BuzZ [PDF]

Jun 5, 2014 - Contohnya, Agus Pramudiyanto, anak pertama alias kakak tertua Sri Mulyani, adalah guru besar UI dan pejabat eselon 1 Departemen Kesehatan RI. Saudaranya yang lain, Asri Purwanti, mengajar di ..... Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan. "Cinta menerima orang lain bersama dengan ...

14 downloads 34 Views 573KB Size

Recommend Stories


BUZZ BUZZ BUZZ
Be grateful for whoever comes, because each has been sent as a guide from beyond. Rumi

Managing buzz
Don't fear change. The surprise is the only way to new discoveries. Be playful! Gordana Biernat

Buzz Marketing
What you seek is seeking you. Rumi

Buzz Noise
You have survived, EVERY SINGLE bad day so far. Anonymous

SCIS BUZZ
When you talk, you are only repeating what you already know. But if you listen, you may learn something

buzz session
Why complain about yesterday, when you can make a better tomorrow by making the most of today? Anon

Buzz Hays
Just as there is no loss of basic energy in the universe, so no thought or action is without its effects,

community buzz
I tried to make sense of the Four Books, until love arrived, and it all became a single syllable. Yunus

Ratzi-buzz
Don’t grieve. Anything you lose comes round in another form. Rumi

The Buzz
You have survived, EVERY SINGLE bad day so far. Anonymous

Idea Transcript


More Next Blog»

Create Blog Sign In

About Me

-BUZZ-

Baskoro Jakarta, Indonesia

This is a place for me to write all that happen in the past, present, and future of my life and all the things in the world that i concern about...please enjoy!

Thursday, June 5, 2014

"If you know how to live, you will live anyhow" is my fave quote beside "The possibilities are infinite." An ordinary guy with many extraordinary dreams to be reached. Striving to always do the best in everything I do. View my complete profile

Bentuk Ibadah yang Perlu Dibiasakan di Indonesia

Quotation of the Day The fallen angel becomes a malignant devil. Yet even that enemy of God and man had friends and associates in his desolation.

Indahnya salah satu bentuk ibadah terhadap sesama manusia dan makhluk hidup yg lain, tanpa perlu kaya raya secara materi, cukup dengan kaya hati..Perlu diterapkan (kembali) di negeri kita. Bagaimana pengendara saling mengalah dan memberikan prioritas bagi orang menyeberang, bahkan kucing dan

Mary Shelley (1797-1851)

binatang lain yang menyebrang. Bagaimana orang saling membantu untuk mendorong mobil yang tersangkut salju, berhenti total ketika ada balita yang tidak sengaja bermain di jalan raya, dan lain-lain. Negara kita adalah negara yang beragama. Dan lebih indah apabila bentuk ibadah kita tidak hanya vertikal kepada

Translate

Tuhan Yang Maha Esa, tapi juga beribadah setiap hari dengan perbuatan baik terhadap sesama makhluk hidup, sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Al Qur'an ataupun Kitab Suci lainnya.

Search This Blog

Source: https://www.youtube.com/watch?v=6m_nRe3i7pc Search

Popular Posts Benefit untuk keluarga di Chevron Ya Allah, tunjukkanlah aku jalan yang terbaik... The Outliers dan keluarga mereka My short story about Chevron Tes Kepribadian

Labels Career Event Family life Just for Fun Malaysia Musics Nationalism Personal life Positive Sport Travelling

Read More...... Posted by Baskoro at 6:59 AM 1 comments Links to this post Labels: Nationalism, Positive, Travelling

Monday, June 2, 2014

Budaya Timur Amerika yang Perlu Kita Lakukan di Indonesia Sebagai orang Indonesia, saya sangat akrab mendengar betapa kita dinilai sebagai bangsa yang ramah dan penuh senyum. Persepsi asing yang telah mengkristal, yang tanpa disadari kita akui kebenarannya. Di sisi lain, telah tertanam pula sejak kecil bahwa bule atau ‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualis-dingin yang bertolak-belakang dengan kehangatan timur kita. Namun, berbagai fakta yang terjadi di hadapan mata ketika di Amerika, membuat saya bertanya, masih relevankah persepsi-persepsi itu? Apakah kita benar-benar ramah dan hangat? Saya yakin, tidak saya seorang diri yang mempertanyakan ini. Semua bermula dari rangkaian kejadian sehari-hari. Kutahan Pintu Untukmu

Blog Archive Blog Archive

My Links and sites that I often read onto Anjar Priandono (blog for career and life) BEMS - My Band ESQ Way 165 Islam for All Migas Indonesia.com Migas Indonesia.net Migas Indonesia.or.id QB News site

Drop your comment here...thanks!

Ketika menuju ke berbagai gedung,orang Amerika yang terlebih dahulu masuk, biasanya menahan pintu tetap terbuka agar orang lain di belakangnya, termasuk saya, bisa ikut masuk. Kejadian pintu ditahan terbuka ini, awalnya saya kira hanya kebetulan, tetapi ketika terjadi setiap hari di berbagai tempat dengan orang yang berbeda, saya tertegun dan malu sendiri karena tidak pernah melakukannya untuk orang lain. Saya merasa sangat egois, karena seumur hidup jarang sekali hal ini dilakukan. Kalau masuk ruangan, ya masuk saja, buka pintu untuk diri sendiri. Meskipun awalnya agak canggung, tak ada cara lain untuk menghapus rasa malu selain melakukan hal yang sama pada orang lain. Eskalator “Kiri-Kanan”

[Upgrade Cbox] name

refresh e-mail / url

message

Go help · smilies · cbox

...Indonesian Bloggers...

