D' Doctor's Jouney: Desember 2008 [PDF]

Dec 26, 2008 - Efek metaboliknya antara lain adalah termoregulasi, metabolisme protein, metabolisme karbohidrat, metabol

4 downloads 14 Views 406KB Size

Recommend Stories


Layout Desember 2008
Pretending to not be afraid is as good as actually not being afraid. David Letterman

Layout Desember 2008
And you? When will you begin that long journey into yourself? Rumi

Pretoria, 12 December 2008 Desember
Make yourself a priority once in a while. It's not selfish. It's necessary. Anonymous

Analisis Inflasi Desember 2017.pdf
This being human is a guest house. Every morning is a new arrival. A joy, a depression, a meanness,

233 DOCTORs PsYChIATRIsTs DOCTORs RADIOLOGIsTs DOCTORs sKIN
The best time to plant a tree was 20 years ago. The second best time is now. Chinese Proverb

2008-06A:2005_06-D kopya.qxd
What we think, what we become. Buddha

2008-12A:2005_06-D kopya.qxd
The butterfly counts not months but moments, and has time enough. Rabindranath Tagore

2008-73A:2005_06-D kopya.qxd
Life is not meant to be easy, my child; but take courage: it can be delightful. George Bernard Shaw

2008-141A:2005_06-D kopya.qxd
Keep your face always toward the sunshine - and shadows will fall behind you. Walt Whitman

2008-22D:2005_06-D kopya.qxd
Don't be satisfied with stories, how things have gone with others. Unfold your own myth. Rumi

Idea Transcript


More Next Blog»

Create Blog Sign In

D' DOCTOR'S JOUNEY

JUMAT, 26 DESEMBER 2008

TIROIDITIS HASHIMOTO ( Struma Limfomatis) Tiroditis hasimoto mungkin merupakan penyebab hipotiroidisme tersering, juga disebut tiroditis otoimun, terjadi akibat adanya otoantibodi yang merusak jaringan kelenjar tirod. Hal ini menyebabkan penurunan HT disertai peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang minimal. Penyebab tiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan genetik untuk mengidap penyakit ini.

ABOUT ME

L IZ A MA R T H O EN IS

this is my blog. this is my journey. this is my opinion. LIH AT PR O F IL LEN G KAPKU

KOMENTAR

I. Diagnosa A. Keluhan pokok Kadang-kadang disertai hipertiroid,lalu diikuti hipotiroid. B. Tanda penting Pembesaran kelenjar tiroid C. Pemeriksaan Laboratorium • T3 dan T4 meningkat pada fase akut dan menurun setelah menjadi kronis. • Tiroid autoantibodi(antibodi tiroglobulin dan antibodi mikrosomal) biasa positif. D. Pemeriksaan khusus 1 Hipotiroidisme 1. Penyakit addison 2. Diabtes melitus 3. Serosis biliaris 4. Vitiligo II. PENATALAKSANAAN A. Terapi umum 1. Istirahat 2. Diet 3. Medikamentosa • Obat pertama - Levotiroksin 0,1 - 0,15 mg/hr bila terjadi hipotiroid atau struma terlalu besar. - Obat alternatif -III. Prognosa Umumnya baik bisa remisi spontan D IPO ST IN G O LEH LIZ A MAR T H O EN IS D I 00.13 3 KO MEN T AR :

ShoutMix chat widget

BLOG ARCHIVE t 2008 (5) t Desember (5) TIROIDITIS HASHIMOTO ( Struma Limfomatis) Hipotiroidisme PENYAKIT GRAVES

Hipotiroidisme

Diabetes Melitus Tipe 2 (part two)

