Gatestone Institute - Bahasa Indonesia [PDF]

Negara-negara Barat terlampau ramah terhadap pejihad dan kaum Islam radikal. Di Timur Tengah, ada konsekwensi mengerikan

5 downloads 21 Views 2MB Size

Recommend Stories


pdf (Bahasa Indonesia)
Life isn't about getting and having, it's about giving and being. Kevin Kruse

pdf (Bahasa Indonesia)
Don't ruin a good today by thinking about a bad yesterday. Let it go. Anonymous

PDF (Bahasa Indonesia)
The only limits you see are the ones you impose on yourself. Dr. Wayne Dyer

PDF (Bahasa Indonesia)
The beauty of a living thing is not the atoms that go into it, but the way those atoms are put together.

PDF (Bahasa Indonesia)
When you do things from your soul, you feel a river moving in you, a joy. Rumi

PDF (Bahasa Indonesia)
Learning never exhausts the mind. Leonardo da Vinci

PDF (Bahasa Indonesia)
You miss 100% of the shots you don’t take. Wayne Gretzky

PDF (Bahasa Indonesia)
Nothing in nature is unbeautiful. Alfred, Lord Tennyson

pdf (Bahasa Indonesia)
If you are irritated by every rub, how will your mirror be polished? Rumi

pdf (Bahasa Indonesia)
Don't ruin a good today by thinking about a bad yesterday. Let it go. Anonymous

Idea Transcript


Analisa dan Komentar Terbaru

Iran Kirim Lebih Banyak Orang ke Tiang Gantungan oleh Denis MacEoin • 24 Januari 2018

Pihak berwenang pengadilan "terus menjatuhkan dan menjalankan hukuman kejam yang tidak manusiawi atau yang menjatuhkan martabat manusia yang mengarah kepada penyiksaan, termasuk pencambukan, pencungkilan mata sampai buta dan amputasi. Semua hukuman itu kerapkali dijalankan di depan umum." Sedikitnya ada seorang wanita, Fariba Khaleghi namanya, tetap terancam hukuman rajam dengan batu. ---Amnesty International. Yang lebih parah lagi, mayoritas orang yang dijatuhi hukuman mati tidak pernah melakukan kejahatan yang bisa dihukum secara kejam (atau dihukum juga) seperti itu nyaris di mana pun di dunia ini, sedikitnya di seluruh Eropa, Israel atau 23 negara (dan Distrik Columbia) di Amerika Serikat. Bahkan sebelum pengadilan berlangsung pun, orang-orang yang dituduh anti-terhadap prinsip negara diperlakukan secara tidak adil, disiksa dan ditahan dalam tahanan terpisah selama berbulan-bulan tanpa akhir. Akses mereka terhadap keluarga dan pengacara pun ditolak.'Pengakuan' tersangka diperoleh dengan cara penyiksaan tahanan dipergunakan sebagai bukti di pengadilan. Para hakim kerapkali tidak memberikan keputusan yang masuk akal. Pengadilan pun tidak membuat keputusan pengadilan sehingga didapatkan oleh publik." ---Amnesty International. Sedangkan para mullahs tidak membolehkan ada kritik dari kalangan manapun dan berniat mempertahankan Iran serta masyarakatnya dalam genggaman besi mereka selamanya, bahkan jika itu berarti mematikan setiap suara pembangkangan.

Penjara Evin yang terkenal karena namanya yang buruk di Teheran, Iran. (Sumber gambar: Ehsan Iran/Wikimedia Commons)

Penghujung Desember 2017. Nyaris tidak pernah terjadi sebelumnya, ada sesuatu melanda berbagai kota di seluruh penjuru Iran. Berawal dari kota suci terbesar Mashad, aksi bergerak ke Kermansah, yang belum lama ini menderita serangan gempa bumi besar tempat sekitar 600 orang tewas dan para penyintasnya diabaikan oleh negara. Setelah itu, demonstrasi berskala besar bergerak ke Sari dan Rash di utara kota ulama Qom, kemudian Hamadan dan setelah 29 Desember, protes pun melanda Teheran sendiri. Pada hari-hari selanjutnya, orang pun turun ke jalan di seluruh penjuru negeri. Sejak hari ketiga aksi, para pemrotes pun ditentang oleh munculnya banyak pendemo pro-pemerintah. Protes anti-pemerintah, tidak pernah terlihat dalam jumlah sebesar ini semenjak berbagai kerusuhan ditanggulangi secara keras menyusul Pemilu presiden 2009. Setelah 2 Januari 2018, sedikitnya 20 pengunjukrasa sudah dibunuh dan lebih dari 450 orang lainnya ditangkap. Pada hari yang sama dilaporkan bahwa Ketua Mahkamah Agung Iran, Mousa Ghazanfarabadi mengklaim bahwa para pengunjukrasa mungkin dianggap "musuh Allah" sehingga perlu dihukum mati. Lanjutkan Baca Artikel

Poros Sikap Wajar vs Poros Perlawanan di Timur Tengah oleh Najat AlSaied • 4 Januari 2018

