destinasian : india | Dan At The Movies [PDF]

Pemeran lokalnya pun aktor nomor satu sekarang di industri film Tamil, Surya Sivakumar (known as Surya) yang juga tampil

19 downloads 23 Views 192KB Size

Recommend Stories


review | Dan At The Movies | Page 92 [PDF]
Ketika dewasa, Blu menjadi satu-satunya spesies jantan yang tersisa. ..... yang terjadi akibat banyaknya pembentukan gas biasanya akan dirasakan penderita yang mengeluh frekuensi buang angin mereka meningkat, dan tak jarang diikuti pula dengan ganggu

2011 | Dan At The Movies | Page 2 [PDF]
Sah, namun meninggalkan benang merah excitement-nya terlalu jauh ke belakang, juga bukan tindakan yang diinginkan banyak orang. .... maupun Melayu Sumatra yang juga mengenal bentuk keseniannya dengan nama sama, dan kontroversial atas penggambaran gej

review | Dan At The Movies | Page 95 [PDF]
Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui ..... cilik Emir Mahira (Garuda Di Dadaku, Melodi) yang sangat meyakinkan dengan cara berdialog dan

MEDIA LAW & ETHICS (at the movies) - School of Communication [PDF]
Sep 30, 2016 - 1.2 Films. There will be viewing of six films in this course to augment understanding of media law and ethics. The films include: • Absence of Malice. • All the President's ..... In-Class Activity: Read syllabus, explain structure

Programme Notes Online At the Movies
Ask yourself: Who is your greatest role model? Next

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

AZ Movies - Foxtel [PDF]
Apr 14, 2017 - BOlT. FOXTEL MOVIES DISNEY 2008 Family. April 3, 7, 13, 18, 23, 26. John Travolta, Miley Cyrus. For super-dog Bolt, every day is filled with adventure, danger and intrigue – at least, until the cameras stop rolling. BOOgie nighTs. MAST

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

Movies > Recently added Conflict resolution Movies - Listal [PDF]
Movies > Recently added Conflict resolution Movies.

Movies > Recently added Conflict resolution Movies - Listal [PDF]
Movies > Recently added Conflict resolution Movies.

Idea Transcript


. . Dan At The Movies . .

movie reviews by Daniel Irawan

Archive for the 'destinasian : india' Category DILWALE: CLASSIC ON-SCREEN COUPLE AND A PURE MASALA ENTERTAINMENT • January 25, 2016 • Leave a Comment Posted in destinasian : india Tags: Bollywood, Boman Irani, Dilwale, Gerua, Janam Janam, Kabir Bedi, Kajol, Kriti Sanon, Masala, movie, Pritam Chakraborty, review, Rohit Shetty, Shah Rukh Khan, Varun Dhawan, Vinod Khanna

EEGA ( ) : TOLLYWOOD’S MOST GROUNDBREAKING EFFORT • December 26, 2012 • 6 Comments Posted in destinasian : india Tags: 7 Aum Arivu, Ader Adili, Eecha, Eega, Janardhan Maharshi, Makkhi, Makuta VFX, movie, Naan Ee, Nani, Naveen Babu Gantha, Pete Draper, Rahul Venugopal, review, Samantha, Samantha Ruth Prabhu, Sudeep, Telugu, Tollywood, Vikramarkudu

TALAASH : AN ULTIMATE LAIR OF DISTRACTIONS • December 18, 2012 • 8 Comments Posted in destinasian : india Tags: Aamir Khan, Anand Subaya, Anurag Kashyap, Farhan Akhtar, K.U. Mohanan, Kahaani, Kareena Kapoor, movie, Nawazuddin Siddiqui, Neo-Noir, Rani Mukerji, Reema Kagti, review, Sam Rampath, Talaash, The Answer Lies Within, Vivan Bhatena, Zoya Akhtar

JAB TAK HAI JAAN : A FINAL JOURNEY TO YASH CHOPRA’S ROMANCE • November 18, 2012 • 6 Comments Posted in destinasian : india Tags: A.R. Rahman, Aditya Chopra, Ajay Devgan, Anupam Kher, Anushka Sharma, Bollywood, Graham Greene, Jab Tak Hai Jaan, Katrina Kaif, movie, Neetu Singh, review, Rishi Kapoor, Sarika, Shahrukh Khan, Sholay, The End Of The Affair, Yash Chopra

ROWDY RATHORE : A PURE HINDI MASALA ACTION • June 18, 2012 • 6 Comments Posted in adrenalination, destinasian : india Tags: Akshay Kumar, Amit Kumar, Anal Arasu, Bikram Singha, black, Bollywood, Devdas, guzaarish, Kaajal Vashisht, Kareena Kapoor, Kungfu Hustle, Masala, movie, Mushtaq Khan, Nasser, Paresh Ganatra, Prabhu Deva, review, Rowdy Rathore, Saawariya, Sajid-Wajid, sanjay leela bhansali, Santosh Thundiyil, Shiraz Ahmed, Siruthai, Sonakshi Sinha, The Story Of Riki Oh, Veera Madakari, Vijay, Vikramarkudu

KAHAANI : A REAL TREAT FOR TWIST-SUCKERS • May 18, 2012 • 7 Comments Posted in dangerous minds, destinasian : india Tags: Advaita Kala, Aladin, Bollywood, Home Delivery, Jhankaar Beats, Kahaani, movie, Nawazuddin Siddiqui, Parambrata Chatterjee, review, Sujay Ghosh, Talaash, Vidya Balan

THE DIRTY PICTURE : SILK, LUST AND COMPASSION • February 3, 2012 • 2 Comments Posted in destinasian : india Tags: Ekta Kapoor, Emraan Hashmi, Jeetendra, Milan Luthria, movie, Naseeruddin Shah, Rajat Aroraa, Rajesh Sharma, rajnikanth, review, Shobha Kapoor, Silk Smitha, The Dirty Picture, Tusshar Kapoor, Vidya Balan