Pendahuluan

Diabetes Melitus Tipe 2

RSS FEED

A. Anatomi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakea, esofagus, pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Arteri karotis komunis, arteri jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama di dalam sarung tertutup do laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis. B. Fisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin. Bentuk aktif hormon ini adalah triiodotironin yang sebagian besar berasal dari konversi hormon tiroksin di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormon) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi, yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin dari hipothalamus. Hormon tiroid mempunyai pangaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yang berhubungan dengan metabolisme sel. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin dari sel parafolikuler. Kalsitonin adalah polipeptida yang menurunkan kadar kalsium serum, mungkin melalui pengaruhnya terhadap tulang. Hormon tiroid memang suatu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain adalah termoregulasi, metabolisme protein, metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak, dan vitamin A. Status tiroid seseorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal hormon tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faal dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormon yang aktif adalah free-hormon. Kedua bahwa metabolisme sel didasarkan adanya free T3 bukan free T4. ketiga bahwa distribusi enzim deyodinasi I, II, dan III (DI, DII, DIII) di berbagai organ tubuh berbeda, dimana DI banyak ditemukan di hepar, ginjal, dan tiroid. DII utamanya di otak, hipofisis dan DIII hampir seluruhnya di jaringan fetal (otak, plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU. II. PEMBAHASAN TENTANG HIPOTIROIDISME A. Definisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland, hipotiroidisme adalah defisiensi aktivitas tiroid. Pada orang dewasa, paling sering mengenai wanita dan ditandai oleh peningkatan laju metabolik basal, kelelahan dan letargi, kepekaan terhadap dingin, dan gangguan menstruasi. Bila tidak diobati, akan berkembang menjadi miksedema nyata. Pada bayi, hipotiroidisme hebat menimbulkan kretinisme. Pada remaja, manifestasinya merupakan peralihan dengan retardasi perkembangan dan mental yang relatif kurang hebat dan hanya gejala ringan bentuk dewasa. Berdasarkan Buku Patologi, disebutkan defisiensi ataupun resistensi perifer terhadap hormon tiroid menimbulkan keadaan hipermetabolik terhadap hipotiroidisme. Apabila kekurangan hormon timbul pada anak-anak dapat menimbulkan kretinisme. Pada anak yang sudah agak besar atau pada umur dewasa dapat menimbulkan miksedema, disebut demikian karena adanya edematus, penebalan merata dari kulit yang timbul akibat penimbunan mukopolisakarida hidrofilik pada jaringan ikat di seluruh tubuh. Pada Buku Ilmu Kesehatan Anak, kretinisme atau hipotiroidisme kongenital dipakai kalau kelainan kelenjar tiroidea sudah ada pada waktu lahir atau sebelumnya. Kalau kelainan tersebut timbul pada anak yang sebelumnya normal, maka lebih baik dipakai istilah hipotiroidisme juvenilis atau didapat. Sedangkan pada Buku Ilmu Penyakit Dalam disebutkan definisi lama bahwa hipotiroidisme disebabkan oleh faal tiroid berkurang sudah tidak tepat lagi. Kini dianut keadaan dimana efek hormon tiroid di jaringan kurang, misalnya pada defisiensi yodium tiroid justru bekerja secara keras. B. Epidemiologi Sebelum Perang Dunia II banyak penyelidik di Indonesia menemukan kretin. Abu Hanifah menemukan di daerah Kuantan 0,15% kretin di antara 50.000 penduduk. Pfister (1928) menemukan pada suku Alas 17 kretin, 57 kretinoid dan 11 kasus yang meragukan dari 12.000 penduduk; jumlah semuanya meliputi 0,73%. Eerland (1932) menemukan 126 kretin di Kediri dan banyak kretinoid, sedangkan Noosten (1935) menemukan juga kretin di Bali. C. Klasifikasi dan Penyebab Secara klinis dikenal 3 hipotiroidisme, yaitu : 1. Hipotiroidisme sentral, karena kerusakan hipofisis atau hipothalamus 2. Hipotiroidisme primer apabila yang rusak kelenjar tiroid 3. Karena sebab lain, seperti farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium, dan resistensi perifer. Yang paling banyak ditemukan adalah hipotiroidisme primer. Oleh karena itu, umumnya diagnosis ditegakkan berdasar atas TSH meningkat dan fT4 turun. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak tergantung pada sebabnya. Namun, pada Buku Ilmu Kesehatan Anak, hipotiroidisme terbagi atas 2 berdasarkan penyebabnya, yaitu : 1. Bawaan (kretinisme) a. Agenesis atau disgenesis kelenjar tiroidea. b. Kelainan hormogonesis ~ Kelainan bawaan enzim (inborn error) ~ Defisiensi yodium (kretinisme endemik) ~ Pemakaian obat-obat anti tiroid oleh ibu hamil (maternal) 2. Didapat Biasanya disebut hipotiroidisme juvenilis. Pada keadaan ini terjadi atrofi kelenjar yang sebelumnya normal. Panyebabnya adalah a. Idiopatik (autoimunisasi) b. Tiroidektomi c. Tiroiditis (Hashimoto, dan lain-lain) d. Pemakaian obat anti-tiroid e. Kelainan hipofisis. f. Defisiensi spesifik TSH D. Patofisiologi Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat menyebabkan hipotiroidisme, yaitu : a. Hipotiroidisme sentral (HS) Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih (ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH. b. Hipotiroidisme Primer (HP) Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena, 1. Operasi, 2. Radiasi, 3. Tiroiditis autoimun, 4. Karsinoma, 5. Tiroiditis subakut, 6. Dishormogenesis, dan 7. Atrofi Pascaoperasi. Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya. Pascaradiasi. Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)

Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan. (8)

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :

B. Pemeriksaan laboratorium Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2) Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4). (1,2,3)

C. Pemeriksaan penunjang lain Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin. (1)

D. Diagnosis Banding Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer. Pada sindrom yang dikenal dengan “ familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia “ dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves.

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita lakilaki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejalagejala kelainan jantung, dapat berupa : - Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin - High-output heart failure Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya.

Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism”. (2)

E. Komplikasi Krisis tiroid (Thyroid storm) Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain : - Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain - Terapi yodium radioaktif - Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat. - Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard. Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi : - Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis. - Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung. - Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma. - Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.

Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi. (2)

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian perinatal. (8)

PENGELOLAAN PENYAKIT GRAVES

Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.

Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (1,2)

3.1 Obat – obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).

Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. (2)

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. (1)

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. (1,2)

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. (1)

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal. 2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah. 3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikitmenurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.

Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.

Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.

3.2 Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :

Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 µg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.

3.3 Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.

3.4 Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.

Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.

Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau OAT.

Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme. Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 µCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah : - memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131 - hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi) - gastritis radiasi (jarang terjadi) - eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung. Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme. (2)

3.5 Pengobatan oftalmopati Graves Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.

Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.

3.6 Pengobatan krisis tiroid Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

3.7 Penyakit Graves Dengan Kehamilan Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman. (1) D IPO ST IN G O LEH LIZ A MAR T H O EN IS D I 23.30 T ID AK AD A KO MEN T AR :

SELASA, 16 DESEMBER 2008

Diabetes Melitus Tipe 2 (part two) TYPE 2 DIABETES MELLITUS

Type 2 diabetes mellitus is variable degrees of peripheral insulin resistance and impaired insulin secretion leading to hyperglycemia. It is common among the elderly because of age-related increases in body fat. Hyperglycemia may be mild and is usually asymptomatic; it may be present for years before it is detected. In the elderly, when hyperglycemia has been severe enough and present long enough to cause symptoms, symptoms may be nonspecific. Later complications include MI, stroke, peripheral arterial disease, retinopathy, nephropathy, peripheral neuropathy, and predisposition to infection. Diagnosis is by measuring plasma glucose. Treatment is diet, exercise, and drugs that reduce glucose levels, including oral antihyperglycemics and insulin. Prognosis varies with degree of glucose control and control of coexisting risk factors for coronary artery disease (eg, hypertension, dyslipidemia).

