALI : LET THE GAMES PLAY ON! • April 26, 2012 • 2 Comments Posted in dangerous minds, destinasian : indonesia Tags: Aghi Narottama, Aridh Tritama, Bemby Gusti, Gunnar Nimpuno, Hannah Al Rashid, Janji Joni, joko anwar, Jose Gamo, Kala, Khikmawan Santosa, marsha timothy, Mindfuck Movie, Modus Anomali, movie, Pintu Terlarang, Ramondo Gascaro, review, rio dewanto, Sadha Triyudha, Sheila Timothy, Sore, surya saputra

THE WITNESS : THIS AIN’T NO JINX • April 26, 2012 • 2 Comments Posted in dangerous minds, destinasian : indonesia, destinasian : phillippines Tags: Agung Saga, Beby Hasibuan, Derrick Monasterio, Feby Febiola, Gwen Zamora, Izzal Peterson, jinx, Kimberly Ryder, Marcellino Lefrandt, movie, muhammad yusuf, pierre gruno, Pika Airplay, review, skylar pictures, tebus, The Witness

THE COLD LIGHT OF DAY : A NOT SO BAD PUBLIC FRAUD • April 24, 2012 • 1 Comment Posted in adrenalination Tags: Bruce Willis, henry cavill, JCVD, Mabrouk El Mechri, movie, review, Richard Price, Roschdy Zem, Sigourney Weaver, The Cold Light Of Day, Veronica Echegui

SANUBARI JAKARTA : NOT PERVERSIONS, JUST HEARTS • April 23, 2012 • 2 Comments Posted in destinasian : indonesia Tags: Adriyanto Dewo, Agastya Kandou, Ajeng Sardi, albert halim, Alfrits John Robert, Aline Jusria, Arswendi Nasution, Billy Christian, Deddy Corbuzier, Dimas Hary CP, Dinda Kanyadewi, Fira Sofiana, Gesata Stella, Gia Partawinata, Hafez Ali, Herfiza Novianti, Hernaz Patria, Illfie, Irfan Guchi, kirana larasati, Leila Nurazizah, LGBT, lola amaria, Mereka Memang Ada, Miea Kusuma, movie, Permatasari Harahap, Pevita Pearce, Rangga Djoned, Reuben Elishama, review, Ruth Pakpahan, Sanubari Jakarta, Sim F., Tika Pramesti

MIRROR MIRROR : AN UNDENIABLY CHARMING STRAIGHT FAIRYTALE • April 22, 2012 • 3 Comments Posted in sunday morning flicks Tags: Armie Hammer, Brothers Grimm, Jason Keller, julia roberts, lily collins, Mark Klein, Mirror Mirror, movie, Nathan Lane, review, Robert Emms, Sean Bean, Snow White And The Seven Dwarfs, Tarsem Singh, Walt Disney

21 JUMP STREET : OVER THE HILL AND LAUGH AWAY • April 15, 2012 • 1 Comment Posted in adrenalination, on the funny side of the street Tags: 21 Jump Street, Brie Larson, Channing Tatum, Chris Miller, Dave Franco, Ice Cube, johnny depp, Jonah Hill, Michael Bacall, movie, Phil Lord, review, Rob Riggle, Stephen J. Cannell

BATTLESHIP : A FUN CRAP NAMED BLOCKBUSTERS •April 11, 2012 • 1 Comment BATTLESHIP

Sutradara : Peter Berg Produksi : Hasbro, Bluegrass Films, Film 44, Universal Pictures, 2012 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/04/battleship.jpg) Yep. Many people hates Michael Bay now. Tak perduli bagaimana dulu ia membuat semua haters itu terhanyut berulang-ulang menyaksikan ‘The Rock’. ‘Bad Boys’, ‘Armageddon’, or yes, film pertama ‘Transformers’ dengan ketakjuban luar biasa pada sebuah gelaran action dalam perwujudan sebuah blockbuster Hollywood yang penuh hingar-bingar, dan mengomel saat ‘The Island’ tak punya bombastisme action sekencang yang lain. Entah trend film dan penonton yang sudah berubah jadi ‘makin pintar’, belakangan ini, yang jelas, setelah Bay menekan gas lebih dalam lagi menyajikan hingar-bingar itu, cemoohan terhadapnya mulai datang bertubi-tubi. Like ‘Bay this and Bay that’, in negative ways. Tapi Bay tak pernah perduli. Dia tahu bahwa penonton, bahkan haters sekalipun, entah dengan suatu pengharapan bahwa Bay akan berubah, tetap akan datang ke bioskop untuk menonton film-filmnya. Dan box office records, tetap jadi bukti yang solid.

