konstruksi otoritarianisme - pa-kendal.go.id [PDF]

Jun 30, 2011 - 0leh Buchori KONSTRUKSI OTORITARIANISME (Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El-Fadl) A. PENDAHULU

3 downloads 28 Views 139KB Size

Recommend Stories


aJemen Konstruksi = angunan Konstruksi
Every block of stone has a statue inside it and it is the task of the sculptor to discover it. Mich

Direktori Konstruksi
If you want to go quickly, go alone. If you want to go far, go together. African proverb

(k3) konstruksi
We may have all come on different ships, but we're in the same boat now. M.L.King

Konstruksi Ecobrick
The happiest people don't have the best of everything, they just make the best of everything. Anony

sengketa konstruksi
Seek knowledge from cradle to the grave. Prophet Muhammad (Peace be upon him)

konstruksi bangunan
How wonderful it is that nobody need wait a single moment before starting to improve the world. Anne

Konstruksi Pembuktian Tanggungjawab Komando
Don't ruin a good today by thinking about a bad yesterday. Let it go. Anonymous

accounting analysis perusahaan konstruksi
Be like the sun for grace and mercy. Be like the night to cover others' faults. Be like running water

konstruksi beton bertulang
Kindness, like a boomerang, always returns. Unknown

Direktori Konstruksi 2010
If you want to become full, let yourself be empty. Lao Tzu

Idea Transcript


Beranda Kontak SIPP TABAYUN

Menu Utama Profil Pengadilan Prosedur Beracara Biaya Penyelesaian Perkara Agenda Sidang SIMKEP Online!

Layanan Publik Info Perkara Online Syarat Pendaftaran Blangko Gugatan & Permohonan Laporan Perkara Prodeo Jadwal Mediasi Publikasi Putusan Panjar Biaya Perkara Pemberitahuan Sisa Panjar Pelayanan Informasi Daftar Istilah dalam Peradilan Agama Kode Etik Hakim

Kesekretariatan Bagian Umum dan Keuangan Bagian PTIP Bagian Kepegawaian dan Ortala

Kepaniteraan Prosedur Pengembalian Biaya Perkara Hak Pihak Berperkara Pelayanan Informasi Jenis & Biaya PNBP Pubilkasi Putusan & Penetapan Laporan Statistik Perkara Laporan Keuangan Perkara Hasil Penelitian Maklumat Pelayanan Laporan Akta Cerai Laporan Sidang Keliling Buku Register Perkara Kode Etik Panitera & Jurusita

Artikel KONSTRUKSI OTORITARIANISME Dibuat pada Kamis, 30 Juni 2011 05:28 |

|

0leh Buchori KONSTRUKSI OTORITARIANISME (Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El-Fadl) A. PENDAHULUAN Semua agama, sebagaimana semua kelompok sosial dan politik, memiliki proses atau metode untuk menciptakan dan menentukan otoritas. Otoritas bisa bersifat formal atau informal. Namun, dalam keduanya otoritas menentukan apa yang resmi, formal dan mengikat bagi orang yang berada dalam wilayah otoritas tersebut. Secara mendasar, otoritas menentukan apa yang bisa dijadikan sandaran dan apa yang seyogyanya diikuti. Dalam konteks Islam, kepada para penganutnya, pemegang otoritas mengomunikasikan apa yang dapat disepakati, apa yang dapat diterima, dan apa yang mengikat, serta apa yang secara formal dipandang sebagai bagian dari agama mereka.[1]) Dalam hukum Islam, muncul persoalan utama yaitu pertanyaan tentang siapakah yang paling otoritatif dalam memutuskan sebuah hukum dalam Islam. Dalam Islam, peranan teks (nash) memegang posisi yang sangat sentral. Teks yang dimaksud adalah Alquran dan Hadits. Sentralnya posisi teks dalam kehidupan umat Islam tersebut berangkat dari asumsi bahwa tekslah satu-satunya penjelas yang paling otoritatif. Teks diyakini merupakan jejak dari pemegang otoritas tertinggi (supreme authority), yakni Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya. Pada masa Nabi masih hidup, memang diakui bahwa beliaulah yang diakui sebagai suara otoritatif yang mewakili kehendak Tuhan. Ia dinilai sebagai penerima wahyu yang pertama sehingga secara efektif berperan sebagai pemegang otoritas. Setelah Nabi wafat, masyarakat muslim paling awal mengalami kemelut paling serius tentang siapakah pemegang legitimasi dan otoritas yang paling berwewenang. Kejadian itu juga muncul setelahnya, dan itu masih terasa hingga hari ini. Mau tidak mau, akhirnya yang bermain adalah interpretasi manusia dalam memahami dan menetapkan hukum Islam[2]) dengan jalan menyesuaikannya menurut kondisi dan zamannya masing-masing.[3] ) Sampai di sini kita tidak menuai persoalan. Persoalan itu baru muncul ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa teks yang otoritatif pada dirinya sendiri ternyata tidaklah jelas begitu saja. Kita setidaknya berhadapan dengan dua permasalahan. Pertama, teks tidak berbicara pada kita tentang apa makna yang dikandungnya. Teks tidak pernah jadi wasit dengan datang dan memberikan keterangan tentang makna hakiki yang dikandungnya ketika antara dua orang ulama terlibat perdebatan untuk menentukan makna apa yang dimaksud oleh teks tersebut. Teks, misalkan, tidak pernah mengutarakan bahwa makna dari kata “yad” adalah “tangan” dan bukan “kekuasaan”. Makna dari sebuah teks pada ujungnya selalu ditentukan oleh pembaca (manusia). Dalam bahasa Imam Ali, “Alquran hanyalah tulisan dintara dua sampul. dia tidak bisa berbicara. (agar bisa bersuara) Alquran perlu penafsir, dan si penafsir itu adalah manusia”. Teks tersebut haruslah diungkapkan melalui perantara pembaca (manusia).[4]) Kedua, apakah seorang manusia, ketika dia membaca teks yang otoritaf pada dirinya tersebut, lantas serta merta mempunyai klaim bahwa apa yang diungkapkannya juga otoritatif. Kita dihadapkan pada fakta bahwa yang otoritatif pada dirinya sendiri adalah teks. Namun, yang otoritatif pada dirinya sendiri itu hanya mungkin bermakna dan berarti sejauh teks itu dibaca oleh manusia. Manusia lantas menjadi penentu, sementara, sebagaimana kita lihat dalam hirarki otoritas, akal manusia, melalui ijtihadnya, menempati posisi yang lebih rendah ketimbang posisi teks. Dan manusia pada dirinya sebenarnya tidaklah memiliki otoritas sama sekali.[5]) Namun, ungkapan Imam Ali sebagaimana tersebut di atas dapat pula dijadikan sebagai indikasi bahwa posisi teks (nash) dan pembaca adalah sejajar dan sama-sama penting. Berkaitan dengan masalah otoritas, Khaled Abou El Fadl, seorang professor Hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat seperti dalam pengakuannya, sangat mengenal sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan puritanisme --apapun namanya-- yang berkembang di tengah umat Islam yang muncul akibat interpretasi teks yang otoriter. Dalam beberapa tahun terakhir ini dia terlibat dalam berbagai debat publik mengenai promosi Islam yang moderat dan damai. Dengan integritas dan keberanian intelektual dia mengkritik semua klaim kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang dinilainya memelintir dan menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung mempersempit dan menjelekkan citra Islam itu sendiri.[6]) Melalui bukunya, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif[7]), terjemahan dari Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman[8]), Khaled menjelaskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara kerja pendekatan hermeneutik yang bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari[9]) untuk membongkar konstruksi otoritarianisme. Makalah ini akan mencoba mengurai hermeneutika Khaled Abou El Fadl yang terdiri dari biografi singkat, beberapa kata yang menjadi kunci dalam hermeneutikannya yaitu: hermeneutik; otoritas, otoritatif, dan otoriter; dan konstruksi otoritarianisme, sedikit tanggapan terhadap hermeneutika Khaled, serta kontribusinya terhadap pemikiran dalam hukum Islam. B. BIOGRAFI SINGKAT KHALED ABOU EL FADL[10]) Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah 'kelompok terbaik' dan 'kelompok yang mewakili Tuhan' di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya. Untunglah Khaled memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu Wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat. Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhirnya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Namun bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B. A. (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986, Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi. Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat. Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang prolifik/produktif, antara lain: 1. 2. 3. 4.