"Kita berusaha kembali kepada Islam yang biasa kita jalankan...Islam moderat." Pangeran Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman pada Inisiatif Penanaman Modal Masa Depan (Future Investment Initiative) di Riyadh, 26 Oktober 2017. Keluhannya soal campur tangan Iran serta penyebaran ekstremisme yang dilakukannya tidak bisa terdengar dapat dipercaya jika ekstremisme itu sendiri dipraktekkan di dalam negerinya sendiri. Karena itu, mendesak perlunya sikap Amerika yang bersatu menghadapi Poros Perlawanan. Iran terus saja menjadi penyandang dana terorisme kenamaan dunia sambil memberdayakan milisi-milisi bersenjata serta kelompok-kelompok ekstremis ini --- basis terorisme di kawasan dan di seluruh penjuru dunia. Negara itu membuat ancaman mati dan bekerja sama dengan Korea Utara yang sudah punya senjata nuklir dan pada saat yang sama berlomba-lomba supaya bisa memiliki kemampuan senjata nuklir.

(Sumber foto: White House)

Percecokan antara negara-negara Arab, yang kerapkali dikenal sebagai Poros Wajar dan rejim teroris yang resmi ditetapkan di Iran kerap dikenal sebagai Poros Perlawanan, tidak lagi sekedar perbedaan pendapat dalam bidang politik tetapi juga ancaman terhadap keamanan nasional negara-negara Arab. Lanjutkan Baca Artikel

Yerusalem, Ibukota Israel: Saksikan Topeng Berjatuhan oleh Najat AlSaied • 2 Januari 2018

Ketika pengumuman sebenarnya dilakukan---aksi tersebut tidak terjadi. Berbagai kalangan yang mengeksploitasi berbagai hal peka berkaitan dengan Yerusalem--- khususnya kaum radikal Islam yang terjun dalam dunia politik (political Islamists) seperti Hamas dan Hizbullah—muncul terutama dari poros perlawanan pimpinan Iran. Ketika media arus utama masih memperlihatkan penindasnya adalah Israel dan yang tertindas adalah warga Palestina, berbagai polling justru mengisahkan kisah yang berbeda. Departemen Luar Negeri AS tidak kurang salahnya dibanding media arus utama karena gagal memainkan peran vital yang lebih jauh untuk mengungkapkan berbagai kenyataan inisehingga mampu meredakan kemarahan dan kebencian yang dirasakan terhadap AS. Departemen ini perlu direformasi dari atas hingga bawah sehingga bisa menjamin bahwa semua diplomatnya benar-benar bekerja demi kepentingan AS. Saya yakin departemen itu sendirilah yang bakal paling enggan untuk memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem adalah keputusan terbaik yang dibuat oleh Presiden Amerika karena ia jelas memperlihatkan busuknya kenyataan.

Gedung Harry S Truman Building di Washington, DC, Kantor Pusat Departemen Luar Negeri AS (Sumber foto: Loren/Wikimedia Commons)

Banyak analis politik mengatakan bahwa pengakuan Presiden AS Donald Trump atas Ibukota Israel merupakan janji kampanyenya kepada pemilih Kristen evanggelis serta kaum sayap kanan Yahudi. Meski demikian, ada cara lain untuk menilai persoalan ini. Pengakuan Trump mungkin saja menjadi peluang emas bagi para oportunis bermuka dua supaya melepaskan topeng mereka --sepenggal kenyataan yang mungkin akhirnya membantu proses perdamaian sekaligus menyelesaikan konflik jangka panjang ini. Lanjutkan Baca Artikel

Tanggapan Nyata Palestina Terhadap Pidato Trump tentang Yerusalem oleh Bassam Tawil • 31 Desember 2017

Dengan menyampaikan "upacara" pembakaran poster yang tidak benar sebagai refleksi dari luas tersebarnya kemarahan warga Palestina terhadap kebijakan Trump atas Yerusalem, media internasional sekali lagi tunduk pada upaya untuk mempromosikan propaganda para juru kampanye hitam Palestina. Wartawan, termasuk fotografer dan jurukamera pun sudah diberi jadwal rinci kejadian yang bakal terjadi di berbagai tempat di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tatkala kita duduk di ruang keluarga sambil menonton berita yang keluar dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, mari kita bertanya diri: Berapa banyak "peristiwa" ini, sebetulnya adalah, olok-olok sandiwara media? Mengapa para wartawan membiarkan diri ditipu oleh mesin propaganda Palestina yang meludahkan kebencian dan kekerasan dari pagi hingga malam? Sudah saatnya media melakukan sejumlah refleksi: Apakah mereka benar-benar mendambakan diri untuk terus melayani sebagai jurubicara atau corong bagi orang-orang Arab dan Muslim yang mengintimidasi sekaligus menteror Barat? "Sungai darah" yang dijanjikan kepada kami mengalir ketika kami berbicara. Namun, justru pisau yang Bangsa Arab dan kaum Muslim tikamkan ke kerongkongan satu sama yang menjadi sumber aliran merah tua itu, bukan sejumlah pernyataan yang dibuat oleh Presiden AS. Barangkali itulah akhirnya peristiwa yang pantas diliput oleh para wartawan yang menjelajahi kawasan?