Geriatric Essentials Type 2 diabetes mellitus (DM) is far more common than type 1 DM among the elderly; prevalence increases with aging. Most patients with type 2 DM have both inadequate insulin secretion and increased peripheral resistance to insulin caused by age-related weight gain and increased body fat. However, there are many elderly patients with type 2 DM who are not obese; in these patients, insulin secretion is severely impaired and peripheral insulin resistance is mild or nonexistent. In patients > 65, risk factors include obesity; sedentary lifestyle; family history of DM; history of impaired glucose regulation; gestational DM or delivery of a baby > 4.1 kg; history of hypertension or dyslipidemia; polycystic ovary syndrome; and black, Hispanic, or American Indian ethnicity. Drugs are more likely to cause or exacerbate hyperglycemia in the elderly; corticosteroids, -blockers, some fluoroquinolone antibiotics (which may also cause hypoglycemia), 2nd-generation antipsychotics, high doses of thiazide diuretics, and therapeutic doses of niacin are most notable. Hyperglycemia typically resolves when the drug is stopped. In the elderly, hyperglycemia may manifest subtly as depression, cognitive impairment (including dementia), falls, urinary incontinence, lethargy or fatigue, chronic pain, or unexplained weight loss. Nonketotic hyperosmolar syndrome is also common. The prevalence of diabetic complications is highest in the elderly because of their long-term exposure to elevated glucose levels and the high prevalence of hypertension and dyslipidemia. Cardiovascular disorders (eg, coronary artery disease, stroke, peripheral arterial disease) are probably the most common and serious diabetic complications and mandate aggressive management of risk factors (hypertension, dyslipidemia, smoking) and preventive interventions (aspirin, ACE inhibitors, angiotensin II receptor blockers). Diabetic retinopathy and neuropathy increase the risk of falls, reduced mobility, social isolation, and depression. Most elderly patients can be treated as aggressively as younger patients, but some require modifications based on their life expectancy, functional status, cognitive abilities, and preferences. Often, education about treatment and monitoring must be directed toward the patient's spouse or caregivers. Risk of complications is high for patients taking drugs for multiple disorders. Hypoglycemia is a risk of treatment; autonomic neuropathy, dementia, and the use of -blockers and sedative-hypnotics make elderly patients less likely to be aware of hypoglycemia. These patients are at highest risk of CNS dysfunction with rapid deterioration into a hypoglycemic coma. See also the American Geriatrics Society's Guidelines for Improving the Care of the Older Person With Diabetes Mellitus. Type 2 diabetes mellitus (DM) is far more common than type 1 DM among the elderly. Relatively few elderly people develop type 1 DM, an autoimmune disorder of children and young adults in which insulin-secreting -cells are destroyed. However, an increasing number of people with type 1 DM are surviving into later life. Prevalence of type 2 DM increases with aging, from about 3 to 5% of people in their 30s and 40s to about 10 to 20% of people in their 60s and 70s. About 10% of adults age 60 to 74 have type 2 DM and do not know it.

Etiology In type 2 DM, hyperglycemia results from insulin resistance in peripheral tissues (muscles and liver) and impaired insulin secretion. In the elderly, insulin resistance often results from age-related weight gain and increased adipose tissue. Visceral and abdominal obesity, measured by a waist-tohip ratio > 1, poses higher risk. Weight gain, increased adipose tissue, and obesity usually result from consumption of excess calories, lack of exercise, and genetic determinants. Increased adipose tissue leads to an increase in plasma levels of free fatty acids, which may impair insulin-stimulated glucose transport and muscle glycogen synthase activity. Adipose tissue also appears to function as an endocrine organ, releasing multiple factors (adipocytokines) that favorably (adiponectin) and adversely (tumor necrosis factor, IL-6, leptin, resistin) influence glucose metabolism. Hyperglycemia itself may augment insulin resistance by decreasing insulin sensitivity and increasing hepatic glucose production. In the early stages of insulin resistance, insulin levels may increase; this hyperinsulinemia may be a part of the metabolic syndrome, characterized by visceral and abdominal obesity, hypertension, dyslipidemia, and atherosclerosis. The combination of DM, hypertension, dyslipidemia, and cigarette smoking is synergistic, rapidly accelerating many diabetic complications. Impaired insulin secretion results from -cell dysfunction; evidence of dysfunction includes impaired first-phase insulin secretion in response to IV glucose infusion, loss of normally pulsatile insulin secretion, an increase in proinsulin secretion (signaling impaired insulin processing), and accumulation of islet amyloid polypeptide (a protein normally secreted with insulin). In most patients, -(insulin-secreting) and -(glucagon-secreting) cell masses and ratios appear to be preserved. Hyperglycemia itself may impair insulin secretion because high glucose levels desensitize cells, cause -cell dysfunction (glucose toxicity), or both. This impairment typically takes years to develop in patients with insulin resistance. Type 2 DM in most elderly patients develops when insulin secretion can no longer compensate for insulin resistance and when reduced insulin levels reduce tissue glucose uptake and do not inhibit hepatic glucose production. However, there are many elderly people with type 2 DM who are not obese; in these patients, insulin secretion is severely impaired and peripheral insulin resistance is mild or nonexistent. Secondary causes of type 2 DM in the elderly include chronic pancreatitis, other endocrine disorders (eg, Cushing's disease, acromegaly, pheochromocytoma, glucagonoma, somatostatinoma), and drugs. Chronic pancreatitis can lead to loss of insulin- and glucagon-secreting islet cells. Patients tend to be mildly hyperglycemic, are not prone to diabetic ketoacidosis (DKA), and are usually sensitive to low doses of insulin. Because counterregulatory glucagons are absent, patients given exogenous insulin are at greater risk of hypoglycemia. Drugs commonly used by the elderly can cause or exacerbate hyperglycemia; these drugs include corticosteroids, -blockers, some fluoroquinolone antibiotics (which may also cause hypoglycemia), 2nd-generation antipsychotics (eg, clozapine, olanzapine), high doses of thiazide diuretics, and therapeutic doses of niacin. Hyperglycemia usually resolves when the drug is stopped. Type 1 DM may occur with other autoimmune disorders (eg, Graves' disease, Hashimoto's thyroiditis, idiopathic Addison's disease).