1.Islam and the Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004) 2.The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001) 3.Rebellion dan Violence in Islamic Law (Cambridge University, 2001) 4.Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), terjemahan dari Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman (Oneworld Publication, 2001) 5. 5.Melawan Tentara Tuhan (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), terjemahan dari And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001) 6. 6.Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), terjemahan dari Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001) 7. 7.Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), terjemahan dari The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (HarperSanFrancisco, 2005)

C. PENDEKATAN HERMENEUTIK Untuk memahami apa yang dimaksud dengan hermeneutik, perlu menengok kronologi asal-usul kata hermeneutik, supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah hermeneutik. Secara etimologis kataitu berasal dari bahasa Yunaniyang berarti: menafsirkan atau menginterpretasi; kata bendayang berarti: "hermenia" "kata kerja "hermeneuein "hermeneutik" katakata, misalnya(2) ;"to say" -mengungkapkan (penafsiran atau interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1 seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan denganbentuk kata kerja inggris "to ,menerjemahkan (seperti menjelaskan sebuah situasi; (3 ,menjelaskan interpret" namun masing([masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi.[11Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutik merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ni kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung didalam ayat-ayat kitab suci. Secara teologis peran Hermes tersebut dapat dinisbahkan sebagaimana peran Nabi, bahkan Sayyed Hossein Nashr menyatakan bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.sJadi, di ([12]. sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah ilmu dan seni menginterpretasikanthe art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutik) merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu yang dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutik. Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader). Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure.[13]) Menurut Fahruddin Faiz,[14]) hermeneutik berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi tiga unsur tersebut. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu seorang interpretator senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan yang bisa diambil adalah sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutik harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi. Faiz juga berpendapat bahwa pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes menunjukkan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variable utama pada kegiatan manusia dalam memahami, yaitu:[15]) (1) Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan atau teks yang dibawa oleh Hermes kepada manusia; (2) Perantara atau penafsir pesan-pesan yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia; dan (3) Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai pada penerima. Dari sinilah, kata hermeneutik ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal:[16]) 1. 1.Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir. 2. 2.Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca. 3. 3.Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas. Triadic structure dalam pendekatan hermeneutik yang oleh Amin Abdullah disebut sebagai Fiqh at Tafsir wa at Ta'wil dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:[17]) TEKS READER (Pembaca/ Penafsir)

AUTHOR (Pembuat Teks)

Dalam hermeneutik, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks –baik itu teks kitab suci maupun teks umum– dituntut untuk sekedar melihat apa yag ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.