DON 2 : BADSHAH OF BOLLYWOOD BLOCKBUSTERS •January 16, 2012 • 7 Comments DON 2 Sutradara : Farhan Akhtar Produksi : Excel Entertainment & Reliance Entertainment, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2012/01/don-2.jpg) I bet, ‘Don’ (1978)-nya Amitabh Bachchan merupakan tontonan wajib buat penyuka film-film Bollywood. Untuk ukuran tahunnya, walau sempat dianggap mengekor trend film gangster pasca Godfather dan mafia-mafia Italia lainnya, film yang disutradarai Chandra Barod itu bukan hanya jadi sebuah action ala Bollywood yang seru, tapi twisting plotnya jadi sesuatu yang spesial. Status box officenya semakin meningkat jadi klasik di tahun-tahun berikutnya, dengan salah satu karakter paling memorable di sejarah Bollywood, serta lagu dan quote-quote yang terkenal disana. Thus, ketika seorang Farhan Akhtar, anak penulis aslinya, Javed Akhtar yang sekarang sudah jadi sutradara sekaligus aktor Bollywood berstatus acclaimed berniat mengangkat kembali karya klasik ini dengan sebuah kombinasi ke popularitas Shah Rukh Khan yang belum juga redup sampai sekarang, ‘Don’ (2006) yang bersubtitel ‘The Chase Begins Again’ itupun menuai sukses tak hanya di negaranya. Dengan cerdas, Farhan Akhtar membelit lagi plotnya mengikuti kemajuan sinema mereka dan trend film-film sekarang. Twist plus teknologi serba Western yang salah satunya diilhami film-film seperti ‘Mission: Impossible’. Walau di negaranya dianggap melawan arus dengan membalik pakem ‘Crime Doesn’t Pay’ di film aslinya, rating rata-rata peredaran internasionalnya cukup dipenuhi pujian. Dan Farhan, sejak awal memang tak ingin asal-asalan menggagas sekuelnya. Apalagi kondisi kesehatan Shah Rukh yang mengalami cedera tulang punggung membuatnya terpaksa absen dari genre-genre action. Hingga akhirnya dua orang penulis Ameet Mehta dan Amrish Shah, yang sama-sama fans loyal film aslinya datang dengan draft yang menarik hatinya, ia pun mengangkat lagi level franchise ini dalam peredarannya sebagai Christmas blockbuster barusan. Twistnya ditambah, around the world setnya semakin lebar, hi-tech actionnya kini dibalut dengan gimmick 3D, penggalan lovestory yang tak boleh hilang, namun yang terpenting, karakterisasi kingpin legendaris ini tetap dipertahankan dalam benang merah ke style baru khas Shah Rukh Khan di remake 2006-nya. Flamboyan, mostly overacted, tapi tetap menarik fansnya yang segudang. And so, the chase continues, dan hasilnya? Oke. Sebagian kritikus di India memang tetap tak suka dengan ide sudut pandang villain’s victory itu, namun box officenya tetap bicara sejalan dengan antusiasme penonton. Praised by overseas critics, di box office AS pun Don 2 mencetak rekor pembukaan minggu pertama terbesar untuk sebuah film hindi. Pasca pelariannya setelah mengelabui interpol di film pertama, Don (Shah Rukh Khan) kini menetap di Thailand sambil tetap menjalankan bisnis drugnya yang semakin maju, hingga mengusik kartel Eropa. Don kemudian dijebak dan terpaksa menyerahkan diri pada Roma (Priyanka Chopra) dan atasannya, Inspektur Malik (Om Puri) untuk dijebloskan ke penjara Malaysia. Disana, ia kembali bertemu dengan seterunya, Vardhaan (Boman Irani), namun Don dengan cepat menawarkan rencana baru yang membuat Vardhaan berbalik mengikutinya. Sasarannya adalah Diwan (Aly Khan), vice president DZB (Deutsch Zurich Bank), sebuah bank resmi pencetak Euro di Berlin, yang menyimpan kasus suap demi menjatuhkan kompetitornya, sementara bukti kejahatannya ada pada Vardhaan. Bersama Ayesha (Lara Dutta), partner baru Don, mereka merancang pelarian dari penjara Malaysia, bertolak ke Zurich dan segera memburu plat cetakan yang sudah dikirim Diwan ke bank sasaran di Berlin atas ancaman Don. Diwan sempat menjebak Don dengan menyewa pembunuh bayaran Jabbar (Nawab Shah), tapi Don yang lolos malah menarik Jabbar ke timnya. Terakhir, seorang hacker buronan, Sameer (Kunal Kapoor) ikut bergabung. The heist is on, namun tepat ketika Don berhasil merampok plat cetakan itu, ia harus adu intrik dengan Jabbar dan Vardhaan yang siap menjebaknya. Tapi bukan Don namanya kalau tak tahu siapa yang bisa terus setia berada di pihaknya, termasuk Roma yang meski menyimpan dendam namun tetap mencintai Don. Semua sudah diperhitungkannya dengan cermat. Just like its famous original quote, ‘Don ko pakadna mushkil hi nahin. Namumkin hai.’ Means ‘It’s not only difficult to catch Don. It’s impossible.’ Sama seperti karakter Don yang tak pernah salah memperhitungkan sepak terjangnya, franchisenya sendiri sudah jadi kartu As buat Farhan. Nilai klasik film orisinilnya, kharisma fenomenal Shah Rukh Khan, berikut peningkatan level sinema Hindi yang semakin maju ke status internasional hingga efforts ke teknologinya, sekuel ini digagas jauh lebih mantap ketimbang blockbuster Shah Rukh satunya barusan, ‘Ra-One’. Comot sana comot sininya memang tetap berada di pakem Bollywood, namun Farhan tak lagi berusaha mengembalikan bagian-bagiannya jadi back to Bollywood’s classic basic. Melaju bak sebuah blockbuster internasional, dengan hanya satu adegan tari dan nyanyi di pub yang tak memberi kesan musikal klasik Bollywood, Farhan punya twisting plot yang cukup juara dengan adegan aksi teamwork ala ‘Mission:Impossible’ yang sama eksplosifnya. Barisan castnya pun cukup baik, dari Priyanka Chopra sebagai karakter yang masih tetap dipertahankan untuk hubungan lovestory unik Roma dan Don yang sudah dimulai di film asli dan remakenya, Om Puri, Boman Irani yang komikal, special cameo Hrithik Roshan serta dua nama yang sangat mencuri perhatian disini, Nawab Shah dan Kunal Kapoor. Gimmick 3D nya belum betul-betul sempurna tapi muncul meningkat ketimbang ‘RaOne’, dengan treatment yang sejalan dengan excitement penonton terutama di opening showdown yang berlokasi di Thailand. Dan di kursi stunt dan fight director, ada sineas impor Wolfgang Stegemann yang sudah bekerja di sebaris film Hollywood mulai dari ‘V For Vendetta’, ‘Ninja Assassin’ hingga the upcoming ‘World War Z’. Terakhir, tentu saja dose of glamourity dari set around the world yang tak sekedar jadi tempelan hingga ke pemilihan kostum bak sebuah gelaran fashion show di tangan sinematografer Jason West (‘Delhi Belly‘). Penuh warna seperti Bollywood apa adanya, dengan elemen aksi, lovestory dan style yang berjalan tegak bersama-sama. You may get a little tired on Shah Rukh’s suave performance, tapi yang jelas, seperti gelar selebritas ‘Badshah (King)’ yang diembannya beberapa tahun terakhir, sekuel ini adalah ‘Badshah of Bollywood Blockbusters’. Sebuah bukti perkembangan pesat sinema mereka, and one you shall not missed, too. (dan) Posted in destinasian : india Tags: Aly Khan, Ameet Mehta, Amitabh Bachchan, Amrish Shah, Boman Irani, Don, Don 2, Farhan Akhtar, hrithik roshan, Jason West, Javed Akhtar, Kunal Kapoor, Lara Dutta, Nawab Shah, Om Puri, Priyanka Chopra, Sahil Shroff, Shah Rukh Khan, Wolfgang Stegemann