Symptoms and Signs Type 2 DM may be asymptomatic or cause symptoms and signs of hyperglycemia (polydipsia, polyphagia, polyuria), nonketotic hyperosmolar syndrome (NKHS), or diabetic complications. In the elderly, hyperglycemia and NKHS may manifest subtly as depression, cognitive impairment (including dementia), falls, urinary incontinence, lethargy or fatigue, chronic pain, or unexplained weight loss.

Complications Years of poorly controlled hyperglycemia lead to multiple, primarily vascular complications that affect both large and small vessels. Prevalence of these complications is highest in the elderly because of their long exposure to elevated glucose levels. Vascular disorders result from glycosylation of circulating and tissue proteins with formation of advanced glycation end products; production of superoxides; activation of protein kinase C, a signaling molecule that increases vascular permeability and causes endothelial dysfunction; and acceleration of hexosamine biosynthetic and polyol pathways. Ultimately, sorbitol accumulates within tissues, hypertension and dyslipidemias ensue, arterial microthromboses occur, and vascular autoregulation becomes impaired by the proinflammatory and prothrombotic effects of hyperglycemia and hyperinsulinemia. Immune dysfunction, another major complication, develops because hyperglycemia directly affects cellular immunity. Macrovascular disease: Large-vessel atherosclerosis results from hyperinsulinemia, dyslipidemia, and hyperglycemia. Hyperglycemia may not be as important as dyslipidemia in the development of macrovascular disease, and intensive control of plasma glucose alone may not prevent macrovascular disease. Patients tend to have atherogenic dyslipidemia, which is a combination of high levels of triglyceride and small, dense, low density lipoprotein (LDL) particles and low levels of high density lipoprotein cholesterol (HDL-C). The combination may result from obesity, poor control of plasma glucose, or both. Atherogenic dyslipidemia is often exacerbated by the increased caloric intake and physical inactivity that characterize the lifestyles of elderly patients with type 2 DM. In elderly women with DM, this form of dyslipidemia may particularly increase risk of cardiovascular disease. Manifestations are angina pectoris and MI, transient ischemic attacks, strokes, and peripheral arterial disease. Diabetic cardiomyopathy, a less well-recognized manifestation, may result from epicardial atherosclerosis, hypertension-induced left ventricular hypertrophy, microvascular complications, endothelial and autonomic dysfunction, obesity, and metabolic disturbances. Heart failure results from impairment in left ventricular systolic or diastolic function. Patients with DM are also more likely to develop heart failure after MI. Microvascular disease: Microvascular disease underlies 3 common and devastating diabetic complications: retinopathy, nephropathy, and neuropathy. It also dramatically impairs skin healing, so that even minor skin breaks can develop into deeper ulcers and easily become infected. In combination with large vessel disease, amputation of a lower limb becomes common. These complications take years of hyperglycemia to develop. Diabetic retinopathy is characterized initially by retinal capillary microaneurysms (see Photo 64-1) and later by macular edema and neovascularization (see Photo 64-2) with or without retinal detachment or hemorrhage. The latter changes can cause abrupt or gradual vision loss, increasing the risk of falls, social isolation, and depression. Diabetic nephropathy causes the glomerular basement membrane to thicken and mesangial expansion and glomerular sclerosis to occur. These changes cause glomerular hypertension and progressive decline in GFR, although GFR may be increased in the early stages of hyperglycemia. Systemic hypertension is a typical feature and accelerates progression to renal failure. Diabetic nephropathy is usually asymptomatic until nephrotic syndrome or renal failure develops. Diabetic neuropathy results from nerve ischemia due to microvascular disease, direct effects of hyperglycemia on neurons, and intracellular metabolic changes that impair nerve function. Symmetric polyneuropathy (with small- and largefiber variants) and autonomic neuropathy occur. Symmetric polyneuropathy is most common and affects the distal feet and hands (stocking-glove