C. KONSEP OTORITAS, OTORITATIF, DAN OTORITER Khaled Abou El Fadl membangun konsep otoritas[18]) dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah. Di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan?[19]) Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, menurut Khaled kita harus memerhatikan tiga hal berikut. Pertama, berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga, berkaitan dengan “perwakilan”.[20]) Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khaled untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam. Menurut Khaled, untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut kita membutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance of power between the author, reader and text). Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Salah satu maksud tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks. Menghormati otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Khaled menegaskan gagasan tentang teks yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap otoriter adalah proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan berinteraksi dengan keragaman makna. [21]) Sebagian wakil (orang-orang Islam yang beriman dan shaleh, yang di sebut sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok orang atau wakil dari golongan tertentu (‘ulama’). Mereka melakukan hal tersebut “karena, dan hanya karena,” mereka memandang wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan. Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini dipandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”[22]) –jabatan formal tidak relevan sama sekali– tetapi karena persepsi wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan. Proses penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil khusus juga memiliki problem hermeneutis tersendiri –misalnya, pada proses tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.[23]) Khaled Abou El Fadl mengemukakan lima batasan untuk menerima otoritas wakil khusus tersebut. Sepanjang lima hal ini terpenuhi, seseorang bisa disebut otoritatif.[24]) Kelima batasan itu adalah, pertama, kejujuran. Masyarakat pada umumnya percaya pada kelompok wakil khusus ini bahwa mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami perintah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan semua yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, padahal dirinya belum mengetahui yang sesungguhnya.[25]) Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan. Dia dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan kemampuannya dalam menyelami satu persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan samar, namun setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk serius dan bersungguh-sungguh dengan segenap kemampunnya untuk menyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari akar kata jahada sesungguhnya berarti pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk menyelami sebuah persoalan.[26]) Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan wakil khusus tersebut harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti, bahkan argumen yang bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum wakil khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti dan argumen tersebut.[27]) Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan penafsiran dan pencarian perintah Tuhan secara rasional. Kaum wakil khusus dilarang melakukan, meminjam istilah Umberto Eco, “penafsiran secara berlebihan” dengan cara, misalnya, menafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan keinginan seseorang, sementara makna teks sesungguhnya dihiraukan. Penafsiran yang berlebihan terhadap teks, baik dengan cara membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri oleh teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan didiami hanya oleh satu macam makna penafsiran saja, telah dianggap mengingkari prinsip rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa kaum wakil khusus haruslah mengambil jarak dengan teks dan menghormati integritas teks tersebut.[28]) Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri. Hal ini sebenarnya menujukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang yang mengetahui segalanya dan yang mengetahui hakikat segalanya hanyalah Tuhan. Semua yang dilakukannya adalah usaha untuk mengungkap kehyendak-Nya. Bagi siapapun yang pernah dididik di lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru kita selalu megucapkan "Wa Allahu a’lam bi murodihi" yang kurang lebih berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih jauh sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan kerendahan hati.[29]) Itulah kelima prasyarat yang dikemukakan Abou El Fadl untuk membatasi kemungkinan otoritas yang dipegang oleh para agen khusus terjerumus pada sikap keberagamaan otoriter. Menurut Abou Fadl, prasyarat tersebut muncul sebagai keharusan yang bersifat rasional (dharuriyyat aqliyyah) bagi hubungan yang logis antara umat Islam dengan wakil khusus dan teks (baik al-Quran atau hadis). Hal di atas sebenarnya adalah usaha yang dilakukan Abou Fadl agar pencarian makna teks yang merupakan usaha untuk mendekati kehendak Tuhan semaksimal mungkin berlangsung objektif. Sepanjang seseorang menerapkan kelima prasayarat tersebut di atas dan meyakini hasilnya adalah kebenaran, maka itulah kebenaran menurut Tuhan. Pelanggaran terhadap lima hal tersebut jelas adalah pelanggaran otoritas dan merupakan sebuah sikap kesewenang-wenangan penafsiran, sebuah sikap otoriter.[30]) Menurut Abou Fadl, sikap otoriter sendiri terjadi ketika seorang manusia, baik dari kalangan wakil khusus atau umat Islam pada umumnya, mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu sesungguhnya menunjukan bahwa seolah-olah, dengan menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah yang tahu hakikat makna yang sesungguhnya. Seolah seseorang tersebut mengetahui kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut.[31]) D. KONSTRUKSI OTORITARIANISME Dalam bahasa Khaled, “Authoritarianism is the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the tex into the spesific determination, and then presenting this determination as inevitable, final, and conclusive” (Otoritarianisme adalah tindakan “mengunci” atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut dan menentukan.