7AUM ARIVU (THE SEVENTH SENSE) : KOLLYWOOD’S NEXT BREAKTHROUGH IN SCI-FI MARTIAL ARTS CINEMA •December 19, 2011 • 2 Comments 7AUM ARIVU (THE SEVENTH SENSE) Sutradara : A.R. Murugadoss Produksi : Red Giant Movies, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/12/7aum-arivu-3.jpg) Meski masih bernaung di satu negara, perfilman Tamil yang lazim disebut Kollywood, dengan Bollywood sebagai industri nasionalnya, memang seolah punya perang urat syaraf. Diluar kerjasama dalam remake dan dubbing timbal balik (meski perfilman Tamil lebih sering jadi source dengan ide-ide segarnya) dan invasi masing-masing artisnya, ada persaingan yang jelas kelihatan. Lihat saja bagaimana ‘Ra-One’ barusan membalas ‘Enthiran/Robot’ yang lebih awal mendahului mereka dalam teknologi dengan sindiran terhadap karakternya. Oke, satu-satunya film India modern yang masuk ke dalam ‘Time Magazine’s All Time 100 Best Movies’ yang bergengsi itu, ‘Nayagan’ (1987), memang berasal dari Tamil, tapi harus diakui juga bahwa dalam skup internasional, kebanyakan negara lain, termasuk Indonesia, lebih mengenal perfilman Bollywood yang kebanyakan lebih terkesan ‘wah’ terutama dari tampilan aktor-aktrisnya. Dunia pun lebih kenal trio Khan (Salman-Shah Rukh-Aamir) atau Amitabh Bachchan ketimbang dua aktor legendaris mereka, Rajnikanth atau Kamal Haasan. Kecuali segelintir versi dubbing, kita memang tak punya kran impor untuk film-film daerah mereka seperti Malaysia atau Singapura. And so, perang ini tampaknya masih terus akan berlangsung di wilayah groundbreaking efforts terhadap penggunaan teknologi. Masih belum puas dengan ‘Robot’, mereka kembali mengajak Legacy Effects-nya Stan Winston (‘Terminator’, ‘Aliens’, ‘Jurassic Park’ hingga ‘Avatar’) dalam racikan efek spesial di film yang plotnya digagas secara kontroversial oleh penulis/sutradara A.R. Murugadoss, sineas yang sebelumnya sukses mengadaptasi lepas ‘Memento’ ke ‘Ghajini’ hingga berlanjut ke remake Bollywood-nya. Hasilnya, ‘7aum Arivu’ (dalam bahasa Inggris; ‘The Seventh Sense’) ini pun menuai kontroversi dan tuduhan. Tak hanya dituding Bollywood menjiplak ‘Chandni Chowk To China’, martial arts internasional Bollywood pertama namun tak punya sisi sci-fi yang kental di dalamnya, game ‘Assassin’s Creed’ hingga yang lebih parah, dari segi historikal dengan memberikan atribut tamil ke tokoh legendaris ‘Bodhidharma’, pendeta Buddha yang dari legenda Cina-nya merupakan penggagas awal biara Shaolin. Sah saja sebenarnya, secara sebagian kita juga percaya bahwa Pandawa Lima dan tokoh-tokoh pewayangan berasal dari Jawa padahal ada dengan nama sama dalam sejarah India. Ekspedisi mereka ke berbagai negara mungkin menimbulkan persepsi asal yang berbeda dalam mengembangkan suatu kepercayaan, tapi mari tak berdebat soal itu. This is only a movie. Yang jelas, ‘7aum Arivu’ sudah memulai genre baru dalam perfilman mereka, dan dengan kerja tim Stan Winston plus pemeran antagonis yang diimpor dari Vietnam, Johnny Tri Nguyen, yang belum lama ini cukup menggebrak lewat ‘The Rebel’, wrapping keseluruhannya jadi sangat spesial. Pemeran lokalnya pun aktor nomor satu sekarang di industri film Tamil, Surya Sivakumar (known as Surya) yang juga tampil dalam ‘Ghajini’ versi asli dan Shruti Haasan. Yang terakhir ini merupakan putri dari pernikahan aktor legendaris mereka, Kamal Haasan dengan aktris Bollywood Sarika, yang agaknya bukan sekedar aji mumpung tapi punya potensi besar baik di akting maupun tampilan fisik dengan kecantikan mirip seperti ibunya. Peredarannya yang menyambut Hari Raya Deepavali barusan semakin menekankannya sebagai sebuah blockbuster. Here’s the plot. Dimulai dari gambaran kehidupan masa lalu Bodhidharma (Surya) yang dijelaskan sebagai putra raja dari Dinasti Pallava dengan kemampuan medis tradisional serta beladiri tinggi. Ekspedisinya ke Cina awalnya dimaksudkan untuk membantu wabah pandemik yang sedang berlangsung disana dan mencegahnya masuk ke India. Dalam sekejap, Bodhidharma dipuja oleh rakyat Cina atas usahanya mengobati penduduk dengan ramuan-ramuan bahkan melawan perusuh-perusuh yang meresahkan banyak daerah disana. Bodhidharma pun lantas mulai menyebarkan aliran Buddhism-nya baik dalam pengobatan tradisional, beladiri Shaolin serta hipnotis. Namun kepercayaan sebagian pihak untuk menguburkan mayatnya sebagai penangkal serangan wabah membuat Bodhidharma menerima nasibnya setelah makanannya diracuni. Ia merelakan diri menyelamatkan mereka demi penyebaran alirannya, dengan sebuah ramalan di masa depan. Kini di masa depan, sebuah organisasi teroris di Cina menggunakan jasa Dong Lee (Johnny Tri Nguyen) yang menguasai teknik beladiri dan hipnotisme Bodhidharma untuk menyebar teror biokimia dibalik nama ‘Operation Red’ ke India. Virus yang sama dengan wabah masa lalu itu direkayasa ulang dan disuntikkan ke anjing-anjing jalanan di Chennai, India, untuk menularkannya pada seluruh masyarakat. Di saat yang sama, seorang mahasiswi jurusan rekayasa genetik tingkat akhir, Subha Srinivasan (Shruti Haasan) tengah meneliti sample DNA keturunan Bodhidharma yang dipercayanya bisa membangkitkan kembali sang pendeta. Pencarian Subha mengarah pada Aravind (Surya) yang bekerja di sebuah sirkus dan masih memegang garis keturunan Bodhidharma. Satu-satunya profesor yang mendukung penelitian Subha ternyata merupakan kontak Dong Lee untuk melaksanakan teror itu. Mengetahui potensi Aravind dan Subha sebagai penghalang, Dong Lee pun melakukan segala cara untuk membunuh mereka berikut tim rekan-rekan Subha. Namun Aravind yang sadar akan garis keturunannya juga siap sekali lagi menempuh takdir seperti leluhurnya, mencegah virus itu menyebar ke seluruh India, bahkan dunia. Intriguing, namun film India, sayangnya tetaplah seperti kebanyakan. Ketimbang mencoba beranjak seperti beberapa yang sudah mulai makin menyeimbangkan inovasi di sana-sini, sebagian lagi masih berklasik-klasik ria dengan ciri khas mereka termasuk di tampilan lagu dan dance, serta part romance dan komedi yang seakan tabu untuk dibuang. Konsep plot yang menggabungkan sci-fi medis modern dan martial arts seru ala Asia plus pesan moral untuk menghargai sejarah leluhur ini sayangnya juga belum mau beranjak dari pakem klasik tadi, secara Murugadoss, meski diakui unggul dari racikan plot yang kreatif comot sana-sini hingga jadi kelihatan baru dan di satu sisi punya style yang mementingkan keindahan shot dari para sinematografernya, memang bukan sutradara serba arthouse, tapi tetap di ranah blockbuster komersil. Paling tidak, satu yang paling menonjol dalam film-filmnya sehingga membuatnya cukup kredibel adalah kehandalannya menguasai set dengan detil. Film-filmnya hampir selalu menampilkan adegan di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang lalu-lalang sebagaimana penduduk India yang super padat, namun tak lantas kehilangan detil-detil figuran yang tampil wajar. Jadi ketika pakem klasik itu masih muncul, mau sedemikian hebat pun penggarapnya, tak usah heran ketika seusai bagian pembuka yang tampil penuh kecermatan dari set di Cina dengan bahasa aslinya kemudian melorot kembali ke tampilan romance comedy serba cheesy ala film India, lengkap pula memakai pelawak dengan cacat fisik bertubuh cebol. Benang merahnya memang tak hilang sambil memperkenalkan satu persatu karakternya. Okelah, lagu-lagu dan dance serba cantik yang dibesut di Phi Phi Beach, Thailand itu memang menarik, mostly untuk semakin memperkenalkan Shruti yang memang cantik ini ke layar lebar mereka, namun bagian tak begitu diperlukan yang melorot sedikit kelewat panjang hingga melewati intermission, mau tak mau menurunkan intensitas plot utamanya dalam gambaran sci-fi dan martial arts itu, apalagi dengan Surya yang terlalu asyik berkomedi dibalik posturnya yang gede. Bisa jadi juga, Murugadoss memang menyadari bahwa ia hanya memiliki tiga bagian paling unggul untuk menjadikan film ini kelihatan lain dari yang lain diluar 15 menit adegan pembuka itu untuk benar-benar dijadikan sebagai pamungkas yang dahsyat. So if only you could stand over one hours of rom-com, barulah ‘7aum Arivum’ menunjukkan kehebatannya, dimulai dari adegan ‘street chaos’ dengan serangan mobil dan motor melayang-layang hasil kerja tim Stan Winston, sedikit deskriptif medis mutakhir yang meskipun mengkhayal tapi sah-sah saja sebagai sisipan sci-fi yang bisa seolah akurat dengan set cukup detil, ke adegan full contact Surya-Johnny Tri Nguyen hasil kerja stunt/fighting choreography Peter Hayne, sineas berdarah Vietnam yang juga membesut koreografi ‘Ghajini’ dan ‘Robot’, yang tampil cukup seru. Mungkin durasinya masih tak sepanjang gelaran mereka dalam ‘Robot’, dan tak juga semulus serta se-rapi itu dalam usahanya yang terasa kelewat bombastis, namun gabungan dari efek spesial adegan aksi, sci-fi dengan martial arts yang menunjukkan jelas-jelas kehandalan Nguyen beraksi plus sixpacknya Surya di deretan klimaks itu tak salah juga diacungi jempol. ‘7aum Arivu’ mungkin belum lagi bisa dikatakan benar-benar berhasil atas kombinasi plot gado-gado yang kelewat berpanjang-panjang di pakem klasik film India. Hasil perolehan box officenya pun belum bisa menyaingi ‘Robot’. Namun secara keseluruhan, ini adalah satu lagi ground-breaking effort dari perfilman mereka yang terasa makin dahsyat karena datangnya justru dari Kollywood, bukan Bollywood. Bukan tak mungkin dalam waktu dekat Bollywood akan ikut-ikutan latah seperti ‘Ra-One’ atas ‘Robot’ tempo hari, bisa saja dengan Salman Khan yang juga sama-sama sixpack dan handal di adegan-adegan full contact. Yang jadi pertanyaan sekarang, dalam konteks tematik yang melangkah ke wilayah dan genre baru, ‘Kapan ya sinema kita bisa begini?’ (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/12/7aum-arivu.jpg) Posted in destinasian : india Tags: 7am Arivu, 7aum Arivu, A.R. Murugadoss, Bodhidharma, enthiran, Ghajini, Johnny Tri Nguyen, Kamal Haasan, kollywood, Legacy Effects, movie, Nayagan, Peter Hayne, Ra.One, review, robot, Sarika, Shruti Haasan, stan winston, Surya, The Rebel, The Seventh Sense