Keteraturan adalah salah satu perwujudan saling menghargai. Di Amerika, ini bahkan terlihat saat sedang menggunakan eskalator. Di stasiun Metro, setiap badan eskalator seakan memiliki batasan semu, bagian kiri dan kanan. Sisi kanan untuk pengguna yang tidak terburu-buru dan sisi kiri bagi yang bergegas sehingga bisa terus bergerak. Alhasil, siapapun yang terburu-buru tidak kesal jika orang di depannya tidak bergerak. Dan yang santai, juga tidak terganggu karena orang di belakangnya ingin memotong jalan. Mungkin terlihat sederhana, tetapi dari hal-hal kecil inilah keteraturan hidup sebuah masyarakat bermula. Bising “Terima Kasih”

Alexa (Indonesia Clubbing) Boku Baka Blog - Budiyono Bunda Elly Camel Journel - Faisal Dewi Lestari's Ideas Dewi Lestari's unessentials blog Dian Sastrowardoyo Download - Film Asia Download - MP3 Blog Download - NadaMusik Download - Suka download Ecky Eriekha Erni Haryati Eva Muchtar Fatih Syuhud Gadis Indo Moslem in Pakistan Indonesia Matters Isnuansa Maharani Media Anak Muslim Media Kita Menteri Desain Indonesia MeSis Musik Online Nadia Febina (Indonesian in Angola) Nila Tanzil (Traveller's Blog) Oil and Gas Expert - Donny Agustinus (london) Oil and Gas Expert - Om Rovicky (KL) Oil and Gas Expert - Prasetyo M. Robert Wonogiri's Community

World Bloggers

Ucapan terima kasih terdengar di mana-mana. Misalnya ketika turun bus, penumpang mengantri turun, lalu satu persatu menggaungkan terima kasih kepada supir. Rasanya tidak mungkin terjadi di Indonesia: bus langsung tancap gas, bahkan sebelum penumpangnya sempat menginjakkan kaki di jalan. Budaya mengantri sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antri berfoto di tempat wisata. Ini mereka lakukan dengan inisiatif sendiri, tanpa peraturan dan tanpa penjagaan.

Cherry Lerick - USA Dr. Chris - DogBlog Gavin Jaimie in Asia Jazz and Blues Mahmoud Ahmadinejad Moslem Women in UK Raquel - Phillipine - USA Shelly - USA Stephen Forte Vinho - Brazil Violet Yang - Taiwan Bloggers Young Germany

Recommended sites Career - Bicara Karir Career - Dunia Karir Career - GasOilField Career - Petromindo (Bagus nih...) Ebook Source - Knovel...NICE ONE! Info - Astronomy Pictures Info - Bandung Tourism Info - Business Info - Hotel in Bandung Info - Interior Design Info - Kesehatan Info - Oil and Gas Training Info - Visit Indonesia 2008 Info - Visit Jogjakarta Learn Grammar Radio - SmartFM (My Fave) Shop - Florist

Saya sempat mengurut dada ketika antri hampir setengah jam hanya untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terpikir, keadaan ini sudah berlebihan. Namun, jika semua orang seperti saya dan memutuskan berfoto di sudut mana pun yang mereka mau, kekacauan lah yang terjadi. Wajar, di Amerika jarang terdengar ada orang yang terinjak-injak atau pingsan sesak nafas karena mengantri. Sapaan Semu?

Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan di Amerika untuk bertegur sapa bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal. Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah kebiasaan ini. Semuram apapun kondisi hati seseorang, mereka cenderung menjawab “baik-baik saja”. Ini tidak jujur, apa gunanya? Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, bahkan yang tidak dikenalnya. Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Kalimat yang jika direnungkan, dalam taraf yang berbeda, serupa dengan ungkapan Assalamualaikum-Wa’alaikum salam. Silahkan Lewat

Di mana lagi tempat di bumi ini, mobil berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki menyeberang di hadapannya terlebih dahulu? Saya sangat akrab dengan jalanan Ibukota yang kadang terasa sangat brutal. Nyawa seakan dipertaruhkan di setiap langkah. Pengemudi mobil dan motor menjadi raja jalanan. Pejalan kaki termajinalkan. Di Amerika, pejalan kaki bagai makhluk mulia. Seringkali ketika hendak menyeberang, saya berhenti karena ada mobil yang akan lewat. Tetapi yang terjadi kemudian, malah mobilnya yang berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang. Betapa orang menghargai satu sama lain, bahkan bisa dilihat saat menggunakan lift. Siapapun yang masuk lebih dulu, dipersilahkan keluar terlebih dahulu jika lantai tujuan sama, meskipun orangnya berdiri jauh dari pintu lift. Manusia Setengah Dewa

Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan. Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari apapun kekurangan mereka. Saya semakin terkesima ketika tahu perhatian ini merambah dunia pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda. Paradoks Apa yang saya lihat sedikit banyak memberi jawaban, mengapa tidak sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengecap pendidikan di luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena lapangan pekerjaan yang layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama dan asal negara, tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya. Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai ramah oleh orang asing, padahal kita hanya ramah kepada mereka tetapi lupa terhadap bangsa sendiri? Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan selayaknya, bahkan seakan diagungkan. Mungkin dari sinilah mereka menilai kita sebagai orang-orang yang hangat. Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru terkenal dengan berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat dan menopang berbagai sendi kehidupan. Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing. Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang. Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritik persepsi kita tentang “budaya barat” dan “budaya timur”. Ada celah untuk mengatakan keramahan bukanlah soal timur dan barat. Keramahan bukanlah soal ras dan warna kulit. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, yang tak pandang buluh dan merata. Keramahan, yang rasanya janggal bagi saya mengakui Indonesia sebagai representasi “timur” sebenarnya, karena ada “timur” yang jauh lebih kental di “barat”-nya Amerika. () Tulisan ini bersumber dari Rafki Hidayat. Saya pribadi yakin kalau Bangsa Indonesia pasti bisa melakukan semua hal ini, ditambah dengan hal-hal positif lainnya. Sekarang ini terlalu banyak hal negatif yang ada di masyarakat kita, semua karena faktor krisis ekonomi, kesejahteraan yang kurang, korupsi oleh para pejabat, dan budaya konsumtif yang perlu diubah menjadi budaya produktif. Semoga bangsa kita menjadi BANGSA BESAR dengan rakyat yang mampu bersikap ramah, sopan, dan santun seperti layaknya budaya timur kita. "Baskoro" Email : [email protected] Twitter : @RafkiHidayat

Read More...... Posted by Baskoro at 11:05 AM 1 comments Links to this post Labels: Family life, Nationalism, Positive, Travelling

Keindahan Dunia yang Jarang Kita Lihat Dari website ini, kita bisa melihat banyak keindahan dan fenomena alam yang jarang kita lihat. Kita juga bisa follow website Viralnova ini untuk terus mendapatkan artikel-artikel yang luar biasa dan kadang menggelikan dari web yang saya kagumi ini. Mari kita sebarkan hal positif sebagai gizi untuk pikiran dan jiwa kita supaya lebih bersyukur pada kebesaran Illahi. Thanks to Viralnova for these beautiful yet breathtaking photos. Source: Viralnova

Read More...... Posted by Baskoro at 10:51 AM 0 comments Links to this post Labels: Family life, Positive, Travelling