[32]) Sebelum masuk pada pokok bahasan konstruksi otoritarianisme, Khaled menelaah karya sebelumnya mengenai konsep otoritatif dan otoriter. Yaitu karya Joseph Vining yang menulis sebuah buku tentang perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam buku tersebut, ia menyebutkan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah system sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah sebentuk taklid buta, sementara yang otoritatif adalah melakukan "pilihan terbaik berdasarkan rasio".[33]) Hukum Besi Otoritarianisme Robert Michels dalam karya klasiknya tentang demokrasi secara persuasif menyatakan bahwa semua sistem politik, termasuk demokrasi, berada di dalam genggaman apa yang ia sebut sebagai Hukum Besi Oligarki. Michels menegaskan bahwa sistem-sistem politik mengalami tekanan yang sangat kuat ke arah sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan-tekanan tersebut merupakan sebuah kecenderungan yang pasti ke arah otoritarianismeyang ditandai dengan munculnya penetapan yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah. Pemegang otoritas biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali jika ada upaya sadar dan aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut.[34]) Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks.[35]) Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah).[36]) Kecenderungan otoriter tersebut dapat dibendung dengan menerapkan lima prasyarat yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya yaitu kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan, kemenyeluruhan, dan rasionalitas. Hukum Islam sebagai Karya yang Terus Berubah Gagasan tentang teks yang terbuka, menurut Khaled sangat membantu. Khaled menyatakan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah sebagai teks, dengan meminjam istilah Umberto Eco, merupakan "karya yang terus berubah" –keduanya adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai strategi interpretasi. Ini tidak berarti bahwa keduanya terbuka bagi segala jenis interpretasi. Tapi maksudnya mereka mampu menampung gerak interpretasi yang dinamis.[37]) Dalam perkembangan hukum Islam, para ahli hukum terpecah ke dalam dua madzhab. Madzhab pertama, yang dikenal dengan Mukhaththi'ah, menyatakan bahwa pada akhirnya ada sebuah jawaban yang tepat bagi setiap persoalan teks dan hukum. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui jawaban yang tepat dan kebenaran baru akan terungkap pada Hari Akhir nanti. Dalam pengertian ini, setiap persoalan hukum dan dalam setiap pergulatan dengan teks, Tuhan telah menentukan jawaban yang tepat sejak awal, yang termuat dalam wadah penampung Pengetahuan Tuhan. Tapi manusia, dalam dalam sebagian besar kasus, tidak dapat mengetahui secara pasti dan meyakinkan apakah mereka telah memperoleh jawaban yang tepat. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid mencapai kebenaran dalam upayanya menemukan jawaban, namun seorang pembaca mungkin dapat mencapai kebenaran, sementara yang lainnya tidak.[38]) Kelompok ini seringkali menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin memiliki dua realitas, bahwa sesuatu itu baik atau buruk, jelek atau cantik, harus salah satu di antara keduanya. Realitas sesuatu tidak bergantung pada pengenalan atau pengakuan dari orang yang mengamati realitas. Tapi realitas sesuatu melekat dalam realitas itu sendiri. Demikian pula halnya, sebuah tindakan hukum tidak bisa dipandang sah dan tidak sah dalam waktu yang bersamaan atau boleh dan tidak boleh dalam waktu yang bersamaan –harus dipilih salah satunya. Kelompok ini menambahkan bahwa jika berbagai jawaban bisa sama-sama tepat, dan jika orang tidak berusaha menemukan jawaban yang tepat, maka apa maksud dari semua perdebatan dan diskusi hukum (munazharah)? Perdebatan dan diskusi ini bermanfaat karena mereka berpotensi membawa kita semakin dekat dengan kebenaran.[39]) Madzhab kedua, yang dikenal dengan Mushawwibah. Kelompok ini menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti dan tepat (hukm mu'ayyan) yang diperintahkan Tuhan untuk ditemukan oleh manusia, karena jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan membuat bukti-bukti tekstual yang jelas dan meyakinkan. Tuhan tidak akan membebankan manusia dengan kewajiban untuk menemukan jawaban yang tepat ketika tidak ada sarana objektif untuk menemukan kebenaran sebuah makna teks dan persoalan hukum. Jika ada sebuah kebenaran objektif menyangkut segala sesuatu, Tuhan pasti akan menjadikan kebenaran itu bisa dicapai di dunia ini. Kebenaran atau ketepatan hukum, pada kebanyakan kasus, bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan pada kenyataannya, sifat dari semua tindakan hukum seringkali bergantung pada pengakuan.[40]) Tindakan yang sama bisa diperbolehkan dan kemudian tidak diperbolehkan karena adanya kenyataan yang bersifat tambahan pada karakteristik intrinsik dari tindakan tersebut. Tindakan tersebut mungkin memiliki kualitas moral yang melekat dalam dirinya (qabihah atau hasanah bi dzatiha) tapi kualitas hukumnya bergantung pada hal-hal yang tidak terkait dengan karakteristik tindakan itu sendiri.[41]) Perintah Tuhan kepada manusia adalah untuk melakukan pencarian dengan sungguh-sungguh, dan hukum Tuhan akan ditangguhkan hingga manusia memperoleh keyakinan yang kuat tentang hukum Tuhan tersebut. Ketika keyakinan yang kuat itu terbentuk, maka hukum Tuhan mengikuti apa yang diyakininya itu.[42]) Kemudian jika dua orang, masing-masing memiliki keyakinan yang sama-sama kuat, terlibat dalam konflik kepentingan dan jika kita tidak mungkin menampung setiap keyakinan yang kuat pada saat yang bersamaan dan atas persoalan yang sama, maka kelompok ini menyatakan bahwa dalam situasi tersebut hukum Tuhan (yang bersifat pribadi) untuk masingmasing orang tetap menurut keyakinan mereka sendiri. Namun dalam kaitannya dengan orang lain, hukum Tuhan (yang bersifat publik) ditangguhkan hingga ada keputusan hakim (ketetapan hukum) yang bersifat formal antara berbagai kepentingan yang saling bertentangan itu.[43]) Dalam hal keputusan hakim dipandang sebagai hukum Tuhan bukan karena ia lebih tepat dari keputusan lain, tapi keputusan itu menjadi hukum Tuhan dalam bentuk keadilan prosedural.