Segelintir warga Palestina di Betlehem yang difilmkan tengah membakar foto-foto Presiden AS Donald Trump, 6 Desember dibuat oleh media supaya terlihat seolaholah mereka merupakan bagian dari protes massa yang tengah melanda komunitas-komunitas Palestina. (Sumber foto: CBS News video screenshot)

Sebelum mengumumkan, Presiden AS Donald Trump menelepon Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas. Ia memberi tahu pemimpin Palestina itu niatnya memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv menuju Yerusalem. Ternyata, tiga jam segera setelah pembicaraan telepon terjadi, sejumlah wartawan foto Palestina mendapatkan telepon dari Betlehem. Penelepon adalah "para aktivis" Palestina. Mereka menelepon mengundang para fotografer untuk datang ke kota supaya bisa mendokumentasikan "peristiwa penting." Tatkala para fotografer itu tiba, mereka menemukan bahwa "peristiwa penting" itu adalah segelintir "aktivis" Palestina yang ingin membakar berbagai poster Trump di depan kamera. Lanjutkan Baca Artikel

Umat Kristen "Dipotong Seperti Ayam" oleh Raymond Ibrahim • 25 Desember 2017

"UU [Pencemaran Agama] yang kejam mengerikan ini digunakan sebagai sarana diskriminasi dan pemurtadan paksa setiap hari dan dunia tetap diam membisu. Anak lelaki malang itu kini menghadapi kasus pengadilan yang paling menakutkan dan sebagian besar hidupnya bakal hilang di penjara..."— Wilson Chowdhry, Ketua British Pakistani Christian Association (Asosiasi Kristen Inggris-Pakistan). Pakistan. Pastor gereja itu, Amos Lukanula mengatakan "Kami tidak bisa membiarkan umat Muslim membangun masjid di tempat gereja itu." Jemaat gereja pertama-tama membeli lahan itu pada 2004. Ketika mereka mendirikan gereja sementara, umat Muslim merobohkannya. Bangunan lain yang sudah dibangun jemaat selama tiga tahun sekali lagi dirobohkan oleh Muslim kawasan itu pada 2007. Sesudah tahun 2009, ketika kaum Muslim tidak bisa lagi merobohkan bangunan gereja ketiga yang sudah sebagian dibangun---dibuat dengan batu dan tidak mudah dirobohkan--- mereka lalu mengajukan gugatan hukum (legal complaint) yang menyebabkan pengadilan memerintahkan pengangunan gedung gereja dihentikan sampai perdebatan hukum terselesaikan. Kasus pengadilan itu berlarut-larut selama delapan tahun.---Tanzania. Seorang pria Muslim meperkosa seorang gadis kecil Kristen berusia tiga tahun sehingga membuatnya terluka selamanya. "Anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun, Daud menjaga saudarinya yang lebih muda. Ketika itu, seorang laki-laki Muslim teman Altaf bernama Muhammad Abbas mampir di rumahnya. Laki-laki itu lalu menyuruh Daud membeli rokok dari sebuah pasar terdekat. Ketika Daud pulang dari sebuah toko, Abbas menyuruh dia menunggu di luar rumah sementara dia memperkosa saudarinya. Abbas akhirnya bisa membuka pintu untuk Daud, menyalakan rokoknya lalu pergi begitu saja. Ketika Daud masuk ke dalam rumahnya, dia menemukan saudarinya telanjang dan berlepotan darah. Dia pun menjerit." Polisi awalnya menolak untuk meneliti kasus pemerkosaan itu hingga anggota dewan perwakilan rakyat setempat semakin keras menekan pihak yang berwenang.--Pakistan. "Umat Kristen yang menolak meninggalkan agama mereka dipenjarakan tanpa batas waktu dan tanpa disidangkan. Ada 173 tahanan jangka panjang karena iman mereka tetap tinggal di balik jeruji besi dalam kondisi yang mengerikan. Mereka mencakup banyak pemimpin gereja."--- Pendeta Dr. Berhane Asmelash, Eritrea.

Luc Ravel, Uskup Agung Strasbourg, baru-baru ini melancarkan kritik. Ia mengkritik soal "pergeseran demograifs di Prancis. Muslims, katanya, punya jauh lebih banyak anak dibandingkan orang Prancis pribumi." (Sumber foto: Peter Potrowl/Wikimedia Commons)

Luc Ravel, Uskup Agung Strasbourg menentang persekutuan pemimpin gereja Prancis. Menurut dia, sebagian besar pemimpin gereja masih berpikir benar secara politik sehingga menerima begitu saja apa terjadi di tengah masyarakat demi menjaga harmoni," demikian ungkap sebuah laporan. Pertentangan pendapat mengemuka karena Luc Ravel mengkritik "pergeseran demografis di Prancis. Kaum Muslim, urainya, punya lebih banyak anak dibanding warga pribumi Prancis. Dan karena itu, dia mengecam 'promosi aborsi' yang luas mewabah." "Orang-orang Muslim," dia lanjutkan, "sangat paham bahwa angka kelahiran di kalangan mereka memang demikian sekarang ini. Karena itu, mereka menyebutnya...Pergantian Penduduk Besar-Besaran. Dan mereka mengatakan itu kepadamu dengan cara yang sangat tenang dan sangat positif sehingga, 'suatu hari, itu semua menjadi milik kami." Lanjutkan Baca Artikel