distribution). It manifests as paresthesias; dysesthesias; or painless loss of touch, vibration, proprioception, or temperature sensation. In the lower extremities, these symptoms can lead to blunted perception of foot trauma due to ill-fitting shoes or abnormal weight bearing, which can in turn lead to foot ulceration (see Photo 64-3) and infection or to fractures, subluxation, and dislocation or destruction of normal foot architecture (Charcot's joint). Small-fiber neuropathy is characterized by pain, numbness, and loss of temperature sensation; vibration and position sense are preserved. Patients are prone to foot ulceration and neuropathic joint degeneration and have a high incidence of autonomic neuropathy. Large-fiber neuropathy is characterized by muscle weakness, loss of vibration and position sense, and lack of deep tendon reflexes. Atrophy of intrinsic muscles of the feet and footdrop are common. Autonomic neuropathy can lead to orthostatic hypotension, exercise intolerance, resting tachycardia, abnormal sweating, dysphagia (due to esophageal dysmotility), nausea and vomiting (due to gastroparesis), constipation and diarrhea (including dumping syndrome), fecal incontinence, urinary retention and incontinence, erectile dysfunction and retrograde ejaculation, and decreased vaginal lubrication. A blunted decrease in heart rate in response to the Valsalva maneuver or standing and a blunted decrease in heart rate slowing with deep breathing indicate autonomic neuropathy. Other signs include lack of variation in the R-R interval on ECG and abnormal sympathetic response to postural changes during tilt table testing. Lack of variation in the R-R interval is specific for cardiac autonomic neuropathy and indicates increased mortality risk. Radiculopathies, cranial neuropathies, and mononeuropathies occur more often in elderly than in younger patients with DM and are attributed to nerve infarction. Radiculopathies most often affect the proximal L2 through L4 nerve roots, causing pain, weakness, and atrophy of the lower extremities (diabetic amyotrophy), or the proximal T4 through T12 nerve roots, causing abdominal pain (thoracic polyradiculopathy). Cranial neuropathies cause diplopia, ptosis, and anisocoria when they affect the 3rd cranial nerve and motor palsies when they affect the 4th or 6th cranial nerve. Mononeuropathies cause finger weakness and numbness (median nerve involvement) or footdrop (peroneal nerve involvement). Elderly patients with DM are also prone to nerve compression disorders, such as carpal tunnel syndrome. Mononeuropathies can occur in several places simultaneously (mononeuritis multiplex). All of these neuropathies tend to abate spontaneously over months. Other complications: Risk of fungal or bacterial infection is increased because microvascular disease is present and because hyperglycemia decreases cellular immunity. Mucocutaneous fungal infections (eg, oral and vaginal candidiasis, tinea pedis) and bacterial foot infections are most common. A fungal infection may cause moist lesions, cracks and fissures (eg, in interdigital spaces--see Photo 64-4), and ulcerations that predispose to secondary bacterial invasion. Infection is exacerbated by lower extremity vascular insufficiency and neuropathy. Diabetic foot complications (skin changes, ulceration, infection, gangrene) may result from vascular disease, neuropathy, and relative immunosuppression. Other complications include depression, cognitive impairment (including dementia; DM is a risk factor for vascular dementia and Alzheimer's disease), and connective tissue disorders (eg, muscle infarction, Dupuytren's contracture, adhesive capsulitis, sclerodactyly). Diabetes increases risk of developing ophthalmologic disorders unrelated to diabetic retinopathy (eg, cataracts, glaucoma, corneal abrasions, optic neuropathy), hepatobiliary disorders (eg, nonalcoholic fatty liver disease [steatosis and steatohepatitis], cirrhosis, hepatocellular carcinoma, hepatitis C infection, and gallstones), and dermatologic disorders (eg, tinea infections, lower-extremity ulcers, diabetic dermatosis, necrobiosis lipoidica diabeticorum, diabetic scleredema, vitiligo, granuloma annulare, acanthosis nigricans [a sign of insulin resistance]). DM may exacerbate urinary incontinence, chronic pain, and the complications of falls and may complicate treatment of other disorders.