[44]) Yang penting adalah bahwa kedua madzhab tersebut, Mukhaththi'ah dan Mushawwibah, tidak menganut pendapat yang mengharuskan penutupan teks. Kelompok pertama setuju dengan kemungkinan teoretis tertutupnya teks dalam menemukan kebenaran. Tapi sebagai sebuah persoalan praktis, hal tersebut mustahil selama terjadi perbedaan hukum menyangkut makna sebuah teks. Selama ada perbedaan pendapat, Tuhan akan memutuskan perselisihan tersebut di akhirat kelak. Kelompok kedua secara normatif menolak pendapat tentang tertutupnya teks. Kemungkinan adanya keyakinan dan komitmen individu harus tetap dibuka lebar, dan hal ini tidak mungkin tercapai kecuali jika teks tetap terbuka. Penetapan makna sebuah teks tergantung pada sikap pembaca, dan penetapan subjektif pembaca. Dengan demikian, makna sebuah teks tidak bisa ditentukan dengan pasti.[45]) Hal-Hal Mendasar dalam Agama dan Beban Pembuktian Setiap agama memiliki nilai atau fondasi yang sangat mendasar, dan oleh para ahli hukum hal tersebut digambarkan dengan istilah ushul atau kebenaran yang pasti. Baik kelompok Mukhaththi'ah maupun Mushawwibah tidak menerapkan gagasan tentang ketidakpastian terhadap semua persoalan, dan keduanya mengecualikan semua persoalan yang termasuk ke dalam cakupan hal-hal yang mendasar dalam agama dari gagasan tentang "setiap mujtahid itu benar".[46]) Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa hal-hal yang bersifat pokok dalam agama adalah persoalan yang bersifat 'aqliyyat (hal-hal yang kebenarannya bisa dibuktikan dengan petunjuk akal). Ahli hukum lain berpendapat bahwa semua persoalan yang telah mencapai titik kepastian yang meyakinkan tidak bisa tercemar dengan ketidakpastian. Ahli hukum lain menyatakan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam kategori kebenaran yang pasti (masa'il qath'iyyah) harus dipandang sebagai bagian dari hal-hal yang bersifat pokok dalam agama.[47]) Terkait dengan beban pembuktian, jika terdapat klaim bahwa persoalan tertentu itu sebuah kebenaran atau persoalan yang mendasar dalam agama, hakikatnya adalah perkara tertentu menjadi begitu penting sehingga jika perkara tersebut tidak ada, maka akan mengurangi kehendak Tuhan yang sah. Dengan kata lain dibuat klaim secara implisit bagi komunitas interpretasi hukum secara keseluruhan bahwa persoalan tersebut layak dimasukkan atau dikeluarkan dari kategori persoalan yang bersifat mendasar dalam agama. Oleh karena itu, beban pembuktian diserahkan kepada orang yang membuat klaim semacam itu. Ia harus memenuhi kewajibannya untuk melakukan penelitian yang sungguh-sungguh dan terkendali.[48]) Seperti yang disebutkan dalam sebuah adagium hukum Islam, "Pembuktian dibebankan kepada orang yang membuat klaim" (al-bayyinah 'ala man idda'a).[49]) Mengenai asumsi dasar tentang komunitas interpretasi, Khaled menyebutkan bahwa kita dapat membedakan antara empat jenis asumsi dasar tersebut. Asumsi-asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum, dan seringkali berfungsi sebagai batas luar bagi penetapan hukum. Ada empat jenis asumsi: asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal.[50]) Asumsi-asumsi berbasis nilai dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Asumsi-asumsi tersebut menjadi nilai-nilai mendasar dalam sebuah budaya hukum, atau apa yang oleh komunitas interpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsi yang secara normatif diperlukan. Misalnya dalam teori hukum Islam adalah dibedakan antara apa yang disebut apa yang disebut dengan dharuriyyat (kemendesakan yang bersifat mendasar), hajjiyyat (kebutuhan mendasar) dan tahsiniyyat (juga dikenal dengan kamaliyyat –kemewahan atau hiasan). Kemudian seringkali ditegaskan oleh para ahli hukum Islam bahwa keperluan mendasar terdiri dari lima nilai pokok (al-dharuriyyat al-khamsah): agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Semuanya dipandang sebagai nilai atau tujuan dasar yang harus dipenuhi atau dilindungi oleh syari'ah.[51]) Pada sisi-sisi tertentu, asumsi-asumsi metodologis berbeda dengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yang lain asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpang tindih dengan asumsi nilai dalam sistem hukum. Misalnya persoalan apakah konsensus para ahli hukum Madinah bisa menjadi dasar hukum, merupakan persoalan metodologis. Asumsi-asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatif hukum. Asumsi-asumsi semacam itu diakui sebagai perangkat bantu yang mempermudah tercapainya tujuan hukum. Asumsi-asumsi metodologis mungkin muncul dari pendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum, tetapi asumsi-asumsi tersebut cenderung bertahan dan berkembang melalui kekuatan kebiasaan. Asumsi-asumsi tersebut menjadi kerangka yang selalu digunakan oleh budaya hukum dalam menghasilkan hukum. Tidak jarang persoalan persoalan metodologis sangat terkait erat dengan asumsi-asumsi berbasis nilai yang menjadikannya tidak selalu mungkin bagi kita untuk dapat membedakan antara asumsi-asumsi metodologis dan asumsi-asumsi berbasis nilai. Misalnya persoalan apakah kepentingan publik dapat mengalahkan atau menyingkirkan bukti tekstual, atau peran kepentingan mendesak (dharuriyyat) dalam menciptakan pengecualian hukum.[52]) Berbeda dengan dua asumsi sebelumnya, asumsi berbasis akal memperoleh eksistensinya dari logika atau bukti hukum pada penetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlah hasil dari dinamika langsung antara Muslim dengan Tuhannya, tapi didasarkan pada hubungan antara seorang Muslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhan yang ia temukan. Asumsi berbasis akal diklaim bersandar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif. Asumi semacam itu dipandang sebagai sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, dan bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi. Asumsi berbasis akal tidak mengakui pengaruh nilai normatif, tapi ia menegaskan sikap yang moderat dan objektif. Persoalan yang bersifat menentukan bagi jenis asumsi ini adalah bahwa, seperti halnya pembacaan literal terhadap hukum, ia mengklaim sebagai bebas nilai, dan didasarkan hanya pada bobot pembuktian.[53]) Asumsi-asumsi berbasis iman lahir dari sebuah hubungan tambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi ini tidak mengklaim diperoleh langsung dari perintah Tuannya, tapi dari dinamika antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi berbasis iman ini dibangun di atas apa yang kita sebut dengan pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. Dengan demikian, asumsi-asumsi ini membentuk kesadaran atau keyakinan mendasar yang tidak akan dibagikan atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain. [54]) Juga terjadi tumpang tindih antara asumsi-asumsi berbasis nilai dengan asumsi-asumsi berbasis iman. Namun asumsi-asumsi berbasis nilai mengklaim bahwa dirinya bersumber hanya dari analisis teks, atau analisis terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dari perintah-perintah Tuhan, sementara asumsi-asumsi berbasis iman terkait dengan pemahaman tentang Tuhan itu sendiri. Dalam beberapa hal, asumsi-asumsi berbasis iman terkait dengan normativitas Tuhan, dan asumsi-asumsi berbasis nilai terkait dengan normativitas perintah-Nya.