Saturday, January 7, 2012

The Outliers dan keluarga mereka http://swa.co.id/2009/01/mereka-bukan-keluarga-biasa/ The Outliers..Orang2 sukses bukan cuma krn apa yg ada dalam dirinya, tapi jg krn faktor lingkungan dan budaya, terutama keluarga.. Siapa sih yang tak ingin mempunyai anak-anak yang sukses? Rasanya tak akan ada seorang pun yang menggelengkan kepala. Setiap orang ingin melahirkan generasi atau anak-anak yang kalau bisa semuanya sukses. Arti sukses di sini, bukan hanya berkontribusi positif, tapi juga menonjol, berprestasi, dan berkibar di bidang masing-masing. Entah itu sebagai wirausaha (entrepreneur), profesional, artis, pejabat publik, atau profesi lainnya. Namun, tentu saja fakta berbicara lain. Kenyataannya, tidak mudah menciptakan generasi sukses dalam keluarga. Apalagi, kalau sebagian besar atau bahkan semua anak dalam keluarga bisa meniti jalur yang moncer di profesi masing-masing, pasti jauh lebih sulit. Menariknya, di Indonesia ternyata tak sedikit keluarga (orang tua) yang mampu melahirkan generasi sukses seperti itu, baik di lingkup bisnis maupun lembaga publik (birokrasi). Di dunia bisnis, misalnya, kita bisa mendaftar beberapa keluarga. Antara lain, keluarga Firmansyah, yang memiliki putra-putri: Erry Firmansyah, Rinaldi Firmansyah dan Evi Firmansyah. Mereka sukses berkarier di BUMN. Erry kini Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia dan Rinaldi menjabat Dirut PT Telkom, sedangkan adik perempuan mereka, Evi, menjadiWakil Dirut Bank Tabungan Negara. Masih di dunia bisnis, boleh juga menyebut keluarga Wirjawan (pasangan Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka). Putranya, antara lain, Gita Wirjawan, yang sempat menjadi orang nomor satu di JP Morgan Indonesia, tapi baru saja undur diri untuk mendirikan Ancora Capital. Lalu, Dian Budiman Wirjawan (mantan Dirut PT Danareksa), Wibowo Suseno Wirjawan (mantan Dirut PT Jakarta International Container Terminal dan Dirut PT Terminal Peti Kemas Koja), serta Rianto Ahmadi Djojosoegito yang kini Wakil Presiden Direktur PT Allianz Life Indonesia. Kiprah keluarga Satar pun menarik. Emirsyah Satar sudah tak asing, kini Presdir di PT Garuda Indonesia. Lalu, saudaranya, Rizal Satar, menjabat Presdir Pricewaterhouse Coopers FAS. Sementara Kemal Satar bergelut sebagai wirausaha properti. Di jajaran entrepreneur pun kita juga bisa mengambil contoh beberapa keluarga yang masing-masing putra (generasi penerus)-nya sukses menekuni bisnis sendiri. Contoh menarik keluarga Wanandi. Sofjan Wanandi sukses mengembangkan Grup Gemala, Biantoro Wanandi mengorbitkan Grup Anugerah (Anugerah Pharmindo Lestari, dll.), dan Rudy Wanandi membesut bisnis asuransi PT Asuransi Wahana Tata. Adapun Jusuf Wanandi lebih aktif sebagai intelektual. Jusuf aktivis dan pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Dari lingkungan keluarga pendidik (dosen), acungan jempol layak ditujukan ke keluarga Sri Mulyani (putra-putri pasangan Prof. Drs. Satmoko dan Prof. Dr. Retno Sriningsih). Sri Mulyani adalah satu di antara 10 bersaudara. Yang menarik, karier 9 saudaranya juga berkembang dengan baik. Sri Mulyani tak usah dibahas. Dia Menteri Keuangan RI saat ini, dosen Universitas Indonesia, sempat mengepalai Bappenas dan bekerja di Dana Moneter Internasional (IMF). Sembilan saudara Sri Mulyani rata-rata juga lulusan S-3 dan S-2. Contohnya, Agus Pramudiyanto, anak pertama alias kakak tertua Sri Mulyani, adalah guru besar UI dan pejabat eselon 1 Departemen Kesehatan RI. Saudaranya yang lain, Asri Purwanti, mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Nining Triastuti, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, tapi mengambil S-3 Ekonomi di Fakultas Ekonomi UI dan sekarang dosen FE UI. Terus, ada lagi Nanang Untung Cahyono, alumni Jurusan Teknik Kimia ITB yang pernah bekerja di Exxon, Arun dan sekarang profesional di Pertamina; Atik Umiyatun Hayati, insinyur ITB, kini pejabat eselon 1 Bappenas; Sri Harsi Teteki, alumni FK Undip, kini profesional di Telkom; dan Sutopo Patria, alumni FK Undip, sekarang mengambil studi jenjang S-3. Punya 10 putra-putri yang semuanya mendapatkan karier bagus jelas merupakan prestasi yang luar biasa. Pada lingkup profesi kedokteran, kita boleh mencatat keluarga drg. Noto Husodo Widodo sebagai keluarga yang unik sekaligus spektakuler. Dari keluarga ini, tak kurang dari 18 orang yang berprofesi sebagai dokter gigi. Drg. Noto sendiri adalah empat bersaudara, dan menjadi dokter gigi bersama saudaranya, Harjanto Widodo. Uniknya, Noto yang menikah dengan dr. Lydiana Gunawan dikaruniai tiga anak yang semuanya dokter gigi, yakni drg. Joyce Niti Widodo,. Drg. Grace Niti Widodo dan drg. Arifo Adhianto Widodo. Uniknya lagi, Joyce menikah dengan Felix Hartono Koerniadi yang juga dokter gigi. Terus, Grace pun menikah dengan dokter gigi, yakni drg. Benny M. Soegiharto. Mayoritas keponakan drg. Noto juga dokter gigi, atau setidaknya menikah dengan dokter gigi. Total tak kurang dari 18 dokter gigi di lingkungan keluarga ini. Ada yang membuka klinik sendiri dan ada yang kerja untuk rumah sakit besar tertentu. Dari Jawa Tengah, menarik juga melirik keluarga sukses dr. Supandji, dokter penyakit dalam di Akademi Militer, Magelang. Supandji melahirkan lima putra dan satu putri yang rata-rata kariernya di atas rata-rata. Anak pertamanya, Hendarto Supandji, pengajar di FK Undip (pensiun). Lalu, Hendarman Supandji, sebagian besar sudah mafhum karena dia adalah Jaksa Agung RI. Seterusnya, Hendardji Supandji, salah satu pejabat di KASAD; Budi Susilo Supandji, mantan Dekan Fakultas Teknik UI, Direktur Kopertis untuk wilayah Jakarta, Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Keamanan RI; dan Ongky Supandji, aktif sebagai pengusaha. Jadi, keluarga Supandji ada yang di birokrasi, dosen dan bisnis. Pasangan Sutrepti dan Soemarno (Gubernur DKI tahun 1960-an dan Menteri Keuangan Kabinet Dwikora) pun melahirkan anak-anak cemerlang. Ada Ari