Diagnosis Risk factors for type 2 DM in patients > 65 include obesity; sedentary lifestyle; family history of DM; history of impaired glucose regulation; gestational DM or delivery of a baby > 4.1 kg; history of hypertension or dyslipidemia; polycystic ovary syndrome; and black, Hispanic, or American Indian ethnicity. Increasing age is one of the strongest risk factors, and people >= 60 should be screened regardless of whether additional risk factors are present, although treatment begun when asymptomatic DM is diagnosed through screening has not been proved to improve outcomes. See the US Preventive Services Task Force's Summary of Recommendations for Screening for Diabetes Mellitus, Adults Type 2. Diagnosis is suggested by typical symptoms and signs and confirmed by measurements of plasma glucose. Measurement after an 8- to 12-h fast (fasting plasma glucose [FPG]) is best (see Table 64-1). Alternatively, plasma glucose can be measured 2 h after ingestion of 75 g of anhydrous glucose dissolved in water (oral glucose tolerance testing [OGTT]). OGTT is more sensitive for diagnosing DM and is necessary to detect impaired glucose tolerance (glucose level of 140 to 199 mg/dL), but OGTT is more expensive and less convenient and reproducible than FPG and is therefore rarely used. FPG should be measured at least once every 3 yr if levels are normal and at least annually if levels are elevated, indicating impaired glucose regulation. In practice, DM is often diagnosed using random measures of plasma glucose or glycosylated hemoglobin (HbA1C). A random glucose level > 200 mg/dL (> 11.1 mmol/L) may be diagnostic, but elevated levels should be confirmed by repeat testing; testing twice may not be necessary if typical diabetic symptoms are present. HbA1C measurements reflect glucose levels over the preceding 2 to 3 mo. Values > 6.5% usually indicate abnormally high plasma glucose levels. However, assays and reference ranges are not standardized, and values may be falsely high or low. For these reasons, HbA1C is not considered as reliable as FPG or OGTT testing for diagnosing DM and should be used mainly for monitoring glucose control. Testing for secondary causes of DM may be indicated when history or examination suggests a pancreatic disorder, endocrinopathy, or drug-induced DM. Patients with type 2 DM should be screened for diabetic complications at the time of diagnosis and at regular intervals. Screening intervals may be modified based on how age-related changes (see Table 64-2), functional status, and life expectancy affect treatment objectives. At each visit, the entire foot, especially skin beneath the metatarsal heads, should be examined for skin cracking and signs of ischemia (eg, ulcerations, gangrene, fungal nail infections, deceased pulses, hair loss). Feet should be examined at least annually for impaired sensation (touch, vibration, pain, and temperature), which is characteristic of peripheral neuropathy. Touch is best tested with a monofilament esthesiometer (see Figure 64-1). Symmetric polyneuropathy is diagnosed by detection of sensory deficits and diminished ankle reflexes. Electromyography and nerve conduction studies may be needed to diagnose some forms (eg, small-fiber neuropathy) and are sometimes used to exclude other causes of neuropathic symptoms, such as radiculopathy and carpal tunnel syndrome. Many experts recommend baseline ECG because coronary artery disease is a risk. The lipid profile should be checked at least annually, more often if abnormalities are present. At routine visits, patients should be asked questions to screen for depression, cognitive impairment, falls, and urinary incontinence. Diabetic retinopathy is diagnosed by funduscopic examination, which should be repeated by an ophthalmologist. The screening interval is controversial but ranges from annually for patients with established retinopathy to every 3 yr for those who have had at least one examination in which no retinopathy was detected. Renal function should be assessed annually. Diagnosis of diabetic nephropathy is by detection of urinary albumin; albuminuria may develop after about 5 yr of DM. A urine dipstick that is positive for protein signifies albumin excretion > 300 mg/24 h and advanced diabetic nephropathy (or an improperly collected or stored specimen). If the dipstick is negative for protein, the albumin:creatinine ratio in a spot urine specimen or albumin in a 24-h urine collection should be measured. A ratio > 30 mg/g or an albumin concentration 30 to 300 mg/24 h signifies microalbuminuria and early diabetic nephropathy.