[55]) Sebuah komunitas interpretasi harus mampu mengetahui karakteristik utama dari asumsi-asumsi dasarnya –apakah ia bersifat normatif, metodologis, didasarkan pada bukti, atau semata persoalan keimanan. Menjelaskan dan secara kritis menganalisis karakteristik dari asumsi-asumsi komunitas interpretasi tersebut akan menambah keterpaduan diskursus tersebut. [56]) Penggunaan berbagai asumsi-asumsi di atas secara intrinsik bukanlah tindakan otoriter. Tapi ketika asumsi-asumsi tersebut berubah menjadi objek loyalitas dan akhirnya menggantikan keberwenangan Tuhan dan perintah-Nya, maka asumsi-asumsi tersebut menjadi problematis. Sejauh mengenai asumsi-asumsi nilai, akal, dan metodologis, moralitas tertingginya adalah moralitas proses, bukan moralitas hasil.[57]) Asumsi berbasis iman menuntut sebuah analisis yang berbeda. Asumsi-asumsi ini merupakan nilai moral yang berperan sebagai dasar bagi sebuah diskursus hukum. Ini tidak berarti bahwa asumsi-asumsi tersebut pasti tertutup untuk didiskusikan atau dianalisis.[58]) Tapi itu berarti bahwa asumsi-asumsi tersebut mungkin memberikan garis batas yang efektif antara satu komunitas interpretasi dan komunitas interpretasi yang lain, dan bahwa garis-garis batas tersebut tidak dapat dihilangkan oleh argumentasi-argumentasi yang berbasis teks. Akhirnya kegunaan dari asumsi-asumsi berbasis iman direduksi menjadi sebuah persoalan kesadaran bahwa Tuhan akan menilai di akhirat kelak. Mengenai asumsi-asumsi tersebut, moralitas tertinggi mungkin bukan lagi moralitas proses, tapi moralitas kesadaran. Sementara dalam seluruh persoalan, hasil dari sebuah pencarian hanya bersifat sekunder dari proses pencarian, asumsi berbasis iman mendahului, mengarahkan dan menentukan proses itu sendiri. Asumsi berbasis iman merupakan keputusan moral yang didasari keimanan terhadap apa yang menjadi nilai menentukan dari sebuah agama, yang menuntun, dan tidak diarahkan oleh, suatu proses.[59]) Keberatan Moral dan Otoritarianisme Dapat terjadi suatu kondisi di mana ketentuan al-Qur'an berbeda dengan ketentuan hadis Nabi. Sebagai contoh adalah ketentuan ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan: "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan"[60]), "Dan katakanlah kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaknya ia beriman dan barang siapa yang hendak kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang yang bersalah itu"[61]), "Tidak ada pemaksaan dalam agama"[62]), dan ketentuan sebuah hadis yang dinilai mayoritas ulama' sebagai hadis shahih yang berbunyi: "Barang siapa menukar agamanya, bunuhlah dia"[63]). Kondisi tersebut kemudian mungkin melahirkan suatu asumsi metodologis yang menyatakan bahwa jika ketentuan al-Qur'an berbeda dengan ketentuan hadis Nabi, maka ketentuan alQur'an yang harus diambil. Tetapi seorang wakil khusus tidak harus menganut metodologi tersebut karena bukti tersebut tampak bertentangan. Yang kemudian bisa dilakukan adalah memandang al-Qur'an sebagai firman literal Tuhan, merenungkan makna ayat-ayat al-Qur'an tersebut, bukan sebagai bagian dari perintah Tuhan, tapi sebagai bagian dari hubungan antara dirinya dan Tuhan yang bersifat pribadi. Setelah mempertimbangkan normativitas Tuhan dan pemahamannya sendiri, dapat diperoleh keyakinan yang agak berbeda dengan pembuktian yang ditunjukkan oleh berbagai penetapan yang ada, bahwa moralitas yang melandasi hubungannya dengan Tuhan akan sangat ditentang jika seseorang yang murtad harus dijatuhi hukuman mati.[64]) Pada titik ini, seorang wakil khusus dihadapkan pada dua pilihan: apakah akan menyembunyikan proses pemikiran dan asumsinya, atau mengungkapkan analisisnya, menjelaskan asumsi-asumsinya yang berbasis iman, dan berharap bahwa beberapa atau semua wakil umum juga akan memiliki keyakinan serupa. Tentu saja pilihan kedua ini mengandung resiko hilangnya keberwenangan dan pengaruh yang bersangkutan karena para wakil umum mungkin akan berkesimpulan bahwa si wakil khusus tidak lagi berhak memegang amanah. Meskipun demikian, ini adalah ciri mendasar dari sebuah semangat yang akan menjauhkan kita dari otoritarianisme.[65]) Seorang wakil khusus yang otoriter selalu ingin berkuasa, dan ingin tetap otoritatif meskipun ia harus menampilkan bukti-bukti teks secara tidak benar, atau memerankan fungsi sebagai Tuan. Seorang ahli hukum terdahulu, Waki', diriwayatkan telah mengatakan: "Orang yang berpengetahuan (ulama') mencatatkan semua bukti [tentang suatu persoalan], baik bukti yang menyetujui atau yang menentang pendapatnya. Orang yang mengikuti hawa nafsu hanya mencatatkan bukti-bukti yang mendukung pendapatnya [dan mengabaikan bukti lain]". Menurut Khaled, ungkapan tersebut benar-benar merangkum gagasan otoritarianisme. [66]) E. PENDEKATAN HERMENEUTIK TERHADAP OTORITARIANISME Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Di sini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam.[67]) Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.[68]) Jika seorang pembaca berusaha menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksakan penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan tersebut berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri. Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks keagamaan dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga tertentu yang ”menutup rapat-rapat” atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will of the Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan ketentuan atau penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan atau penafsiran-penafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat diganggu-gugat.[69]) Terkait dengan bagan triadic structure yang sebelumnya sebagaimana tergambar dalam bahasan sebelumnya –karena sang author yang awalnya reader menjadi menafikan penafsir/reader lain dan bila muncul reader-reader yang lain, maka terjadilah perdebatan hingga sikap-sikap otoriter– akan berubah menjadi:[70] ) TEKS READER (Pembaca/ Penafsir)