Mengapa Tak Ada Damai di Timur Tengah oleh Philip Carl Salzman • 5 Desember 2017

Damai tidak mungkin terjadi di Timur Tengah. Penyebabnya, karena nilai dan tujuan lain selain perdamaian itu jauh lebih penting bagi masyarakat di sana. Yang terpenting bagi warga Timur Tengah adalah kesetiaan kepada sanak famili, klan serta kultus serta kehormatan yang dimenangkan dengan cara tetap setia seperti itu. Kehormatan diperoleh berkat kemenangan. Kalah dianggap sangat memalukan. Hanya prospek atau kemungkinan adanya kemenangan pada masa datang untuk memperoleh kehormatan mendorong orang untuk maju. Contohnya adalah konflik ArabIsrael. Pada masa konflik, masyarakat Yahudi yang dianggap hina-dina berkali-kali mengalahkan angkatan bersenjata negaranegara Arab. Bagi bangsa Arab, kalah perang bukan soal malapetaka (kehilangan) materi. Itu persoalan budaya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kehormatan itu adalah dengan mengalahkan serta menghancurkan Israel, yang jelas-jelas menjadi tujuan bangsa Palestina: "dari sungai [Yordan] hingga laut [Mediterania]." Ini menyebabkan tidak ada perjanjian seputar tanah atau batas negara mendatangkan perdamaian; karena bagaimanapun, perdamaian tidak memulihkan kehormatan.

Gambar: Para laki-laki Bedui di Abu Dhabi. (Foto oleh Dan Kitwood/Getty Images)

Hidup sebagai seorang antropolog di sebuah kawasan penggembalaan Suku Yarahmadzai, suku penggembala ternak nomaden di gurun-gurun kawasan Balukistan Iran, membantu menjelaskan sejumlah hambatan terhadap perdamaian di Timur Tengah. Terlepas dari persoalan besar atau kecilnya, yang orang lihat di sana adalah upaya untuk menjaga kesetiaan dan solidaritas kelompok berbasiskan ikatan darah yang kuat serta garis silsilah oposisi politik. [1] Kenyataan ini memunculkan persoalan bagaimana persatuan dan perdamaian bisa menjadi sebuah sistem yang berbasiskan perlawanan? Lanjutkan Baca Artikel

Kebohongan Besar Timur Tenga oleh Bassam Tawil • 29 Nopember 2017

Jamal ingin membunuh orang Yahudi karena yakin itulah perbuatan mulia. Perbuatan yang membuatnya memperoleh status syahid, martir dan pahlawan di antara anggota keluarga, sahabat serta masyarakatnya. Dalam budaya Palestina khususnya dan budaya Arab umumnya, para pembunuh orang Yahudi dimuliakan setiap hari. Pemerintahan Trump serta Jason Greenblatt tampaknya disuguhi dengan kebohongan bahwa "Ini soal uang, bodoh." Bukan. Konflik itu soal sikap eksistensi Israel di Timur Tengah. Soal kepentingan dunia Arab dan Islam yang tak kunjung padam untuk menghancurkan Israel serta membunuh warga Yahudi.

Kiri: Nimer Mahmoud Jamal. Kanan: Har Adar. (Sumber foto: Social media, Josh Evnin/Wikimedia Commons)

Nimer Mahmoud Jamal, teroris Palestina berusia 37 tahun membunuh tiga warga Israel di jalan masuk menuju Har Adar dekat Yerusalem, 25 September 2017 lalu. Padahal, dia punya surat ijin dari pihak berwenang Israel untuk bekerja di Israel. Pihak keluarga dan para sahabatnya mengatakan Jamal punya kehidupan yang baik. Dia malah dianggap beruntung karena warga Yahudi mempekerjakannya. Dia mendapat gaji besar serta dilindungi oleh hukum tenaga kerja Israel. Pada malam sebelum merancangkan misi kejamnya, dia menghabiskan waktu beberapa jam di pusat kebugaran desanya, yang terletak hanya beberapa mil jauhnya dari Har Adar. Lanjutkan Baca Artikel

Bagaimana Wanita Diperlakukan oleh Islam oleh Denis MacEoin • 22 Nopember 2017

Memang, jika kita baca daftar 265 keputusan atas geng dan pelaku grooming di Kerajaan Inggris antara Nopember 1997 dan Januari 2017 (dan jika kita tambahkan 18 kasus lain dari geng yang beraksi Newcastle baru-baru ini), maka kita mencatat bahwa lebih dari 99% adalah laki-laki Muslim, terutama anak-anak muda berusia 20-an hingga 30-an tahun. Bagaimanapun, itu tidak sekedar soal wanita kulit putih (itu kaum non-Mulim) yang pria muslim yakini begitu hina dina. Perlakuan kejam dimulai di rumah dalam negara-negara Islam, dalam perlakuan terhadap wanita Muslim. Akarnya terletak dalam aspek hukum dan doktrin Islam yang bertahan dalam abad ke-21, meski dirumuskan pada abad ketujuh dan abad-abad sesudahnya. Pemikiran bahwa laki-laki tidak bertanggung jawab terhadap perkosaan atau serangan seksual lain dan bahwa wanita pantas dikecam atas kejahatan seperti ini bergerak jauh sehingga membantu menjelaskan mengapa laki-laki Muslim di Inggris dan tempat lain mungkin merasa dibenarkan ketika memanipulasi potensi seksual kemudian secara seksual menyalahgunakan para wanita muda dan gadis yang tidak terlalu tertutup rapat pakaiannya secara seksual.