So yes, ‘Battleship’, yang diangkat dari naval boardgame konvensional Hasbro serta sudah berkali-kali diadaptasi menjadi game elektronik yang lebih canggih itu, memang dari jauh-jauh hari digagas Peter Berg dengan nafas sama. Berg yang awalnya adalah seorang aktor (if you remembered Wes Craven’s ‘Shocker’ atau kiprahnya di serial ‘Chicago Hope’) dan mulai menarik perhatian lewat penyutradaraannya di black comedy ‘Very Bad Things’ yang inovatif sebelum berpindah ke ranah blockbusters dengan ‘The Rundown’, ‘Hancock’, serta ‘The Kingdom’, juga mengaku bahwa pendekatan yang digunakannya akan tak jauh beda dengan Michael Bay. Blockbuster Hollywood murni dengan satu tujuan. Pure fun, no matter how mindless it could be, dengan bujet pembuatan yang hampir seluruhnya juga dihabiskan ke sisi teknis untuk gempuran efek spesial tak tanggung-tanggung, hingga sekitar 200 juta dolar AS. Penggemar gamenya jelas akan punya ekspektasi berbeda dengan penonton yang sekedar mencari hiburan. Dan para haters, even with warnings that this is gonna be Bay-like blockbuster, kenyataannya, tetap ada di barisan terdepan penonton sejak jadwal penayangannya yang lebih dulu di wilayah Asia, termasuk Indonesia. Ah, anyway, Berg sudah memberi janji terhadap dua kategori penonton tadi, dan bukan yang datang dengan ekspektasi berbeda. Termasuk mengajak RnB sensation Rihanna beraksi sebagai prajurit jagoan di tengah ensembel castnya yang lumayan menjanjikan, namun menyisakan ujian bagi Taylor Kitsch setelah ‘John Carter’. Menjadi adik dari seorang Commanding Naval Officer Stone Hopper (Alexander Skarsgård), Alex Hopper (Taylor Kitsch) yang urakan dan tak punya kerjaan tak bisa menolak keputusan sang kakak merekrutnya ke US Navy saat ulahnya mendapatkan chicken burrito demi menarik perhatian Samantha (Brooklyn Decker) berujung kacau. Pasalnya, selain harus berurusan dengan polisi, Samantha ternyata merupakan putri Admiral Shane (Liam Neeson), atasan Stone. Namun menjadi seorang marinir berpangkat Letnan tak lantas merubah sifat Alex. Dalam kompetisi tahunan RIMPAC yang melibatkan marinir seluruh dunia, ia kembali membuat ulah, berseteru dengan Kapten Nagata (Tadanobu Asano), Commanding Officer dari Kapal Tempur Myoko, Jepang. Akibatnya Stone pun tak bisa berbuat apa-apa ketika satuannya berniat mengeluarkan Alex, namun di saat yang sama, di tengah kompetisi naval itu berlangsung, sebuah serangan dari Planet G yang sejak lama disinyalir para ilmuwan memiliki bentuk kehidupan lain muncul ke depan mereka. Alex pun jadi satu-satunya harapan para marinir lain di saat kapal perang lain berhasil ditenggelamkan, untuk menggempur armada alien sekaligus menyelamatkan bumi dari kehancuran. Selayaknya ‘Transformers’ dan mindless blockbuster lain yang menjual hingar-bingar aksi dan efek spesial hi-tech ala Hollywood dan Michael Bay itu, ‘Battleship’ sejak awal memang tak menyuguhkan plot berarti buat penonton yang datang dengan ekspektasi berlawanan. Karakterisasi tak penting serta dipenuhi dialog-dialog super cheesy dari duo penulis Jon dan Erich Hoeber itu pun sebenarnya sudah cukup membuat para haters mundur dari scene-scene awalnya. Tanpa benang merah jelas, tak konsisten serta sama ridiculous di tiap dialognya. But then again, ini bukan tujuan Berg membesut ‘Battleship’. Menu utamanya adalah sebuah pameran aksi dan efek spesial yang eksplosif, dan mau seberapa cheesy karakter-karakter serta dialog yang muncul ke layar, hanya ada dua tujuan untuk kompromismenya. Penggemar game, dan penonton yang datang untuk menyaksikan seru-seruan sebuah sci-fi action. Dan Berg sudah berhasil menyelipkan beberapa informasi penting dalam nafas game-nya ke dalam scene-scene pertempuran itu ; beberapa bentuk kapal perang battleship dan destroyer, tampilan rudal atau misil-misil yang berbeda serta penggunaan koordinat dibalik strategi taktikalnya, sekaligus membombardir aksi seru dan efek spesialnya (sebagian besar dikerjakan oleh tim ILM/Industrial Light And Magic -nya George Lucas) dalam kadar ‘over the top’ seperti yang dijanjikannya. Lengkap pula dengan skor Steve Jablonsky yang sangat mengingatkan ke ‘Transformers’ yang juga garapannya. So yes, in those terms, ‘Battleship’ tampil sebagai penerjemahan fantasi yang cukup solid dari boardgame simpel dengan pulpen dan kertas belaka. Just like what you (di luar para haters, tentunya) wish to see. Tak ada juga yang salah di departemen aktingnya dalam konteks yang sama, yang lebih membutuhkan tampilan komikal ketimbang arthouse performance. Chemistry dan karakter-karakter sampingan yang mampu mencuri perhatian dari sebaris bintang utamanya sudah cukup untuk membuatnya berjalan konsisten dengan mindless action tadi. Taylor Kitsch, boyscout baru Hollywood itu menerjemahkan turnover karakternya dengan cukup meyakinkan, Skarsgård tampil pas sebagai kakak bijaksana dengan chemistry kompak ke Kitsch, Neeson sebagai admiral penuh wibawa meski porsinya tak terlalu banyak, Brooklyn Decker yang menjual keseksian ala selatannya, hingga Rihanna yang diplot dalam debutnya sebagai heroine tangguh mirip Michelle Rodriguez di ‘Avatar’, walau posturnya sedikit terlalu mini sebagai seorang marinir. Sejumlah pemeran pendukungnya juga mampu mencuri perhatian dari Tadanobu Asano, John Tui sebagai Beast, naval officer berbadan gede, Jesse Plemons dari ‘Friday Night Lights’ yang sering disebut sebagai kembarannya Matt Damon, Gregory D. Gadson sebagai prajurit Mike Canales yang berkaki robot (aslinya adalah US Army Colonel yang pernah bertugas ke Kuwait dan Afghanistan) hingga veteran-veteran WWII yang muncul di kapal legendaris USS Missouri. So yes, some of you may consider things like these as craps, but in blockbuster ways, this is a fun one. I’d say, Peter Berg sudah memilih jalur terbaik untuk menuangkan atmosfer game-nya ke layar lebar. Selebihnya, hanya tergantung pada ekspektasi Anda. (dan) Posted in beyond the stars Tags: Alexander Skarsgård, Battleship, Brooklyn Decker, Erich Hoeber, George Lucas, Gregory D. Gadson, Hasbro, ILM/Industrial Light And Magic, Jesse Clemons, John Tui, Jon Hoeber, Liam Neeson, Michael Bay, movie, Peter Berg, review, Rihanna, Steve Jablonsky, tadanobu asano, Taylor Kitsch