AUTHOR (Pembuat Teks)

Pendekatan hermeneutika sebagaimana dalam gambar bagan pertama minimal memberikan 3 tawaran dalam hubungannya antara teks, author dan reader, sebagai berikut:[71]) 1. interaksi dinamis 2. sikap partisipatif 3. negotiating process (proses negosiasi) Tawaran tersebut sejalan dengan konsep triangle meaning dari Pierce di mana ketiga meaning harus dishare satu sama lain. Firstness (Objek) Thirdness (Community of Interpreters)

Secondness (Interpretant)

F. KONTRIBUSI HERMENEUTIKA ABOU FADL TERHADAP HUKUM ISLAM Paling tidak ada empat makna yang menjadikan hermeneutika Abou Fadl begitu penting. Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar bagi kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan pemikiran dan hukum Islam yang selama ini diakui keberadaanya sangat strategis dalam bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam tetap dapat bertahan dan menjadi semakin dibutuhkan bagi pengembangan kemanusiaan yang lebih beradab. Kedua, terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal, berbasis moralitas dan kemanusiaan. Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara pandang kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang memberi fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang memberi fatwa). Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama telah memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar. Kesalahan lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang merasa sebagai penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syari’at.[72]) Salah satu sumbangan ide terbesar Khaled Abou El Fadl terhadap diskursus hukum Islam kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam hukum Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan fikih yang otoriter, tertutup dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya, yang digunakan oleh Khaled adalah sebagai berikut:[73]) Pertama, Khaled memandang al-Quran dan Sunnah—sumber otoritatif hukum Islam—sebagai “teks yang terbuka” maka konsekuensi logisnya adalah meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus berubah (Islamic law as a work in movement). Untuk itu teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak boleh dikunci, ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan pemahaman baru akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu menampung gerak dinamis pemahaman manusia dengan keragaman konteksnya. Memasung makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus kesombongan intelektual karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui maksud Tuhan. Selain itu sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya pemahaman-pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang sejarah. Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya kemampuan manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan pemahaman terhadap Kehendak Tuhan. Dalam konteks ini Khaled membedakan antara syariah dan fikih. Syari’ah adalah Kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tapi fikih merupakan upaya manusia memahami Kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan fikih hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al-Syarî’ah). Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq mashâlih al-’ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan syariah. Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak pernah final dan sempurna.[74]) Ketiga revitalisasi metodologi hukum Islam klasik. Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its open-ended and anti-authoritarian character). Akhirnya, Khaled menginginkan syariah dipahami dalam diskursus pergulatan yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus fikih yang progresif. Sedangkan penguncian makna syariah pada pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih yang otoriter; yang tertutup dan sewenang-wenang. G. KESIMPULAN Hukum Islam seyogyanya dipilahkan antara sebagai hukum yang abadi, yang bersumber dari Allah, dan sebagai ikhtiar seseorang untuk memahami dan mengimplementasikan hukum abadi tersebut. Ini berarti bahwa kebanyakan dari apa yang disebut hukum Islam adalah produk manusia yang tak luput dari kemungkinan adanya kekeliruan, perubahan, perkembangan, dan pembatalan menyangkut sebuah ketentuan hukum. Hukum abadi yang bersumber dari Allah sangat sempurna, tetapi ia juga tak terjangkau oleh umat manusia. Seseorang melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menggapai dan memahami hukum Allah, namun mengklaim bahwa seseorang dapat dengan penuh percaya diri yakin bahwa ia berhasil memahami hukum Allah dapat dipandang sebagai sikap arogan. Oleh karena itu seorang ahli hukum haruslah dengan rendah hati mengakui bahwa apa yang diklaim sebagai hukum Islam itu mungkin salah. Seorang ahli hukum harus mencurahkan usaha terbaiknya demi memahami hukum Allah, namun semestinya ia tidak beranggapan bahwa pendapatnya pastilah identik dengan hukum Allah.[75]) Dalam sebuah wawancara, Khaled menegaskan bahwa apa yang diinginkan Allah kita ketahui melalui elemen kebenaran. Al Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks; dan elemen kebenaran yang lain adalah penggunaan akal. Dan apa yang diketahui akal harus disertai pengetahuan karena Allah menciptakan akal manusia menurut aturan tertentu. Bila seseorang berbicara mengenai Tuhan, dia dapat saja otoritatif, yaitu orang yang dapat Anda mintai pendapat karena mereka jujur, rajin, memeriksa semua petunjuk dalam teks dan alam secara filosofis dan menyeluruh. Namun, mengatakan patuhi saya atau Anda bukan Muslim, itu adalah otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas wilayah milik Tuhan, dan wilayah Tuhan adalah otoritas absolut untuk mengatakan, menilai, memutuskan, dan memulai serta mengakhiri sesuatu. Otoriter seperti monopoli di pasar gagasan, sedangkan otoritatif adalah seperti pasar bebas di pasar gagasan. Semua gagasan dan argumentasi tersedia di sana dan memberi kebebasan kepada manusia, kreasi Tuhan terbesar yaitu kreasi tentang pilihan yang membedakan kita dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Apa pun yang mencabut elemen kebebasan memilih itu, bukan hanya itu otoriter, tetapi juga membatalkan tujuan penciptaan manusia, membatalkan kemanusiaan kita.[76]) Pada ranah otoritarianisme akan terjadi tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan. Dihadapkan adanya sikap otoritarianisme tersebut Abou El Fadl melawan paksa upaya penaklukan dan penutupan teks sekaligus memandang teks tetap bebas, terbuka, dan otonom guna memahami dan mendekati kehendak Tuhan. Dengan mengispirasikan teks tetap bebas, terbuka, dan otonom sebagai kehendak Tuhan, maka Abou El Fadl menempatkan perangkat yang akan mengantarkan kepada sebuah pemahaman untuk mendekati kehendak Tuhan. Dalam hal ini adalah gagasan-gagasan yang selama ini menjadi problem hermeneutis. Dan itulah yang telah menjadi gagasan Abou El Fadl.[77]) Adapun gerak hermenutika tersebut antara lain adalah membutuhkan “keseimbangan kekuatan” yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Sementara itu seorang pembaca/penafsir – dalam hal ini wakil khusus– dalam membaca teks agar tidak terjadi penyelewengan otoritas harus memenuhi “lima syarat keberwenangan” sebagai prinsip-prinsip penafsiran yang “bertanggung jawab”. Antara lain, kejujujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri. Pada persoalan lain, kenyataan bahwa pembaca/penafsir tidak bebas asumsi, maka dalam menafsirkan terkadang bertentang dengan teks. Dalam kondisi semacam ini pembaca/penafsir harus melakukan jedaketelitian terhadap teks. Maksud dari jeda ini bukan untuk menampik teks atau menolak penetapan tersebut, tapi untuk merenungkan dan menyelidikinya secara lebih mendalam lagi. Ini serupa dengan menggarisbawahi sebuah persoalan untuk kemudian mengkajinya lebih lanjut, dan menangguhkan keputusan hingga kajian tersebut rampung.[78]) Tampaknya pemikiran Abou El Fadl menganut paham “relativitas”. Bukan tanpa alasan Abou El Fadl menganut pemikiran relativitas, sebaliknya pemikiran seperti ini inspirasinya justru –meminjam teorinya Amin Abdullah tentang perkembangan pemikiran Islam yang selalu mendasarkan pada– termuat dalam “normativitas dan historisitas”.[79]) Yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Abou El Fadl, yang digagas dari paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya aplikatif dalam penafsiran al-Qur’an, tapi juga pada teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain, Abou El Fadl telah mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat menjadi prinsipprinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral maupun yang profan).[80])