RA.ONE : BOLLYWOOD STRIKES BACK •October 29, 2011 • 1 Comment RA.ONE Sutradara : Anubhav Sinha Produksi : Eros International & Red Chillies Entertainment, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/10/ra-one.jpg) Meski masih bernaung di satu negara dan kerap melakukan crossover kerjasama, baik dalam versi dub atau remake timbal balik, ada persaingan terselubung antara Bollywood sebagai perfilman nasional India dengan Kollywood, perfilman salah satu daerah selatan yang lebih dikenal dengan sebutan film Tamil. Beralih dari produk underdog, Kollywood belakangan mulai melahirkan sineas-sineas go international (A.R. Rahman dan Aishwarya Rai adalah diantaranya) bahkan patokan orisinalitas yang suka di-remake ke perfilman nasional mereka. Meski produk Bollywood tetap lebih memenuhi persyaratan dengan barisan paras pemerannya yang rata-rata serba cantik, namun gebrakan Kollywood tahun lalu lewat ‘Robot (Enthiran)’, yang memasang duet Aishwarya Rai kembali ke kampung halamannya dengan Amitabh Bachchan-nya Tamil, Rajnikanth, sebagai film sci-fi-superhero India berbujet terbesar sekaligus juga versi dubbingnya ke bahasa hindi, cukup membuat perfilman nasionalnya terpukul. Oh ya, ‘Ra.One’ bukanlah film superhero kedua Bollywood karena sebelumnya sudah cukup banyak superhero made in Bolly namun tak se-global ‘Krrish’-nya Hrithik Roshan dan mungkin tertutupi oleh ramuan komedi dan drama campur baurnya yang kelewat mendominasi. So, selagi masih menunggu sekuel ‘Krrish’ yang terus terkendala, Ra.One yang sudah digagas cukup lama ini pun di-push lebih over the top menuju rencana perilisannya di momen hari raya Diwali. Ide dari cerita pendek yang ditulis sutradara/penulis Anubhav Sinha di tahun 2004 sudah memulai pre-produksinya sejak 2007. Selain polesan efek spesial yang terus diperbaharui, konversi 3D-nya juga masuk ke dalam agenda kejar tayang. Mereka memang tak sampai menggamit kelas pionir Stan Winston seperti ‘Robot’, namun bekerjasama dengan ‘Prime Focus’, perusahaan visual multimedia yang sudah menghasilkan antara lain ‘X-Men : First Class’, ‘Final Destination 5’ , konversi 3D ‘Transformers : Dark Of The Moon’, berikut, yes, ‘Sucker Punch’ yang serba wah itu. Plus satu ambisi lagi. Mengungguli rekor ‘Robot’ sebagai film India berbujet lebih gede. Promosi yang gede-gedean juga membuatnya mencetak rekor box office terbaru di negaranya. Dari penelusuran plot penuh mocking ke karakter tipikal film-film Tamil dan tampilnya Rajnikanth sebagai cameo karakternya di ‘Robot’, if you’re into Indian movies, Anda akan mengerti. Dengan efek spesial, bayaran tinggi ke tampilan singkat Rajnikanth, special appearance Sanjay Dutt–Priyanka Chopra dan bahkan suara Amitabh Bachchan di sepenggal narasi dan mengundang Akon untuk mengisi soundtracknya (Bukan hanya single ‘Chammak Challo’ yang sudah wara-wiri di MTV itu tapi juga membeli copyright lagu klasik ‘Stand By Me’), they’re striking Kollywood back as hard. Hanya satu keinginan Shekhar Subramaniam (Shah Rukh Khan), seorang programmer game dari perusahaan Barron Industries dibalik kehidupan perkawinannya yang bahagia dengan Sonia (Kareena Kapoor), yakni mendapatkan respek dari putra tunggal yang sangat dicintainya, Prateek (Aman Verma), yang lebih memuja tokoh jahat dibalik nickname-nya ketika bergelimang di dunia game, Lucifer. Demi obsesi itu, Shekhar, bersama partner bagian teknisnya, Akashi (Tom Wu) dan asistennya, Jenny (Shahana Goswami) pun mendesain game baru dengan tokoh supervillain tak terkalahkan, yang mereka kembangkan dari elemen-elemen superhero-nya ke dalam dua masterchip dengan sebutan HART (Hertz Advance Resonance Transmitter). Sang tokoh jahat mereka namakan Random Access One (Ra.One) yang dibaca Rawan (mengacu ke Raavan/Rahwana) serta superheronya, G.One (dibaca Jiwan, mengacu ke kata Jeevan yang artinya kehidupan). Mereka tak menyangka bahwa program serba super itu akhirnya akan membawa data Ra.One ditransfer ke luar dunia virtual dan siap untuk melancarkan terornya di kehidupan nyata. Sasarannya adalah Prateek yang jadi orang pertama mencoba game itu. Satu-satunya cara untuk menghentikan Ra.One adalah dengan membawa serta G.One ke dunia nyata, namun Ra.One yang akhirnya mengambil fisik seorang model (Arjun Rampal) juga semakin sulit untuk dikalahkan. And Bollywood tetaplah Bollywood. Seperti ‘Krrish‘ dan ‘Robot‘ yang masih tergolong film India juga meski dari perfilman Tamil, Ra.One juga tetap merupakan gado-gado campur aduk ala mereka dalam durasi rata-rata dua setengah jam including lagu-lagunya, yang sekarang kebanyakan tak lagi jadi tampilan musikal tapi sebatas soundtrack latar kecuali adegan di bar atau panggung pesta. Superheronya tak sekedar superhero dengan satu kekuatan, tapi merupakan kombinasi comot sana comot sini dari segudang giant Hollywood blockbusters. Here, dejavu-nya bahkan lebih banyak lagi. Mulai dari konsep teleportase ala ‘Star Trek’ yang sedikit diplesetkan antara perpindahan data virtual dengan dunia nyata, dunia game comes alive like ‘Tron’, drama dilematis ala ‘The Dark Knight’, aksi ala ‘Spider-man’, device masterchip ala ‘Iron Man’ dan masih banyak lagi yang lain. Bumbunya? Mulai dari komedi nyeleneh yang khas filmfilm Shah Rukh Khan sekali, hingga dramatisasi over yang membuat penontonnya tersentuh setengah mati. Namun ini juga jadi spesialisasi tiruan Bollywood yang racikan keseluruhannya muncul jadi sajian yang menawarkan excitement baru, dan di saat guyonan-guyonan ala Asia yang sebenarnya tak benar-benar perlu itu bisa membuat Anda tertawa, dramatisasinya bisa membuat Anda terharu, lagu-lagunya catchy dan sudah menyentuh wilayah modern yang bisa dinikmati semua orang dan efek spesial sebagai inovasi teknologi go-international mereka yang baru bisa membuat kita berdecak cukup kagum, you have no object than to enjoyed its’ cheesy-ness as well. Dan ada nilai plus lain dalam relevansi genrenya sebagai film superhero, adalah sebuah konsep. Ra.One tak lantas tabrak sana tabrak sini tanpa juntrungan, tapi penelusurannya sudah digagas jelas sejak adegan awal. Konsep good vs evilnya jelas, apalagi disini Sinha yang menulis ceritanya sendiri punya benang merah dengan legenda Rahwana yang diangkat sebagai bagian terpenting menjadi moral of the story yang, terus terang, sangat bagus dalam membangun dramatisasi menyentuh tentang father and son’s broken relationship. It’s the greatest crime that comes from your deepest heart. Sebuah cinta yang menjadi dasar terdalam konflik dan meluluhlantakkan dunia para karakternya, which is to me, subjectively, adalah part terbaik dari hingar-bingar efek dan genre superhero-nya. Oke, pameran efek spesial yang terus menggelegar sepanjang film dengan hitungan frame yang jauh lebih banyak itu memang cukup dahsyat meski tak bisa mengungguli ‘Robot (Enthiran)’ yang hanya bermain-main singkat di klimaks namun menggamit Stan Winston yang notabene lebih berkelas pionir ketimbang Prime Focus sebagai penggagas efek spesial dan 3D-nya. Tapi mereka sudah menjawab tantangan itu dengan unsur-unsur yang jauh lebih hebat sampai ke tampang-tampang pemerannya yang pastinya lebih akrab bagi penonton global, terutama Shah Rukh Khan dan Kareena Kapoor. Anda boleh saja mengkritik ini dan itu tapi racikan Ra.One memang hadir jadi sebuah pure entertainment yang sulit untuk dilewatkan. Sebuah pakem klasik yang tak seharusnya dibuang, sekaligus membuka mata kita terhadap sebuah keinginan industri perfilman yang terus kepingin maju tanpa melupakan akar budayanya. Chammak Challo, and Happy Deepavali! (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/10/ra-one-movie-poster-b0165.jpg) Posted in destinasian : india Tags: Akon, Aman Verma, Amitabh Bachchan, Anubhav Sinha, Arjun Rampal, Chammak Challo, enthiran, G.One, HART (Hertz Advanced Resonance Transmitter), Jeevan, Kareena Kapoor, Krrish, movie, Prime Focus, Priyanka Chopra, Ra.One, Raavan, rajnikanth, review, robot, Sanjay Dutt, Shah Rukh Khan, Shahana Goswami, stan winston, Tom Wu