TITANIC 3D : ONLY A CLASSIC WORKS LIKE MAGIC! •April 5, 2012 • 2 Comments TITANIC 3D

Sutradara : James Cameron Produksi : 20th Century Fox, Lightstorm Entertainment & Paramount Pictures, 1997,2012 (3D) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/04/titanic-3d.jpg) Film, memang tak pernah punya formula khusus untuk jadi sebuah klasik. Baik di mata penonton maupun di perolehan box office. Genre apapun punya kesempatan yang sama, namun ada satu celah yang bisa membawanya ke pencapaian itu, yakni sejauh mana kemampuannya bisa mencuri hati. And when they did, word of mouth akan membuat penonton datang berduyunduyun ke bioskop. The rest, is just magic. Mau dibantai penonton serius hingga kritikus sekali pun, kebanyakan cheesy-cheesy itu tetap jadi faktor paling disukai penonton. Dan sebagian boleh saja berpendapat kemenangannya dengan 11 Oscar dari 14 nominasi di Academy Awards tak layak mengingat dua saingan terberatnya, ‘L.A.Confidential’ atau ‘As Good As It Gets’, yang jauh punya plot lebih serius dan dalam sementara dari sisi ala festival, ‘Titanic’ hanya menyisakan departemen teknis menyajikan sempalan genre disaster secara luarbiasa dibalik lovestory-nya yang cheesy tak kepalang. Oh yeah, the main thing, ‘Titanic’ ini berhasil dengan gemilang mencuri hati, hingga akhirnya bertengger di urutan teratas film terlaris sepanjang masa sejak era-nya, sebelum ditumbangkan oleh ‘Avatar’, yang konsepnya tak jauh beda serta datang dari tangan yang sama. James Cameron.

So the classic works like magic. Dan saat sebuah karya sudah mencapai taraf itu, pencintanya pasti tak akan keberatan datang dan datang lagi menonton produk re-issue-nya untuk sebuah feel nostalgik. Namun mengikuti trend sekarang, Cameron menyajikannya dengan tampilan baru. Polesan 3D, yang kabarnya memakan waktu hingga 60 minggu dengan biaya super mahal, untuk menyambut peringatan 100 tahun tragedi tersebut. Tapi tak bisa disangkal juga, teknologi konversi yang ada sekarang memang masih terbatas untuk source asli 2D. Selain sasaran ke penggemarnya, untuk generasi sekarang yang belum pernah menikmati karya klasik itu di layar lebar, inilah saatnya. So, are you ready to go back to ‘Titanic’? Sebuah tim eksplorasi yang dipimpin oleh Brock Lovett (Bill Paxton) menelusuri jejak kapal legendaris RMS Titanic yang sudah karam di dasar lautan atas tragedi puluhan tahun yang lalu. Sasarannya adalah ‘The Heart of The Ocean’, kalung permata yang disinyalir masih berada di dalam atas tuntutan masa lalu keluarga milyuner Hockley. Namun saat mereka gagal memperolehnya kembali, seorang wanita tua bernama Rose Calvert (Gloria Stuart) yang melihat sebuah penemuan lukisan lewat televisi memaksa cucunya, Lizzy (Suzy Amis) menyusul keatas kapal eksplorasi itu. Rose yang mengaku bahwa dirinyalah yang ada di lukisan wanita telanjang yang tengah mengenakan permata itu, dan sebuah kisah kemudian membawa semuanya kembali ke tragedi ‘Titanic’ yang karam pada pelayaran perdananya saat menabrak gunung es dulu. Sebuah kisah cinta yang mengawali segalanya, antara seorang putri keturunan bangsawan, Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet) dengan bocah oportunis miskin dari Chipewa Falls yang bernama Jack Dawson (Leonardo DiCaprio). Call it on you. Apa yang paling menarik dari ‘Titanic’ sehingga jadi karya se-klasik dan se-legendaris itu? Groundbreaking technical effects-nya yang menggambarkan tragedi itu secara begitu sempurna sekaligus menyayat hati? Atau haru-biru kisah cinta terlarang Jack dan Rose yang mirip Romeo and Juliet? Atau malah themesong karya James Horner yang dibawakan Celine Dion, ‘My Heart Will Go On’ yang sama abadinya dengan filmnya (yang untungnya muncul di saat terakhir pre-produksinya setelah James Cameron menolak themesong ‘In My Arms Again’ yang ditulis Michael W. Smith)? Terserah, namun James Cameron sejak awal memang mengarahkannya jadi sebuah epic lovestory ketimbang rekonstruksi tragedi yang bakal membuatnya jatuh ke genre disaster. Ia berjuang untuk meyakinkan eksekutif 20th Century Fox yang tak punya gambaran bakal seperti apa jadinya ‘Titanic’ dengan genre bertolak belakang dengan film-film aksi science fiction James Cameron, termasuk tentunya franchise ‘The Terminator’ yang sudah menghasilkan pundi-pundi uang berlimpah buat mereka. Cameron bahkan bersikukuh menekankan bahwa beyond any technical achievement, dasar setiap filmnya, adalah sebuah lovestory. Namun ia tak main-main dengan sejarahnya. Berbagai riset hingga memunculkan karakter-karakter historikal yang memang ada dalam kapal mewah itu ikut dimasukkannya ke skenario, selain kru-kru ‘Titanic’, juga beberapa tokoh seperti Margaret ‘Molly’ Brown (Kathy Bates) yang jadi survivor dalam tragedi itu. Dan ia menggagas keinginan itu dengan sebuah keseimbangan. Lovestory-nya memang digelar dengan pendekatan klise paling ‘murahan’ untuk memikat penonton. Cinta si kaya dan si miskin dalam garis batas penuh penghakiman, keterkungkungan hati dibalik gelar dan kehormatan, tragedi Romeo-Juliet yang dirancang dengan pengorbanan sesedih mungkin hingga dialogdialog yang sangat cheesy untuk membangun love atmosphere-nya. Pengadeganannya pun tak kalah cheesy. Namun siapa sangka, itulah cara terampuh untuk mencuri hati penontonnya. Quote-quote dan adegan itu lantas jadi begitu memorable. Dari ‘I am the king of the world!’ hingga ‘You jump, I jump’, serta adegan merentang tangan sambil berpelukan di ujung dek kapal itu, sampai sekarang masih kita lihat berulangkali ditiru serta diparodikan di film-film lain. Sementara sempalan historikal berupa rekonstruksi karamnya ‘Titanic’ digagas dengan sisi teknis luarbiasa kolosal untuk zaman itu. Dengan bujet pembuatan termahal di zamannya, sekira 200 juta dolar AS, kita dibuat terperangah hingga mungkin menahan nafas dengan mulut menganga menyaksikan detik demi detik visual kehancuran ‘Titanic’ sampai hilang ditelan lautan dengan kecermatan yang juga sama luarbiasa dari Digital Domain yang mengerjakan efeknya. Kombinasi ampuh yang membuatnya jadi sebuah sajian sinematis bernilai klasik, dan jadi dasar yang sama untuk ‘Avatar’ yang lagi-lagi menorehkan rekor yang kurang lebih sebanding. So at last, how’s the 3D gimmicks?