H. Soemarno (kini Dirut PT Pertamina), lalu Rini M. Soemarno (mantan Menteri Perdagangan, Presdir Grup Astra, dan kini pengusaha otomotif), dan Ongki P. Soemarno (pengusaha multibisnis, mantan eskekutif Grup Humpuss). Dua putrinya yang lain memilih menjadi ibu rumah tangga, tapi anak-anaknya juga sukses meretas karier di luar negeri. Bisa jadi, ada yang menilai pantas saja mereka sukses karena orang tuanya punya posisi tinggi. Namun, seharusnya juga diingat, banyak anak pejabat yang jangankan kariernya tumbuh, sekolah menengah saja tak selesai. Bahkan, anak-anaknya banyak yang kacau. Sudah pasti, selain nama-nama di atas, masih banyak keluarga sukses lain di Indonesia yang putra-putrinya juga berkilau. Entah itu yang berkiprah sebagai profesional bisnis, wirausaha, olahragawan, seniman, birokrasi publik, dan profesi lain (bisa dilihat di Tabel). Terlepas dari diskusi siapa saja yang terbilang keluarga sukses, sesungguhnya yang sangat menarik mengurai mengapa keluarga itu (orang tuanya) bisa melahirkan generasi atau anak-anak yang sukses seperti itu. Mengapa ada keluarga yang sangat sukses seperti itu, tapi di lain tempat banyak keluarga yang sebagian kecil saja anggotanya yang sukses atau malah tidak ada sama sekali? Apa yang diberikan? Sekali lagi, betapapun, meraih prestasi seperti itu pasti bukan pekerjaan mudah walau semua orang tua menginginkannya. Kita mungkin juga akan sepakat bahwa kesuksesan keluarga-keluarga itu tak jatuh dari langit alias bukan sebuah kebetulan. Ada kondisi dan prasyarat yang mengantarkan mereka ke gerbang sukses bersama-sama. Kalau orang tua saya tidak mendidik saya dengan baik, tidak mungkin saya bisa sampai seperti ini, ungkap Erry Firmansyah beberapa hari lalu. Pernyataan Erry mengungkap hal menarik. Ada elemen-elemen penting di masa lampau yang mengukir dirinya dan saudaranya hingga kemudian menjadi modal sukses berkarier di kemudian hari, khususnya di BUMN. Yakni, faktor pendidikan orang tua. Pernyataan Erry sebenarnya sangat paralel dengan pendapat Malcolm Gladwell, sebagaimana tertuang dalam buku terbarunya Outliers (diterbitkan Litte Brown, 2008) yang cukup menjadi perbincangan publik karena mementahkan paradigma orang sukses yang selama ini berkembang. Malcolm sebelumnya juga membuat heboh dengan bukunya, Tipping Point dan Blink. Malcolm tak setuju pada pendapat bahwa orang-orang yang sukses seungguhnya karena faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri seperti kepribadian (personality) dan kecerdasan (intelligence). Paradigma lama selalu mengatakan driving force sukses adalah pada faktor-faktor individual. Padahal, menurutnya, kita bisa mencapai kesuksesan yang semakin banyak dengan cara mencari lingkungan yang memungkinkan orang-orang meraih kesuksesan. Bisa dari budaya yang ada di sekitarnya dan bagaimana orang tuanya hidup dan memberi ruang. Successfull people are people who have made the most of series of gifts that have been given to them by their culture and their history, Malcolm menjelaskan. Orang-orang sukses yang dia sebut sebagai para outlier itu memiliki sejarah dan budaya yang sangat mendukung dan mengantarkannya menjadi orang atau keluarga sukses. Premis Malcolm, kalau ingin sukses, bukan semata-mata mengandalkan intelijensi, tapi juga menciptakan budaya dan lingkungan yang kondusif, termasuk budaya dan lingkungan keluarga (orang tua). Malcolm antara lain mengambil contoh Bill Gates, salah satu orang terkaya dunia saat ini. Sejarah Bill menunjukkan, wajar dan masuk akal bila dia sukses berbisnis dan menjadi superjenius komputer. Ketika usianya 13 tahun (1969), Bill sudah belajar di sebuah private school di Kota Seattle yang punya ruang komputer dengan mesin ketik jarak jauh dan terhubung dengan mainframe. Siapa saja bisa mengutak-atik (bermain-main) dengan masin ketik jarak jauh itu dan bisa melakukan programming secara real-time. Di saat itu, bahkan 99% universitas di Amerika belum punya alat ini, kata Malcolm. Lalu, ketika berusia 15 tahun, Bill dan mitranya Paul Allen mendapati kenyataan bahwa ada sebuah mesin komputer mainframe di Universitas Washington yang menganggur setiap pukul 2 dinihari sampai pukul 6 pagi. Keduanya lalu bangun pada jam fajar itu dan mengutak-atik pemrograman. Pemuda lain tidak melakukannya karena tidak mendapati fasilitas itu, atau setidaknya tidak tahu. Jadi, di usia itu Bill sudah rutin belajar programming empat jam per hari. Tak mengherankan, ketika usianya 20 tahun, dia punya pengalaman yang jauh lebih banyak ketimbang orang lain sehingga posisi start-nya jauh lebih bagus ketimbang pelaku lain ketika bisnis komputer mulai booming. Kesempatan, lingkungan dan sejarah mengantarkan Bill sebagai jago programming hingga kemudian lahirlah Microsoft yang membawanya terbang kaya raya. Malcolm hanya ingin menjelaskan, ada faktor sejarah dan lingkungan — termasuk lingkungan keluarga dan orang tua — yang menjadi driving force kesuksesan. Dan tampaknya, pandangan Malcolm itu juga tetap relevan untuk menjelaskan realitas keluarga-keluarga sukses di Indonesia. Mungkin bisa mengambil contoh keluarga Sri Mulyani yang 9 saudaranya dan dia sendiri berkarier dengan baik di bidang masing-masing dan rata-rata lulus S-2 dan S-3. Menurut Mbak Ani, demikian Sri Mulyani disapa kolega dekatnya, sejak dini bapak-ibunya sudah membiasakan anak-anaknya untuk bersuara, menceritakan yang mereka alami hari itu. Tiap anak boleh bercerita, bapak-ibunya pun demikian, bercerita tentang pekerjaan. Jadi, kami terbiasa juga dengan cerita bapak-ibu tentang rekan-rekannya apabila sedang ada masalah, atau mahasiswa yang pintar, mahasiswa bego, mahasiswa yang kurang ajar, dan mahasiswa yang nasibnya perlu dikasihani. Dari cerita itu muncullah nilai-nilai yang bisa diambil sebagai pelajaran, tutur Sri Mulyani.. Contoh lain, soal kebiasaan membaca. Kebiasaan ini juga ditanamkan dari kecil dan dijadikan semacam hobi. Kalau pagi di rumah datang koran Suara Merdeka, kami