RE-VIEW-SITED : MY NAME IS KHAN : HOW FAR WOULD YOU GO FOR SOMEONE YOU LOVE? •August 30, 2011 • Leave a comment MY NAME IS KHAN Sutradara : Karan Johar Produksi : Dharma Productions & Fox Searchlight, 2010 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/my-name-is-khan.jpg) So What’s So Good About Karan Johar? Sutradara film India fenomenal Kuch Kuch Hota Hai yang hanya muncul sekali dalam hitungan 3-4 tahun (sebagai sutradara, bukan produser) ini memang selalu meninggalkan karya yang banyak dibicarakan orang, dipuji di sana-sini bahkan membuat banyak penontonnya tak cukup hanya menonton sekali. Apakah visual yang bagus dan artistik? Tidak juga. Is it a criterion quality or festival feed? Ah, semua filmnya malah tergolong film komersil. Atau pengaruh Shah Rukh Khan sebagai muse-nya? Hmmm… bisa jadi, tapi tak juga terlalu tepat. Here’s one good answer. Komunikatif. Yup, seperti storyteller yang bisa membuat orang tak berpaling ketika ia bercerita, itulah Karan. Powernya ada disana. Dengan kemampuan itu, Karan bisa bergerak luarbiasa leluasa untuk mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Jangan pungkiri seketika Anda bisa merasa jengah dihujani bombastisme emosi ketika Karan melangkah terlalu jauh dari apa yang ingin disampaikannya, namun di saat yang sama ia kembali membuat semua pelarian itu terasa believable, dan Anda pun kembali merasa nyaman mendengarkan alurnya kembali, bahkan ketika Anda sadar hampir tiga jam atau lebih waktu Anda sudah tersita dengan ceritanya. Dan memang ada benarnya, salah satu amunisi itu juga ada di kharisma Shah Rukh, yang bisa jadi sangat klop memvisualkan kemauan Karan. Dengan sutradara yang lain, Shah Rukh tak selamanya bisa terlihat begitu sempurna. Apalagi, bila didampingi seorang Kajol, yang punya overpower chemistry dengannya. Setelah dihujani protes masalah moralisme lewat film terakhirnya, Kabhi Alvida Naa Kehna, yang tetap melaju mulus di perolehan box office luarIndia, seakan tak peduli, Karan’s now taking a step forward. Sebuah tema yang berani, yang menyimpan pemicu SARA di banyak sisi plotnya, namun sekaligus bisa berlindung di sebuah pesan bijak. Tak ada lagi lagu dan tari yang biasa menghiasi film Bollywood (don’t get me wrong, tetap ada lagu tapi berdiri sendiri sebagai soundtrack tanpa tampilan musikal, dan inisial awal judulnya pun tak lagi dimulai dengan huruf K yang seakan jadi senjata ampuhnya.

Sebagai individu yang terlahir dengan Asperger’s Syndrome, sebuah bentuk autisme yang membuatnya sulit bersosialisasi layaknya manusia normal, Risvan Khan (Shah Rukh) dididik dengan baik oleh sang ibu sebagai seorang muslim yang bisa terbuka menerima semua perbedaan di sekelilingnya, hingga mengejar mimpinya ke San Fransisco. Itulah yang membuatnya bisa mencuri hati seorang wanita Hindu, Mandira (Kajol), janda dengan satu anak bernama Sameer, yang bisa menerima semua kekurangan Risvan. Mereka pun menikah, dengan karir keduanya yang semakin menanjak. Ketika tragedi 9/11 terjadi, semuanya berubah, sampai akhirnya Sameer menjadi korban rasis di sekolahnya. Ia mengalami ‘spleen rupture’ (di teks tertulis berkalikali, patah tulang iga. pembuat teksnya, Narain Topandas, yang menjadi langganan pembuat teks film-film Bollywood, mungkin tak mengerti term ini tapi malas bertanya, jadi hanya mengira-ngira saja. Next time you better consult your english teacher again) ketika dikeroyok sampai meninggal. Mandira pun galau oleh identitas barunya dengan nama Khan di belakang namanya. Risvan kemudian diusir dari kehidupannya, dengan sebuah janji yang ditanggapi dengan latar belakang autis tadi, untuk menemui Presiden AS dan mengatakan “My name is Khan, I’m not a terrorist”. Pengembaraan Risvan pun dimulai, hingga sebuah ketulusan hatinya membantu korban badai di sebuah desa kecil di Georgia mendapat sorotan media. Baginya hanya ada satu motivasi, menyelesaikan tugas tadi untuk dapat membuat Mandira melupakan kemarahan dan kembali ke hatinya. Seperti biasa, Karan me-wrapped My Name Is Khan dengan kemampuannya mengaduk-aduk emosi penontonnya. Ia tak lagi bicara tentang cinta se-langsung dan se-lepas dalam Kuch Kuch, Kabhi Khushi Kabhie Gham bahkan Kabhi Alvida Naa Kehna, namun justru mengalihkannya pada pesan antirasisme antar reliji dengan lantang hingga ada sebuah dialog keras yang tak dibubuhi teks karena mungkin takut menyinggung. Namun Karan tetaplah Karan. Sejauh apapun ia memutar langkah untuk menyampaikan ide-idenya, apalagi dengan tampilan Shah Rukh dan Kajol yang kembali menunjukkan kualitas one of the best on-screen couple ever made, semuanya kembali pada sebuah pesan paling universal. Tentang Cinta. Seperti filmnya yang lain, dimana Karan bisa mengeksplorasi seluruh kekuatannya dengan bebas. In the end, it’s still a typical Karan. It’s all about How Far Would You Go For Someone You Love. (dan) from my old blog at : http://www.danieldokter.multiply.com (http://www.danieldokter.multiply.com) Posted in destinasian : india Tags: Asperger's Syndrome, Kabhi Alvida Naa Kehna, Kabhi Khushi Kabhie Gham, Kajol, Karan Johar, kuch kuch hota hai, My Name Is Khan, Shah Rukh Khan

ZINDAGI NA MILEGI DOBARA : LIVE YOUR MOMENT •August 28, 2011 • 5 Comments ZINDAGI NA MILEGI DOBARA Sutradara : Zoya Akhtar Produksi : Eros International & Excel Entertainment, 2011 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/zindagi-na-milegi-dobara.jpg) If you do think all about Bollywood is only cheesy-ness, think again. Sedikit banyak, resep serba meriah yang mengangkat perfilman mereka ke masa-masa gemilangnya di Asia tahun 7080an dulu, termasuk Indonesia yang hobi comot sana comot sini, memang masih dipertahankan sampai sekarang. Satu yang kembali pasca kembang-kempis nafas mereka, Kuch Kuch Hota Hai, juga tak jauh-jauh dari sana. Namun gerakan non-mainstream mereka juga masih terus berjalan sampai sekarang, meski luput dari perhatian kebanyakan penonton luar, dengan polesan yang sedikit lebih berkompromi ke pasar. Like a new wave of filmmaking, sekarang, citranya yang semakin terangkat ke dunia internasional, masih menyisakan sineas-sineas yang tak lagi hanya berorientasi di hal komersil. Tanpa action berlebihan dengan hero yang tak kunjung mati setelah tertembus belasan peluru, airmata yang tumpah ruah dengan dramatisasi over, konflik yang lebih datar. Tapi tetap bisa masuk ke kalangan penonton mainstream, dari cast bintang terkenal yang semakin berlomba tampil di film-film yang resepsinya baik di festival-festival internasional, serta ya, meski tak sebanyak dulu, tetap ada sequence lagu. Selain Aamir Khan, sineas new wave style itu adalah Farhan Akhtar. Putra dari sineas senior Javed Akhtar ini mulai menanjak lewat debut penyutradaraannya di Dil Chahta Hai yang juga dibintangi Aamir, lantas diikuti Lakhsya-nya Hrithik Roshan dan remake Don-nya Shahrukh Khan. Multitalentanya di bawah bendera Excel miliknya kini membawa Farhan banting stir lebih sering tampil sebagai aktor, dan membawa Zoya, saudari kembarnya yang sebelumnya sering jadi casting director di film-film terkenal termasuk Kamasutra, ke kursi sutradara. Setelah Luck By Chance, film bergenre new wave yang juga dibintangi Farhan, Zindagi Na Milegi Dobara ini adalah karya kedua Zoya. Tipikal film Bollywood yang akrab dengan resepsi internasional, award-award lokal, serta juga punya potensi gede di box office. Farhan kini menggandeng Hrithik kembali, yang banyak dibilang punya kemiripan fisik dengannya, dan generasi baru keluarga Dharmendra setelah Sunny dan Bobby, keponakannya, Abhay Deol. Ini adalah sebuah road movie tentang pencarian jatidiri tiga sahabat di awal pendewasaan mereka. Sedikit bromance, plus Bollywood’s beautiest actress these days, Katrina Kaif.