Yup, ini adalah sebuah teknologi konversi. Mau Cameron dan timnya menghabiskan waktu teramat panjang untuk sebuah konversi, keberadaan source asli 2D-nya mau tak mau akan membuat hasilnya terasa tak semewah yang diharapkan banyak orang. Konversi dari format 2D aslinya memang akan berbeda ketimbang film-film sekarang yang memang sudah diarahkan dari berbagai shot serta editingnya menjadi sebuah 3D. That’s if you open your 3D glasses, objek utama yang mendominasi layar seringkali akan terlihat sama tanpa adanya konversi. Teknologi ini memang baru sampai disana, tak jauh dari sebagian besar 3D konvensional, dimana yang menjadi sasaran buat dikonversi lebih ke objek-objek latar untuk memberi kesan objek utamanya terasa timbul ke depan. Namun begitu, bukan lantas berarti kesan timbul itu tak muncul sama sekali. Dan Cameron pun merombak beberapa part seperti tampilan bintang-bintang yang atas saran seorang ahli terlihat tak akurat. Bedanya tak akan terlihat jauh dengan yang ada di film aslinya, tapi tetap akan terasa lebih mewah lagi. And so, sama seperti produk aslinya, resepsi terhadap pendekatan lovestory klise dan cheesy yang menampilkan pesona DiCaprio muda yang masih kurus bersama poni lemparnya berikut tubuh sintal Kate Winslet yang jauh lebih gempal dari sekarang itu akan mengundang persepsi yang berbeda. Ada yang menganggapnya percuma, sekedar aji mumpung, sementara sebagian penggemarnya akan merasakan nostalgia luarbiasa dengan sebuah penekanan lebih, dan yang belum pernah menikmatinya di layar lebar sudah pasti ingin merasakan pengalaman bersejarah ini. As to me, tak pernah ada kata percuma untuk mengulang lagi sebuah karya dengan nilai klasik. Even over and over. Mau ditambah gimmick atau tidak, mau menghabiskan 3 jam lebih durasinya pun, a classic, will still work like magic! (dan) Posted in romancing the movies Tags: Bill Paxton, Billy Zane, Celine Dion, David Warner, Frances Fisher, Gloria Stuart, Heart Of The Ocean, Ioan Gruffudd, James Cameron, James Horner, Jonathan Hyde, Kate Winslet, Kathy Bates, leonardo dicaprio, movie, My Heart Will Go On, review, Suzy Amis, titanic, Titanic 3D