langsung rebutan membacanya. Demikian juga majalah-majalah seperti Kuncung dan Gadis, katanya. Bahwa kemudian rata-rata anaknya berkembang menjadi sangat artikulatif (pandai berbicara), itu karena orang tuanya memang sudah mengondisikannya dari kecil. Pola seperti itu ada kemiripan dengan keluarga Noto Husodo Widodo. Seperti dikatakan Joyce, putri drg. Noto yang juga dokter gigi, lingkungan keluarga yang diciptakan ayahnya sangat mendorong anak-anaknya menjadi dokter gigi. Tempat tinggal ayahnya sekaligus dijadikan tempat praktik. Anak-anaknya semasa kecil biasa menghabiskan waktu di klinik sehingga akrab dengan peralatan kedokteran gigi. Bahkan, belajar dan mengerjakan PR juga di klinik. Belum lagi ayahnya sering menghukum dirinya di dalam klinik. Terus, bila musim liburan tiba, sering membantu praktik dengan membersihkan peralatan. Karena sering melihat praktik, dirinya jadi terbiasa. Bahkan, ketika Joyce kuliah, juga saat ini, obrolan tiap bertemu ayahnya — misalnya saat makan bersama — tak jauh-jauh dari dunia dokter gigi. Papa sering menceritakan kasuskasus yang dia temukan, kata Joyce. Pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif seperti itu pun diakui Omar S. Anwar, Presdir PT Rio Tinto, yang saudarasaudaranya juga sukses berkarier di lembaga negara dan dunia bisnis. Menurutnya, kondisi sosial (lingkungan keluarga dan sekolah) sangat menentukan perkembangan dirinya. Dengan punya lingkungan seperti itu, kita akan terekspos. Sehari-hari mau tak mau menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, kata putra Chairul Anwar (alm.), Atase Perindustrian RI di Washington DC 197282. Selain dengan menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan anak, rata-rata keluarga sukses sangat kuat dalam menanamkan nilai-nilai positif dasar seperti disiplin, tidak malas, berusaha keras, sadar waktu, dan beretika dalam pergaulan bermasyarakat. Soal kedisiplinan, sebut saja. Joyce mengakui ayahnya memberlakukan peraturan yang cukup keras. Sejak kecil diajari berdisiplin. Bila jam pulang sekolah, harus tiba di rumah tepat waktu. Dalam pergaulan pun demikian. Joyce tidak seperti remaja lain seusianya yang bebas bergerak ke mana saja. Kalau teman-teman lain bisa pergi nonton bareng, saya tak diizinkan. Papa tidak terlalu memberi kebebasan untuk pergi. Ini terutama saat masih SMP, ujar Joyce yang setelah SMA dan seterusnya tetap dikontrol orang tuanya. Nilai-nilai senada juga ditanamkan ayahanda Mirta Kartohadiprodjo, Sutan Takdir Alisjahbana. Mirta teringat, pernah setelah ujian selama seminggu di masa SMA dia sedikit santai-santai karena merasa agak kelelahan. Dia mencoba sedikit bermalas-malasan, tapi apa daya, ayahnya memergokinya lalu menyuruhnya bangun. Dia tanya, Kenapa sih enggak ngapalin vocab Inggris? Kalau bisa 4-5 kata saja sehari dalam seminggu, kamu sudah dapat 40 kata baru. Perbendaharaan katamu akan banyak! kata Mirta yang kadang sebal dengan sikap ayahnya yang sangat keras dalam mendidik. Didikan soal ketekunan dan kesadaran akan waktu juga dirasakan Hendarman Supandji (Jaksa Agung RI) bersaudara yang kini sudah jadi orang-orang mapan. Diceritakan Hendardji, Ayah saya sangat tak suka melihat pemalas. Kalau pukul 5 pagi belum bangun dan anak masih ngolat-ngolet, ayah saya pasti tidak suka. Pasti langsung disuruh bangun, mandi dan shalat! Hendardji teringat, pernah ada saudara sepupunya dari Tuban yang datang ke rumahnya. Melihat saudara tersebut tersebut hanya duduk, mengopi dan merokok ketika pagi, sang bapak langsung membentaknya sehingga ia tidak berani datang lagi. Ijih enom kok keset, mat-matan, seru ayahnya kala itu dalam bahasa Jawa yang artinya, masih muda kok malas, enak-enakan. Selain menanamkan nilai sportivitas, keluarga sukses umumnya juga membiasakan anak-anaknya meraih prestasi sedari kecil. Mereka didorong menjadi yang terbaik di tempat masing-masing, dan bukan menjadi orang rata-rata. Arwin Rasyid, Presdir CIMBNiaga yang juga mantan Presdir Bank Danamon dan PT Telkom, mengisahkan ayahnya yang sangat menekankan agar anak berprestasi. Ayahnya sering mengingatkan, Di mana pun berada, carilah prestasi karena prestasi itu yang membawa ke kemakmuran. Kalau menjadi bankir, jadilah bankir yang baik! Kalau sukses jadi bankir yang baik, pasti dapat rumah dan mobil bagus. Jangan berpikir sebaliknya, bekerja di bank untuk mengejar rumah bagus dan mobil bagus. Yang kita kejar prestasi dulu! demikian pesan ayah Arwin. Beberapa keluarga bahkan memacu semangat berprestasi dengan memberi sanksi. Mirta pernah dikurung ayahnya selama 7 jam gara-gara ada nilai rapor yang jelek. Sementara Ongki P. Soemarno pernah kena pecut gara-gara ada nilai merah di rapornya saat kelas 1 SD. Wuuuh… bapak saya galak banget, keras! kata Ongki. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan sesuatu dengan mudah kepada anak-anaknya. Anak-anak diminta untuk berjuang dulu, tak diberikan begitu saja. Awalnya, kami frustasi. Saya sampai tak pacaran waktu SMA hingga kuliah, ujar pria yang menikah di usia 23 tahun itu. Anak-anak juga didorong agar senang berkompetisi. Orang tua Omar S. Anwar, misalnya, menyekolahkan Anwar di luar negeri yang iklim kompetisinya baik. Lingkungan sekolahnya sangat mendukung berkompetisi. Mereka berkompetisi, berlomba-lomba untuk mendapat nilai yang bagus sehingga saya juga ikut arus itu, tutur Omar. Selain itu, sisi pengembangan emosi dan sosial anak juga mulai dibangun. Arwin mengaku, ayahnya selalu menekankan pentingnya ketenangan jiwa (hidup), bukan semata-mata kekayaan. Lalu, jangan menilai orang dari kekayaan, tapi dari strength of the character and the size of the heart. Juga, harus berpegang teguh pada prinsip yang bersifat universal. Prinsip itu antara lain konsekuen, menepati janji, jujur, berjiwa besar, tidak mengambil hak orang, tidak ngomongin orang di belakang dan tidak main sikut. Juga, jangan minder dan harus menghormati semua orang. Kami harus punya pendirian dan