Para wanita memakai burka di Pakistan (Foto oleh Paula Bronstein/Getty Images).

Newcastle upon Tyne adalah kota kecil di kawasan Timur Laut (North East) Inggris. Pada tahun 1917, kota itu dinyatakan sebagai kota terbaik di Kerajaan Inggris untuk membesarkan anak (London kota paling parah). Bayangkan, betapa terkejutnya orang ketika kota itu lagi-lagi menjadi berita nasional pada 9 Agustus lalu. Yaitu, ketika sebuah pengadilan di Crown berakhir dengan menjatuhkan hukuman terhadap 18 orang karena memanipulasi potensi seksual anak (sexual grooming of children). Para juri "menemukan para laki-laki itu bersalah dengan daftar hampir 100 kasus serangan seksual--- termasuk perkosaan, penjualan manusia, konspirasi untuk menghasut terjadinya pelacuran serta pasokan narkoba---antara tahun 2011 dan 2014" Dari 18 orang, ada satu orang wanita Inggris. Sisanya, laki-laki berlatar belakang Pakistan, Bangladesh, India, Irak, Turki dan Iran. Semuanya dengan nama-nama Muslim. Lanjutkan Baca Artikel

Islam dan Feminisme oleh Maryam Assaf • 13 Nopember 2017

Meski tidak dinyatakan secara tegas, laki-laki Muslim, dengan cara ini, mengecam wanita karena kebutuhan seksual mereka, ketika memaksa mereka memakai hijab dan niqab. Dengan memakai hijab dan niqab, mereka tidak bisa lagi menggoda laki-laki dengan tubuh mereka atau membangkitkan nafsu seksual laki-laki. (Photo oleh Peter Macdiarmid/Getty Images)

Akhir-akhir ini, kaum "feminis" Muslim Barat seperti Linda Sarsour atau Yasmin Abdel-Magied mengklaim bahwa Islam merupakan "agama kaum feminis" yang menghormati hak-hak wanita. "Islam bagi saya," kata Abdel-Magied, seorang pengarang Australia kelahiran Sudan, "adalah agama paling feminis." Dengan mengklaim bahwa Islam itu "feminis," para penganjur yang menunjuk diri sendiri itu tampaknya berupaya meyakinkan orang lain bahwa Islam selaras dengan modernisasi, hak asasi manusia serta nilai-nilai demokratis. Sedihnya, klam itu bohong, yang sayangnya diberitahukan untuk memudahkan terjadi asimilasi Islam ke dalam negara-negara Barat sekaligus untuk memperbaiki citra diri. Lanjutkan Baca Artikel

"Hidup Kami Berubah Jadi Neraka" Penyiksaan umat Kristen oleh kaum Muslim, Mei 2017 oleh Raymond Ibrahim • 5 Nopember 2017

Indonesia kini pun bergabung masuk dalam negara-negara Muslim lain yang menindas. Peristiwa itu terjadi Mei lalu ketika negeri itu menjatuhkan hukuman atas Gubernur Jakarta yang beragama Kristen, yang dikenal dengan nama "Ahok" dengan hukuman dua tahun penjara. Dia dituntut dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap Islam (blasphemy against Islam). Gambar: Ahok pada hari pemilihannya, 15 Februari, 2017. (Foto oleh Oscar Siagian/Getty Images)

Sebulan setelah kaum militan Islam melancarkan serangan bom terhadap dua gereja Mesir selama Minggu Palma, April 2017 yang menewaskan hampir 50 orang pada April 2017, sebuah tragedi lain pun meledak. Tepatnya, 26 Mei 2017. Tragedi berdarah itu terjadi ketika beberapa mobil pada 26 Mei 2017 menghentikan dua bus yang mengangkut puluhan umat Kristen yang bepergian menuju Biara Koptik kuno St. Samuel Sang Pembela di sebuah gurun di selatan Kairo, Menurut berbagai laporan awal, kira-kira 10 militan Islam bersenjata lengkap dan berpakaian militer, "menuntut supaya para penumpang melantunkan "syahadat iman Muslim" yang identik dengan beralih memeluk agama Islam. Tatkala mereka menolak, para pejihad itu menembak mereka. Aksi biadab itu menewaskan 29 umat Kristen, sedikitnya 10 dari mereka adalah anak-anak. Dua gadis kecil masih berusia 2 dan 4 tahun. Juga tewas terbunuh dalam insiden itu adalah Mohsen Morkous, seorang warga Amerika yang dilukiskan sebagai "seorang pria sederhana" yang "dicintai semua orang," dua anaknya berikut dua cucunya Lanjutkan Baca Artikel