ACT OF VALOR : NAVY SEALS WITH THE REAL DEAL •April 3, 2012 • 2 Comments ACT OF VALOR

Sutradara : Mike McCoy, Scott Waugh Produksi : Bandito Brothers, Relativity Media, 2012 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/04/act_of_valor.jpg) Di tengah mentoknya ide-ide pembuat film di Hollywood, sesekali, ide baru datang juga. Biarpun landasan dalam plotnya tak baru, inovasi-inovasi ini kadangkala terasa sangat menarik. Anda mungkin sudah mendengar dari promo-promonya, bahwa ‘Act Of Valor’, sebuah military action yang mampu mencuri perhatian di box office dalam peredarannya di AS, menjual aksi militer dari tim US Navy SEALs dan US Navy Special Warfare Combatant Crewmen mereka dengan pemeran-pemeran asli yang masih aktif bertugas. Namun ini bukanlah sebuah mockumentary dalam trend yang tengah marak sekarang, tapi digagas murni sebagai sebuah fiksi. Semua berawal dari kiprah duo produser-sutradara Mike McCoy & Scott Waugh yang membuat dokumenter tentang kesatuan itu, hingga akhirnya ide mereka membuat film aksi dengan supervisi langsung mendapat lampu hijau walaupun dengan beberapa persyaratan khusus. Dari ‘Navy SEALs’ (1990) yang lebih berkelas hingga ke film-film kelas C seperti ‘US SEALs‘ yang entah sudah dibuat sampai sekuel keberapa, inovasi ini memang belum pernah ada dalam skup film fiksi, dan gagasan Mike-Scott membuat adegan-adegan aksinya bisa dihadirkan dengan autentisitas lebih mulai dari persenjataan yang kabarnya menggunakan amunisi-amunisi asli, teknik operasi sampai peralatan berat lain dari boat sampai helikopter, hingga ke lokasi-lokasi yang menggunakan training camp asli mereka. So untuk itulah ‘Act Of Valor’ dibuat. Untuk menghadirkan adegan-adegan aksi yang autentik, dan bagi kesatuannya sendiri, ini merupakan media promosi perekrutan yang ampuh. Don’t mind the plot and the acting, berikut juga pesan perdamaian dan sebuah tribute bagi anggota mereka yang gugur di tragedi 9/11, yang sudah jelas bukan menu jualannya. Mereka memang tak disiapkan untuk jadi aktor, karena persyaratan dari petingginya sendiri sudah menarik garis batas jelas. Tak ada satupun pemeran utama yang merupakan marinir asli yang masih aktif bertugas ini yang namanya boleh dikreditkan dalam publikasi demi menjaga rahasia militer negaranya. Whoa! Sebuah bom yang meledak di Filipina menewaskan ratusan anak-anak bersama dutabesar AS disana. Pelakunya, teroris Abu Shabal (Jason Cottle), kemudian berhasil melarikan diri menuju Ukraina. Sementara di Costa Rica, agen CIA Morales (Roselyn Sanchez) yang menyamar sebagai dokter bersama agen Walter Ross (Nestor Serrano) tengah menyelidiki penyeludup narkoba Mikhail ‘Christo’ Troykovich (Alex Veadov) yang dicurigai merupakan kontak Abu Shabal. Misi CIA yang tercium oleh Christo membuat Walter terbunuh dan Morales disiksa dan disekap di sebuah camp. Tujuh marinir dari Bandito Platoon pimpinan senior officer Miller kemudian diterjunkan untuk usaha penyelamatan. Dua anggotanya yang paling tangguh, Letnan Rorke dan Sersan Dave yang memimpin penyerbuan berhasil menyelamatkan Morales, namun misi mereka belum berakhir disini. Christo dan Abu Shabal ternyata tengah merancang misi jihad bom bunuh diri di AS dengan penggunaan rompi anti screening berisi peluru keramik dan peledak berkekuatan tinggi. Maka selagi Miller memburu Christo yang hendak melarikan diri bersama keluarganya di sebuah kapal pesiar pribadi, Rorke, Dave dan anggota lainnya berbagi tugas dari transaksi senjata di Somalia hingga bekerja sama dengan ‘Mexican Special Forces’ menghentikan Abu Shabal bersama 6 pembom bunuh diri yang hendak menyeberang lewat perbatasan Meksiko lewat bantuan sebuah kartel narkoba setempat yang sulit untuk ditembus. Darah, nyawa dan pengorbanan pun menjadi sebuah code of honor dalam tugas mereka menyelamatkan dunia, seperti penggalan sebuah puisi yang dibacakan lewat narasi Dave, ‘sing your death song, and die like a hero going home’. An act of valor.

Melanjutkan trend pembuatan film dengan kamera DSLR Canon EOS 5D Mark II yang sedang marak dan (kabarnya) sangat menghemat bujet produksi, ‘Act Of Valor’ hadir sesuai dengan janjinya. Adegan aksi operasi militer dengan autentisitas tinggi itu muncul dengan style shaky-cam yang intens dalam durasi nonstop meninggalkan sempalan dramatisasi plotnya yang terasa mentah dibalik akting amatir, karakterisasi seukuran jari dan klise-klise yang sulit dihindari dalam genre sejenis. Tapi memang ini merupakan dayatarik utama di tengah jualannya sebagai film aksi tentang heroisme dan promosi perekrutan US Navy yang semakin ditekankan lewat penggunaan narasi awal dan akhir yang cukup menyentuh dan sangat mungkin membuat penontonpenonton muda di negaranya ikut merasa tergerak. Paling tidak, penampilan marinir-marinir asli yang seolah tak lagi berakting dalam menu aksi utama itu benar-benar terlihat meyakinkan. Terlebih bila Anda benar-benar mengerti seluk-beluk militer, tampilan set dan sejumlah atribut militernya pun akan membuat feel itu tambah asyik lagi. Usaha penyelamatan yang digelar secara bertingkat menuju sebuah showdown ala ‘Black Hawk Down’ di tengah serbuan kartel narkoba Meksiko itu juga muncul seru dipenuhi pacuan adrenalin yang cukup eksplosif. So be it. Apapun alasannya, duo Mike McCoy dan Scott Waugh sudah bekerja sangat baik dalam menyajikan potret asli heroisme yang serasa membawa kita kembali ke style film-film aksi 80 hingga 90an yang tak punya tendensi sampingan untuk membuat penontonnya berpikir lebih. Sebuah eksekusi murni dan back to basic sesuai genre-nya yang bisa dinikmati dengan maksimal asalkan Anda tak datang dengan ekspektasi yang salah. Seperti tagline-nya, ‘Real Heroes, Real Tactics and Real Action’, this is Navy SEALs, with the real deal. (dan) Posted in adrenalination, behind enemy lines Tags: Act Of Valor, Alex Veadov, Canon EOS 5D, Jason Cottle, Mike McCoy, Navy SEALs, Nestor Serrano, review, Roselyn Sanchez, Scott Waugh, US Navy SEALs, US Navy Special Warfare Combatant Crewmen