Di ambang pernikahannya dengan Natasha (Kalki Koechlin), Kabir (Abhay Deol) merancang bachelor trip bersama sahabat masa SMU-nya, Imraan (Farhan Akhtar), serta Arjun (Hrithik Roshan) yang sudah menjadi pialang workaholic sehingga tak hadir di acara pertunangannya. Padahal, Arjun sebenarnya tengah dilanda kegalauan karena diputuskan kekasihnya akibat kesibukannya. Sementara, hubungannya dengan Imraan pun masih naik turun karena masalah wanita di masa lalu mereka. Sasaran mereka adalah menelusuri Spanyol selama tiga minggu penuh, plus sedikit adrenalin untuk mencoba extreme sports. Pilihan Kabir ke deep sea diving membawa mereka pada seorang instruktur cantik blasteran Inggris, Laila (Katrina Kaif) yang dengan cepat mengalahkan ketakutan Arjun terhadap air. Laila kemudian mengenalkan sahabatnya Nuria (Ariadna Cabrol) yang kemudian dekat dengan Imraan, dan ikut serta dalam trip itu. Perasaan Arjun terhadap Laila juga mulai membuatnya berusaha lebih menikmati hidup. Semua berjalan sempurna hingga Natasha mencurigai Kabir berselingkuh dengan Laila dan menyusul kesana. Sikapnya yang penuh kontrol menyebabkan Arjun dan Imraan jengah sekaligus membuat Kabir berpikir ulang atas pilihannya. Sementara, masih ada petualangan skydiving atas pilihan Arjun menanti mereka, serta Imraan yang memilih adrenalin tertinggi setelah akhirnya berjumpa dengan ayah biologisnya, Salman (Naseerudin Shah) yang membuka rahasia perpisahannya dengan sang ibu. Sebuah bull run di Pamplona, Spanyol. Petualangan ini kemudian menyadarkan mereka atas pilihan-pilihan hidup sebenarnya, sementara Kabir juga harus segera memutuskan keraguan hatinya terhadap Natasha di ambang pesta pernikahan mereka. Yup, plot road movie tentang sebuah arti hidup dan persahabatan ini memang simpel-simpel saja, dan Zoya yang juga menulis skripnya sudah jelas menitikberatkan jualannya pada highlight adegan tiga pilihan sport yang intensitas extremenya sesuai anak tangga itu, panorama indah sepanjang jalanan kota-kota di Spanyol dan tentunya pameran castnya yang sedang jadi idola di Bollywood. Namun untuk bisa membuat penontonnya bertahan di masa putar film India biasanya, hampir dua setengah jam, Zoya ternyata punya senjata lain atas pilihan plot yang sekilas hanya bromance biasa. Untuk sebagian, bisa saja terasa a little bit draggy, namun dibalik itu Zindagi Na Milegi Dobara punya makna mendalam atas perasaan banyak orang di ambang usia yang sama, yang akhirnya membuat apapun yang ditampilkannya di layar bisa terasa akrab dengan cepat sekaligus komunikatif sebagai problem yang ditemui sehari-hari. It’s everyone’s fear of being grown-ups and settled, choices in life and renewed vows of any broken relationships. Gambaran dilematis tiap karakter yang tergambar dengan wajar tanpa harus didramatisir berlebihan seperti biasa mampu dibawakan aktor-aktrisnya dengan kewajaran yang sama, dan itu yang membuat pesannya jadi terasa berarti. Apalagi paras barisan castnya cukup seimbang membagi selera penonton pria dan wanita di kelas yang hampir sama, walau di tangan seorang penulis wanita, tema bromance bisajadi terasa lebih halus dan sensitif bagi sebagian pemirsa. And finally, ketika skor, track lagu dan tari-tarian sebagai resep klasik yang dibesut trio Shankar-Ehsaan-Loy bisa tampil sebagai pengiring yang bagus dengan campuran style flamenco sesuai setnya, plus beberapa yang dinyanyikan langsung oleh pemerannya termasuk Hrithik-Farhan-Abhay sendiri, you really wouldn’t say no to this. Seperti judulnya yang kira-kira punya arti ‘you won’t get life back again’, so live the moment as well. (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/08/zindagi-na-milegi-dobara-poster.jpg) Posted in destinasian : india Tags: Abhay Deol, Ariadna Cabrol, bromance, Farhan Akhtar, hrithik roshan, Kalki Koechlin, Katrina Kaif, movie, Nasseerudin Shah, review, Senorita, Shankar Ehsaan Loy, Zindagi Na Milegi Dobara, Zoya Akhtar