fair kepada siapa pun, ujar Arwin. Tak mengherankan, dalam memaknai sukses pun orang tua Arwin agak berbeda. Sukses adalah apabila kita dapat memperoleh rasa damai pada diri kita sendiri, mencapai target yang kita tentukan, dan bisa memberikan kontribusi kepada lingkungan kita, baik keluarga maupun konteks yang lebih luas seperti saudara yang kurang mampu, Arwin mengungkapkan. Dari sisi gaya hidup, meski sebagian datang dari keluarga mapan, mereka dididik hidup sederhana. Mereka dibiasakan tak berlebihan dan efisien. Ongki, Ari dan Rini pun demikian. Mereka dididik mandiri. Bapak saya selalu menekankan, jangan mudah minta tolong sama orang. Jangan membebani orang lain. Itu sudah mendarah daging di keluarga kami,k ata Ongki. Jadi, walau bersekolah di Belanda, mereka sudah bekerja sejak SMP. Liburan diisi dengan bekerja di toko buku atau pabrik permen. Semua anak punya pengalaman kerja waktu masih muda. Kami punya karakter sama: tidak mau buang waktu di masa muda, Ongki menjelaskan. Yang juga tak kalah penting, rata-rata keluarga sukses mencoba mengalihkan anak-anaknya dari pergaulan yang kurang kondusif dengan memberi kegiatan ekstra yang positif: berolah raga untuk membangun sportivitas, kursus, dan sebagainya. Sri Mulyani tak menampik, ketika menuju dewasa, dia dan saudaranya didorong aktif di sekolah daripada bergaul dengan lingkungan yang tak kondusif. Kami dibiasakan ikut olah raga dan kesenian selain belajar di sekolah. Tujuannya, agar energi tersalurkan melalui kegiatan positif, ujar Sri Mulyani yang biasa ikut kegiatan bola voli, basket, pramuka, hiking, Palang Merah Remaja dan paduan suara. Hal yang sama terjadi di keluarga Supandji. Diceritakan Hendarti Permono Supandji, di keluarganya tiap anak diharuskan memiliki hobi. Olah raga dan musik merupakan dua bidang yang diutamakan ayahnya. Pada hari tertentu kami dibangunkan pukul 5 pagi. Bapak sendiri yang mengendarai jip tentara membawa kami ke kolam renang di Secang yang jaraknya 30 km dari tempat tinggal kami di Magelang. Bapak melatih satu per satu anaknya berenang, katanya. Lalu, tiap Minggu pagi, ada sopir dari Akademi Militer, Magelang, yang mengantarkan anak-anak untuk belajar piano dan biola. Jika sopir sedang berhalangan, kami naik bus dari Magelang ke Jogja, kata Hendarti. Sebetulnya, ia sempat kesal mengapa tak bisa bebas bermain seperti anak-anak lain, tapi kini ia mengerti bahwa langkah ayahnya benar. “Manusia tak hanya dikembangkan dari kecerdasan otak saja, tapi juga kecerdasan lain seperti bermusik dan motorik. Kita tahu dari ilmu psikologi bahwa terdapat 12 kecerdasan yang semuanya harus dilatih, paparnya. Tentu saja, orang tua tidak boleh egois. Menuntut anak berprestasi, tapi mereka tak mau berkorban. Bila diamati, tampaknya keluarga dengan anak-anak yang sukses diawali dari orang tua yang berkomitmen dan siap berkorban demi mengantar anakanaknya menggapai masa depan. Contoh menarik di keluarga Markis Kido, juara ganda Olimpiade Beijing yang saudara-saudaranya juga atlet nasional bulu tangkis. Markis menceritakan, pengorbanan orang tuanya sangat besar, sehingga dia dan saudara-saudaranya punya semangat berkobar untuk mencapai prestasi. Setiap mau latihan, pagi-pagi semua anak sudah dibangunkan, digendong dan dimasukkan ke mobil satu demi satu. Semangat orang tuanya itu membuat Markis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Orang tua saya sampai harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mengikuti berbagai turnamen. Bahkan, orang tua kami langsung yang mengantar, baik ketika tanding di dalam maupun luar negeri, katanya. Kesediaan berkorban juga diwujudkan dengan memberikan dukungan dan fasilitas, baik materiil seperti peranti pendidikan dan belajar ataupun nonmateril seperti suasana dan budaya keluarga. Orang sukses rata-rata lahir dari orang tua yang meyakini paradigma bahwa pendidikan sangat penting. Keluarga Omar S.Anwar dan Soemarno juga seperti itu. Ongki P. Soemarno menjelaskan, orang tuanya sangat percaya pentingnya pendidikan. Bapak saya percaya sekali beliau bisa menjadi gubernur, sekjen, dan menteri karena pendidikan. Bapak tidak punya tujuan menjadikan kami sebagai pengusaha karena ambtenar tulen. Bukan materi, yang penting pendidikan, kata pria yang lulus magna cumlaude dari Harvard University itu (program MBA). Untuk itu pula, orang tuanya bersusah-payah membiayai anak-anaknya ke luar negeri. Yang tak ketinggalan, tampaknya para orang tua tersebut juga terus menstimulai putra-putrinya untuk berkembang sesuai dengan minat masing-masing alias tidak membiarkan anak tumbuh tanpa arah. Orang tua Arwin Rasjid gemar mengajarkan kepada anakanaknya untuk rajin membaca buku-buku biografi orang terkenal dan orang sukses. Arwin pun mengaku sangat senang dengan kebiasaan itu. Ia menandaskan, dengan membaca biografi orang-orang besar, juga berbagai artikel yang mendorong pengembangan kepribadian, kita menjadi banyak belajar. Bagaimana dengan keluarga Anda? BOKS: yang Harus Diberikan Orang Tua: Memberi kesempatan berkembang sesuai dengan minat dan bakat Menciptakan suasana agar anak bisa fun dan enjoy dalam pengembangan diri Menanamkan nilai-nilai positif dasar (kerja keras, disiplin, sadar waktu, dll.) Membekali anak dengan pendidikan formal memadai Menumbuhkan keterampilan sosial dan intelektual Mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi Membiasakan anak berjuang dulu dalam meminta sesuatu Melatih dengan memberi lebih banyak tanggung jawab Yang Tak Boleh Dilakukan: Mengarahkan anak tanpa melihat konteks lingkungan dan zamannya Memaksanakan minat anak sesuai dengan kehendak orang tua Menuruti semua permintaan anak Menganggap anak tak berpotensi sehingga lebih banyak mendidik dengan memerintah Banyak menuntut kepada anak sementara orang tua tak mengimbangi dengan pengorbanan Read More...... Posted by Baskoro at 11:07 PM 8 comments Links to this post Labels: Career, Family life, Nationalism, Personal life