LOVE IS U : JUST A CHIBI-CHIBI •April 2, 2012 • 1 Comment LOVE IS U

Sutradara : Hanny R. Saputra Produksi : Day Dreams Entertainment, Radikal Films, 2012 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/04/love-is-u.jpg) Apa sih yang Anda harapkan dari sebuah film yang menjual ketenaran sebuah band atau grup musik, sekaligus, pastinya, media promosi untuk jualan produk mereka? Ah ya. Terlebih untuk ukuran film Indonesia, tak usah berharap terlalu banyak. Produk-produk seperti ini sudah pasti diperuntukkan hanya untuk fans atau menjaring lebih banyak lagi orang yang kebetulan suka dengan jualannya. Ini memang murni promosi. Hanya sesekali mungkin kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari plot yang juga seakan dipaksakan untuk dibuat, seperti misalnya ‘BaikBaik Sayang’nya Wali tempo hari, meski konsekuensinya tak laku. Produk luar agaknya jauh lebih aware tentang ini hingga lebih sering mengarahkannya ke sebuah dokumenter, dari sekedar liputan backstage hingga mungkin menyentuh sedikit asal-usul grupnya. But then again, cheesy-cheesy sebuah promosi juga tak selamanya berarti tak bagus selama bisa tampil menghibur. Bukan begitu? Dan fenomena girlband di Indonesia sudah mengantarkan Cherry Belle, grup yang beranggotakan sembilan cewek-cewek belia dari sebuah audisi, ke puncak kepopuleran mereka hanya dengan sebuah mini album. Sebutan ‘Chibi’ untuk singkatan nama grupnya, ‘Twibi’ untuk fansnya, dan pastinya, jargon ‘Chibi Chibi Chibi.. ha ha ha haaa!’ yang populer di kalangan belia itu, bahkan dari usia balita sekali pun atas frekuensi kemunculan mereka di media-media televisi. And so, dari lirik lagu mereka yang paling populer, ‘Beautiful’, penulis naskah Jamil Aurora menyusun sedikit plot untuk membangun karakterisasi dan konflik di balik adaptasi mereka sebagai kelompok musik. Dan semua jelas disesuaikan dengan pangsa pendengarnya. Ringan bagaikan popcorn, menuju sebuah stageact ending, yang sudah pasti wajib hadir di genre sejenis. Cherly, Anisa, Wenda, Angel, Auryn, Christy, Devi, Felly, dan Gigi yang terpilih dalam audisi menjadi personil girlband Cherry Belle, awalnya tak mudah untuk menyatukan ambisi dan ego mereka masing-masing, dan hal ini membuat manager mereka, Victor (Panca Makmun) kelabakan. Walau sudah ditempatkan untuk tinggal bersama selama masa persiapan, gadis-gadis belia yang rata-rata masih kekanak-kanakan ini saling cekcok karena masalah-masalah sepele, belum lagi latar belakang keluarga beberapa personilnya yang ikut mempengaruhi performa mereka di saat latihan. Tapi toh sebuah keyakinan akhirnya berhasil membuat mereka lebih dekat, sekaligus mendapatkan jalan keluar dari masalah intern dalam keluarga tadi. Kata press release-nya, semua berhasil mereka atasi karena cinta. Love Is U, begitu. Tak ada yang lebih baik dari penampilan masing-masing personil grup band untuk membangun karakterisasinya menjadi diri mereka sendiri, ketimbang mencoba menghadirkan karakter dibalik pengalaman akting yang pastinya masih minim. Dan inilah yang muncul dalam ‘Love Is U’, dimana personil-personil girlband ini muncul sepolos usia mereka dengan sebuah pesan tentang cinta, persahabatan dan usaha keras demi meraih mimpi. Inspiratif. Naskah Jamil serta penyutradaraan Hanny R. Saputra juga lantas menyajikan problematika dan karakter masingmasing dengan cukup detil, termasuk kelebihan dan kekurangan mereka yang berbeda. Satunya jago tari, yang lain menyanyi, ada yang merasa kurang dibandingkan yang lain, sampai konflik-konflik sejenis yang disampaikan dari kacamata usia pangsa pengggemarnya. Lengkap pula dengan sempalan problem keluarga seperti ibu yang kelewat sibuk dengan karirnya, ayah yang meninggalkan keluarganya dan masih banyak lagi. So is it that good? Unfortunately, I’m just kidding. The thing is, tak ada yang salah dengan usaha untuk menempatkan mereka pada posisi karakter aslinya sendiri berikut kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak ada yang salah dengan lagu-lagunya sebagai bagian dari sebuah trend yang lagi marak-maraknya.Tak ada juga yang salah dengan menyempalkan beberapa problem keluarga untuk mendramatisir dan menambah karakter-karakter sampingan. Deskripsi proses sebuah penyatuan sebuah grup musik dari anggota seabrek dengan sifat beda-beda itu harusnya justru bisa jadi sedemikian menarik, apalagi semua personilnya punya tampang dan kemampuan yang cukup menjual. Namun sebuah pemaksaan untuk mencoba membuat semua penontonnya mengerti bahwa konflik bisa dibangun dari sekedar senggol-senggolan dalam latihan, lantas merajuk tak selesai-selesai, sebentar bisa berteriak-teriak dan kemudian tuntas hanya seolah dengan menjentikkan jari tangan dan sejumlah quote-quote yang kadar wise-nya bertolak belakang dengan sikap mereka, berikut segudang konflik lain yang terasa dibuat-buat dan dipaksakan, tak pula hadir dalam eksekusi akting yang baik dari pemeran-pemeran pendukungnya, that’s just a bit too awkward. (baca=lebay). Boro-boro bersimpati pada karakternya, yang ada malah semua karakternya terlihat labil secara maksimal. Single-single mereka pun tak mendapat porsi seimbang dimana hingga hampir separuh masa putarnya kita hanya melulu mendengar satu lagu yang diulang-ulang hanya untuk penekanan bahwa liriknya yang dijadikan dasar cerita. Stageact ending yang harusnya bisa lebih meriah itu juga jadi hambar bersama penyelesaian konfliknya yang lagi-lagi bagaikan sebuah pertunjukan sulap. Oke, sebagian fansnya mungkin tak akan keberatan dengan ribut-maaf ribut-maaf bukan hanya dari personil sampai ke pemeran pendukung dari manager, pelatih dan keluarganya, karena sudah mencintai masing-masing personil dan lagu-lagunya lebih dari sekedar suka, atau malah sebagiannya memiliki pola pikir yang sama dengan karakter-karakternya, But I’m gonna tell you. In terms of movies, ini lebih mirip propaganda produser tak bertanggung jawab dan menyia-nyiakan potensi jualannya sendiri. Lebih seperti sebuah klip yang dipanjang-panjangkan hingga mereka mentok di 80 menit, ketimbang sebuah film yang utuh, dan itu berarti, ‘Love Is U’ bukan sebuah film yang baik. Sayang sekali. (dan) Posted in destinasian : indonesia Tags: Angel Chibi, Anisa Chibi, Auryn Chibi, Beautiful, Cherly Chibi, Cherry Belle, Christy Chibi, Devi Chibi, Felly Chibi, Gigi Chibi, hanny r saputra, Jamil Aurora, Love Is U, movie, Panca Makmun, review, Wenda Chibi