ENTHIRAN, THE ROBOT : WELCOME TO TAMIL’S SCI-FI CINEMA •January 2, 2011 • 3 Comments ENTHIRAN, THE ROBOT Sutradara : S. Shankar Produksi : Sun Pictures, Gemni Film Pictures & Ayngaran Intn’l, 2010 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2011/01/enthiran.jpg) Kollywood, sebutan untuk perfilman Tamil yang notabene adalah film daerah di India, mungkin sudah capek dianggap hanya sebagai produk nomor dua dari perfilman negara itu. Padahal, tak bisa dipungkiri juga, perfilman mereka sudah berjasa besar menyumbang insipirasi dari banyak remake film-film Bollywood yang sukses dan diedarkan sampai ke dunia internasional dari ide-ide cerita yang kebanyakan lebih orisinil dari perfilman nasionalnya. Tak hanya itu, Kollywood juga sudah banyak melahirkan sutradara dan sineas lainnya termasuk komposer AR Rahman, aktor dan aktris mereka untuk jadi besar di Bollywood, serta mencuri tempat di deretan film-film India terlaris. Benturannya mungkin ada pada dayatarik paras aktor dan aktrisnya yang kebanyakan memang tak meng-internasional seperti Bollywood. Di pakem film-film Kollywood zaman dulu, leading man beringasan, bertubuh tambun dan berkumis tebal serta leading lady yang gempal memang begitu membudaya hingga kurang menarik bagi pemirsa luar daerahnya. Satu dari aktor mereka yang diakui sampai ke perfilman nasionalnya, Rajnikanth, yang sebenarnya juga jauh dari kesan tampan, bertubuh tambun dan berkumis tebal namun punya citra sebesar Amitabh Bachchan disana, kini semakin melebarkan sayapnya sampai ke rilis internasional yang ternyata juga cukup sukses hingga ke AS dalam ukuran peredaran film-film India. Dalam banyak filmnya, Rajnikanth memang kerap tampil se-egois mungkin menancapkan citranya sebagai one-man show yang melibas semua unsur lain dengan gayanya yang khas, bahkan ketika seorang Amitabh Bachchan saja sudah mundur dari banyak peranperan utama, aktor ini masih percaya diri di usianya yang memasuki kepala enam di masa rilis Enthiran ini. Selain Kollywood’s attempt untuk gebrakan baru dengan produksi yang memakan biaya terbesar dalam sejarah perfilman India, Enthiran juga bukan proyek asal-asalan. Pengembangan preproduksinya memakan waktu hampir sepuluh tahun dan baru memulai syutingnya di tahun 2008 di bawah banyak tuntutan klaim cerita setelah gonta-ganti sutradara sampai pemeran, dimana Shahrukh Khan dan aktor Tamil terkenal lainnya, Kamal Haasan juga sempat masuk ke daftar aktor. Genrenya juga adalah sebuah terobosan baru tak hanya di perfilman daerah namun juga nasional. Sebuah sci-fi penuh efek spesial yang mengetengahkan tema mendasar sci-fi-sci-fi klasik ala Isaac Asimov (I, Robot) yang berisi pandangan panjang benturan science ke kehidupan manusia dan unsur-unsur relijiusnya. Untuk menghidupkan efek itu, mereka tak tanggung-tanggung menggamit tenaga dari luar Bollywood. Bukan sembarangan, tapi dari tim-nya Stan Winston yang sudah melahirkan Jurassic Park, Terminator, sampai Iron Man. Koreografi laganya pun begitu juga, seorang Yuen Woo-Ping yang memulai karir dari film-film silat Jackie Chan tempo doeloe seperti Drunken Master hingga film-film Jet Li, Donnie Yen dan Kung Fu Hustle, sementara karir internasionalnya sebagai penata laga tercatat di The Matrix, Crouching Tiger, Hidden Dragon hingga Kill Bill. Yuen sebelumnya juga sudah berkolaborasi di sebuah film superhero Bollywood, Krrish. Di Depatemen musikal sebagai tradisi klasik film India, ada komposer A.R. Rahman (Slumdog Millionaire) yang menghadirkan lagu-lagu yang dipoles dengan modern bak menyaksikan klip Lady Gaga, Rihanna atau Katy Perry. Hasil box officenya? Selain mencetak rekor pembukaan terbesar di negaranya, Enthiran yang diedarkan juga dalam versi bahasa nasionalnya dengan judul ‘Robot’ ini juga bertengger di deretan kedua film India terlaris sepanjang masa dibawah 3 Idiots. Peredaran internasionalnya sendiri mencatat rekor film India dengan overseas opening terbesar, dan di AS, menempati posisi 12 dalam opening weekend-nya. Now let’s go on with the plot. Seorang ilmuwan jenius Dr. Vaseegaran/Vasi (Rajnikanth) hampir sampai ke penemuan fenomenalnya ketika berhasil menciptakan sebuah robot android bernama Chitti (diperankan Rajnikanth juga) yang sangat superior, bisa mengerjakan apasaja dari tugas wanita hingga prajurit militer tangguh. Percobaan awal penggunaannya diserahkan Vasi pada sang kekasih, Sana (Aishwarya Rai), seorang calon dokter yang sampai menggunakan jasa Chitti untuk membantunya ujian. Seperti men-scan ekspres, Chitti hanya perlu hitungan detik untuk memindai seisi buku tebal ke dalam memorinya. Dan tak hanya itu, ia juga bisa memasak, membersihkan rumah hingga menghajar penjahat bak seorang superhero. Usaha Vasi kemudian meningkat saat ia memperkenalkan penemuannya ini ke sebuah konferensi dengan niat menggunakan Chitti sebagai serdadu super. Pertentangan utama muncul dari saingan Vasi, professor Bohra (Danny Denzongpa) yang duduk di komite ilmuwan penentu proyek tersebut. Bagi Bohra, hanya ada satu kekurangan, bahwa Chitti tak punya emosi dan perasaan hingga ditakutkan bisa berbalik dengan satu perintah untuk membantai rekan-rekannya sendiri di medan perang. Apalagi sebuah kejadian penyelamatan di gedung terbakar memakan korban seorang gadis muda. Maka Vasi pun memprogram hormon virtual dan otak positronik bagi Chitti untuk tujuan ini tanpa menyadari tujuan jelek Bohra dibaliknya. Konflik-konflik baru pun mulai muncul hingga akhirnya Chitti menjadi saingan Vasi dalam merebut hati Sana karena sudah memiliki emosi. Vasi yang emosi kemudian menghancurkan Chitti, namun Bohra dengan cepat mengumpulkan bangkainya kembali untuk di-reset menjadi prajurit tangguh yang bakal dijual ke sebuah perkumpulan teroris. Sebuah chip destruktif pun diprogram ke tubuh Chitti. Namun Chitti berkembang lebih jauh dari yang diharapkan. Bohra menjadi korban ambisi Chitti yang semakin liar dan memprogram kloning-kloning baru dirinya dengan satu tujuan, merebut Sana dari Vasi. Plot Enthiran sebenarnya tak bisa dikatakan murni orisinil karena berisikan pakem sci-fi klasik ala Isaac Asimov (beberapa dialog sampai lirik lagunya juga menyebut-nyebut Asimov) yang rata-rata berisi pesan paranoia manusia terhadap dominasi mesin dari teknologi yang semakin berkembang, sekaligus juga benturannya dengan kepercayaan relijius. Namun dibanding karyakarya Asimov atau penulis sci-fi lain yang rata-rata bernuansa berat dan segmental bagi penyuka sci-fi tertentu saja, orang-orang di belakang Enthiran mengemasnya dengan balutan popcornish yang berasa sangat kental untuk dimengerti. Seperti perfilman Korea, India memang terkenal jago dalam mencomot bagian plotnya dari sana-sini hingga terlahir sebagai karya baru dengan dramatisasi bombastis namun tak juga meninggalkan detil-detil ilmiah yang penting dalam membangun informasi yang ingin disampaikannya. Karena itulah lantas aspek-aspek yang dituangkan dalam film bermasa putar rata-rata film India konvensional ini terasa jadi semakin lengkap, seperti sebuah adegan dimana Chitti membantu proses melahirkan yang dari sisi medis penuh resiko atas kondisi janin yang terbelit tali pusarnya. Sometimes, these kind of scenes can be ridiculous, but yet there’s an idea yang dalam konteks ilmiahnya pun sulit ditentang ahli medis atas keabsahan teori yang dituangkan ke dalam dialog, dan bukan tak mungkin, ada teknologi ilmiah sama yang bisa saja terwujud di masa depan nanti. Itulah menariknya sebuah film berbasis science selama aspek-aspek pendukungnya dibangun dengan informasi yang benar. Dan Enthiran tak hanya berhenti sampai disana. Akting khas Rajnikanth yang sedikit over dan gila-gilaan itu memang berjasa sekali menambah daya tarik Enthiran secara komikal untuk menyampaikan pesan-pesan bijak tadi melalui sebuah sci-fi popcorn yang ringan buat diikuti. Paling tidak, buat sebagian audiens yang kesal dengan appearance khas dan rambut kembangnya ini bisa menyadari sulitnya Rajnikanth memerankan dua karakter yang berbeda, satunya manusiawi dan satunya robot android tanpa ekspresi itu. Usianya dengan Aishwarya yang terpaut jauh pun tetap bisa menampilkan chemistry yang cukup nyambung. Lepas dari ketakjuban kita menyaksikan heroisme berlebihan dari seorang Chitti yang jauh melebihi superhero, bisa menarik senjata dengan medan magnet dan menderetkannya di dua tangan, mencharge batere ala Crank, mengejar keretaapi kencang dengan dua kaki robotik, which could felt like a total bullshit, separuh bagian terakhirnya, meski masih berada di seputar konsep tadi namun dikembangkan dengan dramatisasi berlebih ke arah politik perang dan cinta-cintaan ala India, di saat yang sama juga bisa menjadi keterlaluan namun juga terus terang, sekaligus sama menariknya. It’s like pushing your brain and boredom untuk menyerap keseluruhan Enthiran, namun set dan sinematografi yang cantik berikut di besutan adegan-adegan musikal karya A.R. Rahman yang hi-tech itu bisa jadi penawar yang jitu. Dan pada akhirnya, saat penuturan yang ridiculously a bit over itu hadir semakin intens lewat pengejawantahan efek spesial luarbiasa gelaran Stan Winston’s team di adegan klimaks, you will soon forgive it all. Bayangkan, ratusan Rajnikanth menyatu membuat sebuah formasi membantai pasukan militer, sebagai robot besar berlarian di jalan raya dan menghantam helikopter kesana kemari sambil memijak hancur mobil-mobil yang lewat, and so on. Meski banyak konsep yang mengingatkan dengan film-film hitech Hollywood di dalam klimaks itu, percayalah, jor-joran efek disana akan membuat Anda berdecak kagum, apalagi saat menyadari yang ada di depan mata sama sekali bukan film Hollywood. However, dengan segala kekurangan dari penyampaian yang sangat bombastis ala ‘film India’ dengan dramatisasi campur aduk itu, Enthiran adalah sebuah terobosan baru sekaligus pencetak rekor dari sinema mereka, and that really, really, deserve higher appreciation. Dan oh ya, saya lupa menyebut satu lagi kelebihan sinema India dalam menampilkan peran ganda dalam satu scene, bukan cuma dua namun bisa lebih, bukan cuma bersanding namun berbaku hantam, sejak film mereka di tahun 60an, that IS really something. Di saat double Jet Li dan double Van Damme kelihatan begitu keteteran dalam The One dan Double Impact, dan double Lindsay Lohan atau ratusan Agent Smith di Parent Trap dan Matrix begitu dibanggabanggakan di slot special features dvd-nya, they really should started seeing these Indian flicks dan belajar dari mereka. (dan) Posted in destinasian : india Tags: aishwarya rai, AR rahman, chitti, danny denzongpa, endhiran, enthiran, enthiran the robot, kollywood, movie reviews, rajnikanth, review, robot, sci-fi, shankar, stan winston, sun pictures, tamil cinema, yuen woo ping