Makin Banyak Pejihad di Barat -- Mengapa oleh Majid Rafizadeh • 29 Oktober 2017

Negara-negara Barat terlampau ramah terhadap pejihad dan kaum Islam radikal. Di Timur Tengah, ada konsekwensi mengerikan mereka terima jika mengkotbahkan hal-hal yang bertentangan dengan sistem politik dalam negeri mereka. Mereka dibiarkan bertumbuhkembang hanya jika mereka mengajarkan sikap antagonisme, sikap yang bermusuhan terhadap Barat, Kekristenan, Yudaisme serta nilai-nilai Barat. Di Iran, tatkala partai Islam radikal pimpinan Ayatollah Khomeini naik ke puncak kekuasaan, dia tidak merangkul semua kaum Islam radikal dan kelompok pejihad lainnya. Ia hanya mendukung dan mempromosikan kelompok-kelompok pejihad yang setuju memusatkan perhatian untuk mempromosikan dua isu penting: anti-Amerikanisme serta anti-Semitisme. Kelompok Islam radikal lain, yang berubah menentang rejim itu sendiri langsung diberantas dari masyarakat walau mereka menjalankan Islam radikal versi Khomeini. Persoalannya menjadi, Di manakah anda menarik garisnya? Ketika seorang imam radikal di AS atau Eropa memancing sikap anti-Semit dan anti-Amerika serta kebencian anti-Barat di depan publik, haruskah mereka dibiarkan untuk terus melanjutkannya? Ketika banyak pusat Muslim radikal di Barat mendakwakan jihad dan terorisme, haruskah anda membiarkan mereka menikmati kebebasan berbicara dan berkumpul? Kotbah menjadi faktor penting di balik semakin meningkatnya terorisme yang kita hadapi akhir-akhir ini berkembang di seluruh Barat. Pidato kebencian penuh hasutan dengan aksi kejam inilah yang merenggut nyawa banyak orang lugu. Jika kita biarkan mereka terus saja melanjutkannya, kecenderungan keji mereka hanya bakal bergerak liar secara eksponensial.

Sayyid Qutb, seorang anggota Persaudaraan Muslim Mesir era 1950-an dan 60-an yang menjadi inspirasi bagi Al-Qaeda serta ISIS menuliskan sebuah buku penuh hasutan, The America that I Have Seen (Amerika yang Pernah Saya Lihat) setelah dia datang ke AS. Dia belajar di Perguruan Tinggi Negeri Colorado untuk Bidang Pendidikan di Greeley, di antara berbagai sekolah Amerika (Sumber foto Greeley: Bbean32/Wikimedia Commons).

Tumbuh besar dalam suasana yang menerapkan hukum Sharia dan sekolah yang dikelola oleh kaum Islam radikal, kami diajarkan bahwa tingkat tertinggi yang dapat seseorang capai adalah menjadi mujahid. Mujahid adalah orang yang benar-benar Allah kasihi. Suatu ketika, saya pun memberanikan diri bertanya, apa persisnya arti istilah mujahid. Sang imam mengatakan bahwa mujahid sejati adalah orang yang tidak sekedar mati secara defensif guna melindungi nilai-nilai Allah. Mujahid sejati, adalah orang yang paling dikasihi Allah, adalah orang bertindak ofensif, termasuk lewat aksi kekerasan, ketika dia melihat nilai-nilai agama kita dilanggar di bagian manapun di dunia. Orang itulah pejuang suci sejati, urainya. Lanjutkan Baca Artikel

Eropa: Pejihad Eksploitasi Tunjangan Kesejahteraan oleh Soeren Kern • 16 Oktober 2017

Ketika berbicara tentang upaya untuk mengambil uang dari pembayar pajak Swiss, Ramadan, seorang anggota Salafi kenamaan, menyerukan supaya hukum Shariah diterapkan di Swiss. Ia mendesak kaum Muslim supaya menghindari diri untuk tidak berintegrasi dalam masyarakat Swiss. Juga dikatakannya bahwa umat Muslim yang melakukan kejahatan di negeri itu tidak boleh tunduk kepada hukum Swiss. "Skandal ini begitu luar biasa sehingga sulit dipercaya. Para imam yang mengkotbahkan kebencian terhadap umat Kristen dan Yahudi, yang mengecam kemerosotan Barat, malah diberi suaka dan hidup nyaman sebagai pengungsi dengan uang tunjangan sosial. Semua ini akibat sikap pengecut sekaligus tidak kompeten otoritas yang memberikan carte blanche atau kekuasaan penuh kepada para asisten suaka serta sistem kesejahteraan sosial yang suka berpuas diri dan naïf."---- Adrian Amstutz, anggota parlemen Swiss. Para pejabat kota Lund, meski demikian, masih tak terbendung: Mereka meluncurkan sebuah pilot project yang bermaksud memberikan perumahan, pekerjaan, pendidikan serta dukungan finansial lainnya kepada para pejihad yang kembali dari Suriah--dan semuanya itu berkat para pembayar pajak Swedia.