Wednesday, May 26, 2010

6 Batu Ujian Cinta Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami cukup dalam untuk menghantar kami ke arah berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna?

Bagaimana kami dapat yakin bahwa cinta kami ini cukup matang untuk diikat sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut memisahkan?

Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama.

Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan. Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini bersama sahabatku?

Jika kalian merencanakan sesuatu, adakah kalian hanya berpikir tentang apa yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?

Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan, "Mereka yang ingin bahagia sendiri, janganlah kawin. Karena yang penting dalam perkawinan ialah membuat pihak yang lain bahagia. mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin. Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya."

Maka batu ujian yang pertama ialah: "Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu? Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"

Kedua, Ujian kekuatan.

Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang risau hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.

Meskipun dia sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalaman cinta itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani.

Tapi dalam jangka panjang cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.

Batu ujian kedua : "Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan memenuhi kita dengan tenaga kreaktif, ataukah cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan tenaga kita?"

Ketiga, Ujian penghargaan.

Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang gadis mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari anakanakku?", jawabnya sering sekali menjadi negatif.

Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku?", gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.

Pertanyaannya ialah: "Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang tinggi satu kepada yang lainnya? Apa aku bangga atas pasanganku?"

Keempat, Ujian kebiasaan.

Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada saya. Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku tak tahan caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan.

"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan kekurangannya.

Pertanyaannya: "Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling menyukai?"

Kelima, Ujian pertengkaran.

Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar - tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar bagaikan berperang.

Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah dahulu - barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi.

Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum kawin.

Pertanyaannya: "Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"

Keenam, Ujian waktu.

Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dikawinkan. "Sudah berapa lama kalian saling mencintai?" Tanya saya. "Sudah tiga, hampir empat minggu," jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun bolehlah. Dua tahun lebih baik lagi.

Ada baiknya untuk saling bertemu, bukan saja pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian rapih, tapi juga pada saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur, masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan, dalam suasana yang tegang atau berbahaya. Ada suatu peribahasa kuno, "Jangan kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin bersama dengan pasanganmu."

Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu, sang waktu akan memberi kepastian. Tanyakan: "Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin? Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"

Dan izinkan saya memberikan suatu kesimpulan yang gamblang. Seks bukan batu ujian bagi cinta. "Jika sepasang muda mudi ingin punya hubungan seksual untuk mengetahui apakah mereka saling mencintai, perlu ditanyakan pada mereka, "Demikian kecilnya cinta kalian?"

Jika kedua-duanya berpikir, "Nanti malam kita mesti melakukan seks - kalau tidak pasanganku akan mengira bahwa aku tidak mencintai dia atau bahwa dia tidak mencintai aku," maka rasa takut akan kemungkinan gagal sudah cukup menghalau keberhasilan percobaan itu.

Seks bukan suatu batu ujian bagi cinta, sebab seks akan musnah saat diuji. Cobalah adakan observasi atas diri saudara sendiri pada waktu saudara pergi tidur. Saudara mengobservasi diri sendiri, kemudian tidak bisa tidur. Atau saudara tidur, kemudian tidak lagi bisa mengobservasi diri sendiri.

Sama benar halnya dengan seks sebagai suatu batu ujian untuk cinta. Saudara menguji, sesudah itu tidak lagi mau mencintai. Atau saudara mencintai, kemudian tidak menguji. Untuk kepentingan cinta itu sendiri, cinta perlu mengekang menyatakan dirinya secara jasmaniah sampai bisa dimasukkan ke dalam dinamika segitiga perkawinan.

-- SUMBER : "JODOHKU", oleh Walter Trobisch Beberapa dari Batu Ujian ini dikutip Trobisch dari buku "LOVE AND THE FACTS OF LIFE" oleh Evelyn Duvall. Read More...... Posted by Baskoro at 8:21 PM 3 comments Links to this post Labels: Family life

Home Subscribe to: Posts (Atom)

Older Posts

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.