THE LADY : AN INCREDIBLE JOURNEY OF LOVE •April 1, 2012 • 1 Comment THE LADY

Sutradara : Luc Besson Produksi : Europa Corp & Left Bank Pictures, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/04/the-lady.jpg) Those who knew the history of Burma/Rangoon/Myanmar, must already know Aung San Suu Kyi as well. Karir politiknya, Nobel hingga segudang penghargaan lainnya, dukungandukungan internasional terhadapnya, dan pastinya, perjuangannya menjadi tahanan selama puluhan tahun di negaranya sendiri. Ini adalah sebuah biopik yang sejak jauh-jauh sudah menancapkan pesona dengan pemilihan Michelle Yeoh, artis internasional asal Malaysia yang dulu lebih dikenal sebagai aktris laga, untuk memerankan sosok Suu Kyi. Dari banyak publikasi kita sudah melihat betapa Yeoh punya postur yang mirip dengannya, dan ia sendiri mengakui, bahwa ia mengharapkan peran ini sebagai puncak dari karir aktingnya. She looks just like the lady. Tapi sejauh mana seorang Luc Besson, yang semuanya tahu bukan sineas yang gemar bermain di wilayah drama dan film-film serius, dalam mengggarap sebuah biopik seperti ini? Oh yeah. Besson memang tak sedang sekedar merekonstruksi sejarah. Dengan pendekatan komersil ala film-film dia biasanya, Besson membidik bagian dari kehidupan Suu Kyi yang belum banyak kita ketahui sebelumnya. A truly moving lovestory antara Suu Kyi dengan Michael Aris, suaminya yang berkebangsaan Inggris. Besson juga mengaku bahwa ini adalah sebuah tantangan yang akan memaksanya mengeluarkan semua kemampuannya sebagai sutradara, and after all, walau tanpa senjata, this is like a heroine, satu sisi yang sering muncul di film-film Besson. And so, ini adalah sebuah biopik yang berbeda di balik gaya Besson. Konsekuensinya, Yeoh memang takkan bisa berharap banyak akting luarbiasa-nya mimicking the real lady itu dilirik oleh festival-festival sekelas Oscar serta menjadikannya Meryl Streep baru, apalagi skenario Rebecca Frayn tak seluruhnya menempatkan dialog berbahasa Myanmar asli pada karakter Suu Kyi walaupun saat latar setnya ada disana. But then again, kadang kita juga tak perlu pengakuan juri atau festival untuk menyadari sebuah kisah sejati se-luarbiasa sejarah hidup Aung San Suu Kyi. Keterlibatan emosi justru jadi sasaran yang jauh lebih penting untuk bisa merasakan perjuangannya. Perjuangan yang layak didukung semua orang. A fight for a nation’s freedom, di sebuah bagian dunia dimana human rights masih jadi prioritas terbawah pemerintahan junta militernya. Sebagai putri dari tokoh yang membawa bangsanya pada sebuah pengakuan kemerdekaan, Aung San Suu Kyi (Michelle Yeoh) tak pernah merasakan atribut itu terlalu lama. Di usia tiga tahun, sang ayah sudah terbunuh dalam sebuah kudeta militer yang masih berjalan hingga sekarang. Suu Kyi kemudian bersekolah di luar negeri, dari New Delhi, India sampai memperoleh kelulusan sarjana di Oxford, Inggris. Disana ia menikah dengan Dr. Michael Aris (David Thewlis) dan menetap lama di London, hingga di tahun 1988 sang ibu yang terserang stroke mengharuskan Suu Kyi kembali ke Burma, di tengah gejolak politik yang masih terus berlangsung. Kembalinya Suu Kyi sebagai putri seorang nasionalis membuat pemerintahan diktatorisme militer Burma yang masih banyak dipengaruhi tahyul dan mistis merasa terancam, apalagi barisan demonstran yang menolak diktatorisme militer itu segera meminta Suu Kyi membentuk partai dan ikut dalam pemilu bayangan yang mereka rancang. Toh kemenangannya membuat suasana makin keruh. Tak hanya dijadikan tahanan rumah dengan perlakuan tak manusiawi termasuk penangkapan seluruh anggota partainya, kedatangan Aris dan dua putranya juga ikut berkali-kali mendapat penolakan visa dan deportasi paksa. Namun perjuangan Suu Kyi tak berhenti. Bantuan Aris dan banyak pihak terus mendorongnya mendapatkan dukungan-dukungan internasional, termasuk Nobel