Anjem Choudary, seorang Islam radikal Inggris yang tengah menjalani hukuman karena mendorong masyarakat untuk mendukung ISIS yakin bahwa kaum Muslim berhak memperoleh tunjangan kesejahteraan. Karena tunjangan itu, menurut dia, merupakan sebentuk jizya atau pajak yang ditetapkan bagi kaum non-Muslim sebagai peringatan bahwa mereka tetap lebih rendah, inferior dan karena itu tunduk patuh kepada kaum Muslim. Dia, karena itu mendapatkan hampir £500,000 ($640,000 atau sekitar Rp 8,6 miliar) dalam bentuk tunjangan, yang diartikannya sebagai "uang saku bagi pencari pejihad." (Photo by Oli Scarff/Getty Images)

Seorang imam Libya yang memohon kepada Allah supaya "menghancurkan" semua kaum non-Muslim justru menerima tunjangan kesejahteraan bernilai lebih dari $600.000 dari Pemerintah Swiss, demikian laporan lembaga penyiar Swiss SRF. Abu Ramadan tiba di Swiss pada 1998. Kepadanya diberikan suaka pada 2004 menyusul pengakuannya bahwa Pemerintah Libya menganiayanya karena afiliasinya dengan Ikhwanul Muslimin. Semenjak itulah, menurut SRF, Ramadan memperoleh tunjangan kesejahteraan sosial 600.000 Franc Swiss atau sekitar Rp. 8,3 miliar. Walau berdiam di Swiss nyaris selama 20 tahun, Ramadan sedikitpun tidak bisa berbahasa Prancis atau Jerman. Tidak pernah pula dia mendapatkan satu pekerjaan tetap. Pria berusia 64 tahun itu, dengan demikian, akan segera berhak mendapatkan pensiun dari negara. Lanjutkan Baca Artikel

Musuh Palestina yang Sebenarnya oleh Bassam Tawil • 12 Oktober 2017

Kesepakatan tidak merujuk kepada pengendalian keamanan yang Hamas lakukan atas Jalur Gaza. Ini berarti Hamas dan sayap bersenjatanya, Ezaddin Al-Qassam, tetap menjadi "penegak hukum" utama di Jalur Gaza. Ide bahwa Hamas bakal mengijinkan pasukan keamanan Abbas untuk kembali ke Jalur Gaza, dengan demikian, murni ilusi. Kesepakatan tidak menyebutkan agenda politik dan ideologi Hamas. Kesepakatan juga tidak mempersyarakatkan Hamas meninggalkan piagam pendirian organisasinya yang menyerukan supaya Israel dibasmi. Juga tidak mempersyaratkan Hamas untuk meletakan senjatanya sekaligus menerima hak Israel untuk hidup. Kesepakatan justru membebaskan Hamas dari tanggung jawab keuangannya terhadap konstituennya di Jalur Gaza. Dengan PA kembali memberikan dana kepada warga Palestina di Jalur Gaza, Hamas dimungkinkan untuk mengarahkan kembali sumberdaya dan energinya untuk membangun kemampuan militernya untuk mempersiapkan perang melawan Israel. Hamas tidak lagi harus mengkhawatirkan soal gaji dan pasokan listrik serta obat-obatan bagi warga Palestina di Jalur Gaza karena Abbas akan menanganinya. Kesepakatan memudahkan upaya Hamas memperhitungkan diri sebagai pemain sah dalam arena Palestina sekaligus meraih pengakuan dan simpati internasional. Hamas kini sudah bisa memasarkan diri sebagai mitra sah dalam Pemerintahan PA pimpinan Abbas yang didanai oleh Barat.

Foto: Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas sedang berbincang-bincang dengan Pemimpin Hamas kala itu, Ismail Haniyeh, 5 April 2007 di Jalur Gaza. Sejak 2007, Hamas dan Otoritas Palestina mengumumkan sedikitnya empat perjanjian "rekonsiliasi" guna mengakhiri persaingan antarmereka. (Foto oleh Mohamad Alostaz/PPM via Getty Images).

Sejak 2007, Hamas dan Otoritas Palestina (PA) mengumumkan sedikitnya empat "kesepakatan rekonsiliasi" guna mengakhir persaingan antarmereka. Kesepakatan itu dimulai satu tahun lebih awal ketika Hamas memenangkan Pemilu legislatif Palestina. Pekan ini, di bawah perlindungan pihak berwenang Mesir, kedua partai Palestina yang saling bersaing itu kembali mengumumkan kesepakatan lain guna menyatukan perbedaan antarmereka guna mencapai "persatuan nasional." Lanjutkan Baca Artikel

Kaum Islam Radikal Bertanggung Jawab dalam Krisis Pengungsi Rohingya oleh Mohshin Habib • 9 Oktober 2017