Treatment See also the American Diabetes Association's position statements on diabetes care. Treatment consists of control of glucose and coexisting risk factors for cardiovascular disease; objectives are to reduce symptoms and slow progression of complications while minimizing hypoglycemic episodes. Most elderly patients can be treated as aggressively as younger patients, but some require modifications based on their life expectancy, functional status, cognitive abilities, preferences, and multiple other factors (see Table 64-2). Goals for treatment (which may be modified based on these factors) are maintenance of plasma glucose 80 to 120 mg/dL (4.4 to 6.7 mmol/L) during the day and 100 to 140 mg/dL (5.6 to 7.8 mmol/L) at bedtime (as determined by home monitoring) and maintenance of HbA1C levels at < 7%. Key elements are patient education, weight management via diet and exercise counseling, use of antihyperglycemic drugs, and glucose monitoring. Education about causes of DM, diet, physical activity, drugs, self-monitoring with finger-stick testing, the symptoms and signs of hypoglycemia and hyperglycemia, and diabetic complications is crucial for optimizing care. When the patient is unlikely or unable to process the information, the information should also be given to a caretaker. Education should be reinforced at every health care visit and hospitalization. Formal diabetes education programs for both patient and caregiver are usually conducted by diabetes nurses and nutrition specialists; these programs are often very effective and provide beneficial social contact for otherwise isolated elderly patients. Weight management is important; weight loss is usually the goal. Insulin sensitivity increases when overweight or obese patients are in negative caloric balance, which occurs within weeks of starting a weight-loss diet (long before much of the extra weight is lost). As hyperglycemia lessens, glucose toxicity may decline, leading to better glucose control. In frail elderly people, including many nursing home residents, the objective is to maintain weight; such patients should not be placed on weight-loss diets. Rarely, for elderly patients who are lean, weight gain is the goal; some of these patients may be in a catabolic state, and institution of antihyperglycemic therapy (usually insulin) often leads to weight gain, which may be viewed as a positive response to treatment. Diet adjusted to individual circumstances can help patients control fluctuations in their glucose levels and lose weight. Patients usually need to be taught to follow a diet that is low in saturated fat and cholesterol and that contains moderate amounts of carbohydrate, preferably from whole-grain sources with high-fiber content. Although dietary protein and fat contribute to caloric intake (and thus, to weight gain or loss), only carbohydrates have a direct effect on plasma glucose levels. Some experts also recommend dietary protein restriction to 5 days) critical care. Severely ill patients, especially those receiving glucocorticoids or pressors, may need very high doses of insulin (> 5 to 10 units/h) because of insulin resistance. Insulin infusion should also be considered for patients receiving TPN and for patients with type 1 DM who cannot ingest anything orally. Surgery: The physiologic stress of surgery can increase plasma glucose. Most patients with type 2 DM who are treated with oral antihyperglycemic drugs maintain acceptable glucose levels when fasting and may not require special treatment during the perioperative period. Most oral drugs, including sulfonylureas and metformin, should be withheld on the day of surgery, and plasma glucose levels should be measured preoperatively, postoperatively, and every 6 h while patients receive IV fluids. Oral drugs may be resumed when patients are able to eat, but metformin should be withheld until normal renal function is confirmed 48 h after surgery. When necessary, regular insulin can be given sc every 4 to 6 h as needed to maintain the plasma glucose level at 100 to 150 mg/dL (5.55 to 11.01 mmol/L). Patient and caregiver issues: Many elderly patients are enthusiastic, motivated learners and are actively involved in all aspects of their treatment. When provided with appropriate education, they can adhere to a treatment plan and self-monitor their glucose levels as accurately as younger patients. Other patients may have significant limitations, such as dementia, depression, or physical disabilities, which impair their ability to participate in their own care. Family members or other caregivers of such patients must be included in the assessment and education process. Treatment regimens may need to be modified, for example, by prescribing a single daily insulin injection (glargine) rather than multiple injections for patients who must rely on others to administer the injection. Treatment goals may need to be modified (eg, less stringent glucose control) for patients unable to recognize symptoms of hypoglycemia and respond appropriately or for those with a limited life expectancy due to other serious disorders. Aids to circumvent some of the patient's limitations (eg, poor vision, limited dexterity) should be provided. Glucose meters should be easy to use, have large display screens and memory capabilities, and require no cleaning. Labeled pill boxes and other reminder devices and insulin pens are often helpful. Patients and caregivers must recognize indications for seeking immediate medical attention, and appropriate foot care is crucial. D IPO ST IN G O LEH LIZ A MAR T H O EN IS D I 23.31 T ID AK AD A KO MEN T AR :

Postingan Lebih Baru Langganan: Postingan (Atom)



Beranda

Postingan Lama

Atom Feed (xml) CREDITS Site Design By: Free Blogger Skins

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.