GUZAARISH : A ‘REQUEST’ TO CHERISH YOUR LIFE •December 10, 2010 • Leave a comment GUZAARISH Sutradara : Sanjay Leela Bhansali Produksi : UTV Motion Pictures & SLB Films, 2010 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2010/12/guzaarish.jpg) Devdas. Black. Khamoshi The Musical. Hum Dil De Chuke Sanam. And even box office bomb Saawariya that in beyond has brought you far above the beautiful theatrical atmosphere. Sebut semuanya, dan itu adalah sebuah trademark bagi seorang Sanjay Leela Bhansali, sutradara groundbreaking di perfilman Bollywood yang meracuni penontonnya dengan peningkatan level diatas film-film Bollywood pada umumnya, namun tetap setia menjadikan musik sebagai bagian yang sangat hidup di tiap karyanya, yang rata-rata berbicara tentang sebuah pengharapan dibalik penderitaan in a terms called LIFE. Sanjay yang memulai karirnya sebagai asisten sutradara ternama lainnya, Vidhu Vinod Chopra (yes, Vidhu adalah penghasil 3 Idiots dan 2 sekuel Munna Bhai yang fenomenal itu) kemudian beranjak membangun karirnya sendiri lewat Khamoshi yang meraih banyak penghargaan, pujian kritikus dibalik sebuah premis down to earth yang berbicara lantang dibalik tema bisu tuli-nya, memang adalah sebuah hartakarun bagi perfilman Bollywood, apalagi ketika Devdas berhasil menjadi contender seleksi awal Oscar untuk kategori film asing. Toh tak ada yang menyangka, caci-maki bertubi-tubi di tengah kegagalan box office Saawariya yang sebenarnya juga punya segudang poin bagus secara filmis itu sempat membuatnya galau hingga terciptalah ide untuk film terbarunya ini. Guzaarish (means ‘Request’) adalah sebuah lovestory berisi esensi tentang ke-putus asa-an, namun sekaligus juga harapan besar dibalik isu kontroversial tentang ‘euthanasia’(mercy killing), semacam usaha mengakhiri hidup yang disengaja secara medis untuk tak memperpanjang penderitaan si pasien. Something that sound so Bhansali. Dan atas ambisinya ini, ia menggamit Ronnie Screwvala, CEO dan founder UTV Motion Pictures, seorang taipan pertelevisian India yang masuk ke dalam list 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time 2009 dan juga co-producer The Happening-nya Shyamalan, di kursi produser, serta dua heartthrob Bollywood yang bereuni mengulang chemistry mereka di Jodhaa Akbar, Hrithik Roshan dan Aishwarya Rai Bachchan. Masih kurang cukup? Guzaarish juga menjadi debut Sanjay dalam memulai karirnya sebagai music director, hingga menggunakan dua tembang Internasional legendaris, Smile-nya Charlie Chaplin dan What A Wonderful World Louis Armstrong demi menjelaskan premis itu. Seorang teman lantas bertanya ketika menyaksikan film ini, atas nama-nama karakter yang sounds more hispanic than Indian. Just to make sure ke kritikan yang bakal muncul tak relevan untuk penonton-penonton yang mungkin tak mengenal sejarah India dan seluk-beluk ragam budaya daerah-daerahnya, set Guzaarish memang berlangsung di Goa, sebuah bagian India bekas jajahan Portugis yang menyerap sekali kebudayaan latin itu, tak hanya nama namun juga kostum, tarian, religi hingga musik flamenco yang kental sekali nuansa latinnya. Disinilah Sanjay menggelar kisah tentang Ethan Mascarenhas (Hrithik Roshan), mantan pesulap terkenal yang kini harus melewatkan seluruh harinya berbaring tanpa daya akibat sebuah insiden yang mengakibatkan kelumpuhan total (quadriplegic) bagi dirinya. Untuk melupakan penderitaan itu, Ethan membuka saluran radio bernama Radio Zindagi dimana dirinya sendiri menjadi penyiar yang menampung semua keluhan putus asa dari para pendengarnya sambil menyebarkan harapan akan keajaiban pada mereka. Di sisinya, adalah Sofia D’Souza (Aishwarya Rai) yang setia menemani Ethan sebagai perawat pribadi selama 14 tahun terakhir walau harus mengorbankan kehidupannya sebagai seorang istri lelaki lain. Meski hidup saling menyemangati satu sama lain, Ethan akhirnya sampai pada keputusan untuk sebuah izin pengadilan resmi atas tindakan euthanasia yang didukung oleh sahabat sekaligus pengacaranya, Devyani Dutta (Shernaz Patel), dokter pribadinya, Nayak (Suhel Seth) bahkan sang ibu (Nafisa Ali) dan Sofia sendiri. Penolakan pengadilan kemudian tak membuat mereka menyerah. Dengung permohonan euthanasia inipun disebar lewat radio ke sebuah pengadilan terbuka yang melibatkan banyak orang hingga media, dan kemudian semakin diperumit oleh hadirnya Omar (Aditya Roy Kapoor), ambisius muda yang memaksa Ethan menurunkan ilmu sulap padanya, sekaligus menyimpan rahasia terhadap persaingan masa lalu Ethan dengan rekannya sesama pesulap, Yasser Siddique (Ash Chandler). Dilema antara ke-putus asa-an, pengharapan, hukum kesehatan seputar ideologi abu-abu dunia kedokteran atas tindakan euthanasia sampai sebuah kisah cinta terpendam yang berjalan di jalur melodrama ala India memang digelar Sanjay dengan style penyutradaraan ciri khasnya yang biasa. Muram, mengharu-biru, menyentuh nsamun juga sekaligus membuka mata penontonnya terhadap pesan bijak yang ingin disampaikan Sanjay, namun tak harus jatuh ke komersialisme non-relevan di banyak film India biasanya. Nomor-nomor musikalnya pun tak digelar dengan konvensionalisme Bollywood biasanya namun mengikuti trend yang berkembang demi sebuah penerimaan yang lebih internationally-wide, lebih ke musik-musik latar, stage act, atau bagian dramatisasi yang menyatu dengan adegannya. Score yang sangat mendukung juga ikut mengambil bagian penting di dalamnya (just for a record, sebelum kasus Ekskul yang mencomot musik film Korea,Taegukgi, Indika Entertainment juga kerap menggunakan score salah satu film Sanjay, Black, dalam beberapa film produksi mereka termasuk Detik Terakhir), begitu juga dengan penataan set dan kostum yang selalu jadi momen terbaik Sanjay hampir di tiap film-filmnya. Premis multiplot besutan Sanjay yang juga menulis skenarionya benar-benar dimanfaatkan secara efektif dengan alur maju mundur dan pengenalan karakter yang bertahap untuk membuka satu-persatu benang merah menuju ke penyampaian pesan universal yang jadi tendensinya. Bagi sebagian penonton, gaya Sanjay yang muram dan ‘darkly hurtful’ ini bisajadi terasa lamban dan berpanjang-panjang kesana kemari, namun once you get into his idea of that thing called life, Anda akan bisa menikmatinya dengan intensitas emosi yang sejalan. Ini juga mungkin yang membuat Guzaarish lagi-lagi gagal mencetak box office yang diharapkan atas selera penonton India kebanyakan yang lebih menyukai gegap gempita pakem konvensional Bollywood yang komersil seperti penonton kita, apalagi sebelum perilisannya Guzaarish sudah digempur oleh setumpuk tuntutan mulai dari kelompok relijius penentang Euthanasia, tuduhan plagiat atas sebuah novel dan skenario dari dua pihak terpisah, asosiasi antirokok hingga perseteruannya dengan sineas-sineas lain yang mencemooh lewat media (Salman Khan, salah satunya) termasuk twitter oleh sutradara kacangan Ram Gopal Varma yang ikut memancing kemarahan Sanjay. Diatas semua tadi, kredit terbaik Guzaarish agaknya harus dialamatkan pada chemistry Hrithik-Aishwarya yang memang terbangun sangat erat dengan kedalaman akting masing-masing terhadap karakternya, khususnya Hrithik yang harus masuk ke ambiguitas Ethan atas penderitaan dan keinginannya berharap dibalik sesosok tubuh lumpuh total itu. Gestur dan gerakan tubuh Hrithik yang memang dikenal kelewat luwes bak seekor ular ketika memainkan adegan-adegan tari (termasuk salah satu style ballet klasik yang dikombinasikan dengan tari tradisional India disini) mungkin membuatnya tak begitu sulit memerankan Ethan secara meyakinkan bak sebuah pertunjukan pantomim panggung. Aditya Ray Kapoor, aktor muda pemeran Omar juga mampu mencuri perhatian di tengah-tengah kekuatan keduanya hingga banyak disebut-sebut bakal jadi the next big thing di industri film mereka, apalagi sebuah film lainnya dengan Aishwarya juga tampil dalam waktu dekat. So overall, seperti beberapa film Sanjay lainnya, Guzaarish bisajadi agak sedikit segmental buat bisa membuat penonton ikut terhanyut bersama permainan emosional yang digelarnya, baik sewaktu dieksekusi dengan ending happy or sad, tetap ada atmosfer muram yang mengandung kepahitan di dalamnya. Just like reality. Either you like it or not, namun inilah seorang Sanjay Leela Bhansali dengan karya-karyanya yang penuh dengan pesan pengharapan. Yet for myself, Guzaarish has worked very well deliver us falling in love all over again with that thing called life. Each and our own. (dan) Posted in destinasian : india Tags: aditya ray kapoor, aishwarya rai, guzaarish, hrithik roshan, review, sanjay leela bhansali Dan At The Movies

Create a free website or blog at WordPress.com.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.