Krisis terakhir ini tengah digambarkan---secara salah---sebagai "pembersihan etnis" terhadap minoritas Muslim lugu yang tidak berdosa oleh pasukan keamanan Burma. Juga digambarkan sebagai "sikap apatis" terhadap penderitaan warga Rohingya oleh Aung San Suu Kyi, Menteri Luar Negeri Burma dan defakto kepala negaranya. Taktik mereka [Bangsa Rohingya] adalah terorisme. Tidak ada soal tentang itu. [Kyi] tidak mengatakan seluruh populasi Rohingya teroris. Dia merujuk sebuah kelompok orang yang berkeliaran dengan senapan, pedang serta bom rakitan sederhana (IED) serta membunuh bangsa mereka sendiri di samping membunuh para penganut Budha, Hindu serta orang lain yang menghalangi jalan mereka. Sudah banyak pasukan keamanan mereka bunuh. Mereka pun menyebabkan kerusakan di kawasan tersebut. Orang-orang yang berlarian melarikan diri ke Bangladesh ...melarikan diri dari kelompok-kelompok radikal mereka sendiri. [Komunitas] internasional dengan demikian, harus memilah-milah masalah sebelum menuduh." — Patricia Clapp, Ketua Misi AS- to Myanmar dari 1999-2002. Asal muasal jihad kaum Muslim Bengali di Barat Myanmar pada penghujung abad ke-19 selama masa Perang Dunia II, menggambarkan bahwa hal itu "berakar dalam institusi jihad orang-orang yang berambisi memperluas kawasan Islam yang sama dan abadi, yang menghancurkan peradaban Budha di India utara." — Dr. Andrew Bostom, pengarang dan cendekiawan Islam.

Para pengungsi Rohingya dari Burma tiba di Bangladesh, 17 September 2017. Krisis baru-baru ini digambarkan---secara salah---sebagai "pembersihan etnis" terhadap minoritas Muslim yang lugu, tetapi penjahatnya yang sebenarnya adalah kaum Islam radikal yang berada di antara warga Rohingya sendiri, yang dengan senapan, pedang dan bom rakitan sederhana membunuh orang-orang mereka sendiri, di samping membunuh umat Budha, Hindu dan lain-lain yang menghambat jalan mereka. (Foto oleh Allison Joyce/Getty Images).

Gelombang bentrokan antara para teroris radikal Islam melawan Pemerintah Burma (Myannmar) menjadi akar dari krisis pengungsi di Asia Tenggara. Akibat krisis ini PBB serta media internasional memberikan perhatian terhadap persoalan warga Rohingya di Rakhine utara, sebuah propinsi terbelakang di barat negeri mayoritas Budha itu. Lanjutkan Baca Artikel

Apakah Mengecam Pejihad ISIS itu Menyampaikan "Ujaran Kebencian?" oleh Denis MacEoin • 5 Oktober 2017

Menjadi mahasiswa biasanya menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Selama ini, fantasi masa muda berhadapan dengan argumen rasional, yang terinformasi baik dan berbasis bukti. Tetapi kultus kebenaran politik, defenisi gender yang longgar (unbounded), obsesi kepada fobia terhadap Islam serta anti-Semitisme di antara gangguan-gangguan lainnya, telah merusak proses pendidikan di Amerika Serikat serta Eropa. Jika Travers mengidentifikasi adanya sikap anti-Semitisme serta tanda-tanda radikalisasi di kampus, maka dia dapat, tidak sekedar berhak, tetapi juga wajib untuk mengungkapkannya ke hadapan publik. Bukan Robbie Travers yang pantas didisiplinkan oleh pihak berwenang universitas; justru Allman, karena dia berjuang untuk menghancurkan reputasi Travers dengan tuduhan dan tidak bisa memperkuatnya dengan bukti. Jika saya diminta bertindak sebagai hakim, akan saya rekomendasikan dia tetap dikeluarkan dari lembaga pendidikan karena dia jelas-jelas tidak cocok. Fitnah dan pembunuhan kharakter tidak punya tempat di universitas manapun.

Kekejaman ISIS: Travers seharusnya dipuji, bukan didiskreditkan karena menuding mereka demikian. (Sumber foto: YouTube/Suntingan video)

Travers, mahasiswa fakultas hukum tahun ketiga berusia 21 tahun, melambungkan namanya sendiri di Skotlandia, di Universitas Edinburg yang kenamaan. Terlepas dari banyaknya aktivitas, Travers menerbitkan berbagai artikelnya di Gatestone Institute yang bisa dibaca di sini, di samping juga menulis untuk saluran media lain. Juga dituliskannya persoalan seperti anti-Semitisme di Eropa, industri sensor "berita-berita bohong," Partai Buruh Inggris sebagai tempat berlindung nan aman bagi orang-orang rasis, dewan Shariah, serangan terhadap kebebasan berbicara dan masih banyak lagi. Sebagai anak muda yang lantang, dia menjadi satu dari para tokoh terbaik di universitas. Meski jelas mengaku gay dan pendukung aliran tengah (centrist), yang menjadi posisi Tony Blair dalam politik, dia kerapkali terperangkap dalam konflik dengan sesama mahasiswa dari kalangan kiri radikal, dengan para mahasiswa Muslim dan dengan siapa saja yang bingung dengan apa saja yang melemparkan tantangan terhadap kepekaan politik yang benar dan suka berpuas diri (complacent politically correct sensitivities). Dia pun tidak takut berseru kepada kaum radikal serta mengkritik mereka dengan informasi faktual sehingga banyak mahasiswa modern (serta dosen) muak mendengarkannya. Lanjutkan Baca Artikel Masukan Lebih Banyak Artikel

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.