perdamaian yang makin membuka mata seluruh dunia, tapi junta militer Burma terus menahan Suu Kyi dalam permainan politik. Suu Kyi pun harus membayar mahal pengorbanannya, berpuluh tahun menjadi tahanan rumah dalam kebebasan semu, tak bisa melihat anak-anaknya bahkan melewatkan kesempatan terakhir mendampingi Aris melawan penyakit kanker prostat-nya, tapi sebuah keteguhan hati demi tujuan kemanusiaan, juga tak semudah itu bisa berhenti. Now I’m gonna put you standing on the line. Memilih biopik dengan penggarapan serba festival tapi membatasi simpati penonton merasakan kebesaran kisah sejati karakternya, atau pendekatan serba komersil sampai komikal yang membuat penonton betah mengikuti perjalanan panjang itu dengan perasaan tersentuh hingga ke dasar hati mereka? Now this, in terms of movies, jelas hanya garis batas dalam sebuah pilihan. Tapi pendekatan yang lebih universal tentu bukan selamanya jadi tak bagus. Dan Besson memilih yang kedua. Menyajikan biopik tentang Aung San Suu Kyi dengan gayanya yang kental. Walau mungkin tak se-over itu dan mendramatisasi sebagian sejarah asli, tampilan militer-militer Burma itu tak ubahnya menyaksikan film-film action gaya Besson dengan villain-villain super komikal, bertampang seram dan kejamnya tak kepalang. Dramatisasinya seringkali berlebih dalam sebuah penyampaian adegan, hitam putih serta penuh penghakiman, plus skor Eric Serra yang kadang juga over-dramatized seperti dialog-dialognya yang kadangkala kedengaran kelewat cheesy. Theme song-nya, ‘Soldier Of Love‘ yang dinyanyikan Sade pun sangat tidak bernuansa biopik. Tapi taraf komunikatifnya, tak bisa disangkal, juga luarbiasa memancing sebuah kedekatan rasa antara penonton ke karakter-karakternya, dan dalam kisah-kisah seperti ini, komunikasi itu jelas penting sekali. As biopics seringkali membuat penonton beranjak karena penyajian yang lambat, trust me, you won’t find it in here. Begitupun, Besson tak sampai meninggalkan kepentingan set, sinematografi (Thierry Arbogast) serta beberapa detil lain termasuk alur maju-mundur dan penggunaan bahasa asli yang tergarap cukup baik dalam genrenya sebagai sebuah biopik. Dan Michelle Yeoh, sudah menghandle semuanya dengan kesempurnaan akting yang merupakan pencapaian terbaik dalam karirnya. Selain transformasi totalnya meniru gestur Aung San Suu Kyi dalam seluruh gerak-geriknya, detil-detil ekspresi hingga sekedar gerakan tangan pun muncul dengan mengagumkan. Kita seolah tak lagi melihat Yeoh yang biasa, namun Aung San Suu Kyi dalam media-media berita. David Thewlis juga tampil tak kalah sempurna membangun chemistry-nya dibalik penekanan kisah cinta Suu Kyi dan Aris yang jadi poin terpenting dalam pendekatan Besson. Tak hanya membuat kita tersentuh hingga sebagian penonton yang mungkin meneteskan air matanya, chemistry itu membuat kita percaya bahwa cinta bisa berbuat sejauh apapun yang ia bisa, bahkan dengan pengorbanan sebesar kisah aslinya. So it’s your choice. As to me, Besson sudah memilih jalan terbaiknya untuk menyampaikan kisah tentang semangat, perjuangan tanpa henti dibalik sosok seorang wanita dengan ketangguhan luarbiasa, and above all, cinta yang bisa membuat seseorang terus bertahan dalam tantangan apapun. Gejolak politik di Myanmar mungkin tak semudah itu berhenti meskipun pemilu-nya sudah digelar dengan kemenangan Suu Kyi sebagai buah perjuangan panjangnya, bersamaan dengan peredaran ‘The Lady’ di sederet negara Asia termasuk penundaan dan pelarangan di negara lainnya. But it’s not just about a nation. This is about humanity in all of us. An incredible journey of love, and let’s all hail for that! (dan) Posted in they live! Tags: Aung San Suu Kyi, david thewlis, Eric Serra, Luc Besson, michelle yeoh, movie, Myanmar, review, Sade, The Lady, Thierry Arbogast

Blog at WordPress.com.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.