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca”, dalam El Fadl, Khaled Abou. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Arifin, Zainal (ed.). "Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El Fadl dalam karya Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Woman", dalam www. derizzain.multiply.com. Choir, Tholchatul, Ahwan Fanani (ed.). 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. El Fadl, Khaled Abou. 2001. Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman. Oxford: Oneworld Publication. ----------------------------. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. ----------------------------. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Penerjemah: Helmi Mustofa Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Faiz, Fahruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam. Hamidi, Jazim. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press. http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/ http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/otoritarianisme-catatan-hitam-peradaban. html http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/ http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/ http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/03/08/4039/Wahyu.Tuhan.atau. Tafsir.Manusia. http://www.dinamikaebooks.com/resensi.php?view=details&rid=24 http://www.jaringanislamemansipatoris.com. http://www.wahidinstitute.org/Agenda/Detail/?id=255/hl=id/Khaled_M_Abou_Al_ Fadl_Kelompok_Islam_Radikal_Produk_Sampingan_Kolonialisme_Dan_ Modernitas http://zenzaenal.multiply.com/journal/item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTO-RI TER_DALAM_ ISLAM Nasr, Sayyed Hossein. 1989. Knowledge and The Sacred. New York: State University Press.

[1]) Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Penerjemah: Helmi Mustofa, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 39. [2]) Menurut Khaled Abou El Fadl, "Hukum Islam" adalah sebutan paling mudah dan sederhana bagi kumpulan keputusan, penilaian, dan opini hukum yang sudah terhimpun

selama berabad-abad. Pada tiap masalah hukum, orang akan menjumpai banyak pendapat yang berbeda mengenai apa yang dituntutkan dan diperintahkan oleh hukum Tuhan. Tradisi hukum Islam terwujud dalam karya-karya yang berhubungan dengan teori yurisprudensi dan prinsip-prinsip hukum, opini hukum (fatwa) keputusan hakim dalam kasus-kasus nyata, dan kitab ensiklopedis yang mencatat putusan-putusan positif hukum (ahkam). Ibid., hlm. 181. [3]) http://www.dinamikaebooks.com/resensi.php?view=details&rid=24, diunduh pada tanggal 4 Februari 2010. [4]) http://zenzaenal.multiply.com/journal/item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORI- TER_DALAM_ ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010. [5]) Ibid. [6]) Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 155-156. [7]) Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004). [8]) Khaled Abou El Fadl, Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman, (Oxford: Oneworld Publication, 2001). [9]) M. Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca,” dalam Khaled

Abou El Fadl, Atas…, hlm. vii-viii. [10]) Dikutip dari http://www.jaringanislamemansipatoris.com., diunduh pada tanggal 5 Februari 2010, dan Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam…, hlm. 156-159. [11]) Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta, UII Press: 2005), hlm. 202. [12]) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, (New York: State University Press, 1989), hlm. 71. [13]) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta:Qalam, 2002), hlm. 3. [14]) Ibid., hlm. 11. [15]) Ibid., hlm. 4. [16]) Ibid., hlm. 21-22. [17]) "Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled Abou El Fadl dalam karya Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Woman", hlm. 8, diambil dari www.

derizzain.multiply.com., diedit oleh Zainal Arifin, diunduh pada tanggal 1 Februari 2010. [18]) Dalam kaitannya dengan otoritas Abou El Fadl membedakan jenisnya, yakni otoritas yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Yang pertama untuk

mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Sedang yang terakhir melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif, yakni kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau prilaku seseorang atas dasar kepercayaan (Khaled Abou El Fadl, Atas…, hlm. 37). Abou El Fadl dengan merujuk kepada R.B. Friedman juga membedakan antara orang yang “memangku otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority). Yang pertama diartikan suatu otoritas didapatkan dengan jabatan struktural dan cenderung memaksa kepada orang lain untuk menerima otoritas tersebut. Sedangkan yang kedua suatu otoritas yang didapatkan tanpa jabatan struktural dan paksaan, lebih terbangun dari kesadaran orang lain untuk menerimanya (Khaled Abou El Fadl, Atas…, hlm. 37-40). [19]) http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/, diunduh pada tanggal 2 Februari 2010. [20]) Khaled Abou El Fadl, Speaking…, hlm. 24-26.

[21]) http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/, diunduh pada tanggal 2 Februari 2010. [22]) El Fadl, Atas..., hlm. 37-40 [23]) http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/, diunduh pada tanggal 2 Februari 2010. [24])

Khaled Abou El Fadl, Atas…, hlm. 99. Lihat juga http://zenzaenal.multiply.com/journal/ item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORITER_DALAM_ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010. [25] Ibid., hlm. 100. [26] Ibid. [27] Ibid., 101. [28]) Ibid., 101-102. [29]) Ibid., 103. [30]) http://zenzaenal.multiply.com/journal/ item/4/YANG_OTORITATIF_DAN_YANG_OTORI-TER_DALAM_ISLAM, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010. [31]) Ibid. [32]) Khaled Abou El Fadl, Speaking…, hlm. 93. [33]) Khaled Abou El Fadl, Atas…, hlm. 204. [34]) Ibid., hlm. 206. [35]) Khaled Abou El Fadl, Speaking…, hlm. 142. [36]) http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/, diunduh pada tanggal 1 Februari 2010. [37]) Khaled Abou El Fadl, Atas…, hlm. 212. [38]) Ibid., hlm. 215. [39]) Ibid., hlm. 216. [40]) Ibid., hlm. 216-217. [41]) Ibid., hlm. 217. [42]) Ibid., hlm. 218. [43]) Ibid. [44]) Ibid., hlm. 219. [45]) Ibid., hlm. 220. [46]) Ibid. [47]) Ibid., hlm. 221-222. [48]) Ibid., hlm. 223. [49]) Ibid., hlm 224. [50]) Ibid., hlm. 227. [51]) Ibid. [52]) Ibid., hlm. 228-229. [53]) Ibid., hlm. 229. [54]) Ibid., hlm. 230. [55]) Ibid., hlm. 231. [56]) Ibid. [57]) Ibid., hlm. 234. [58]) Ibid. [59]) Ibid., hlm. 235. [60]) Ibid., hlm. 242. [61]) Ibid., hlm. 243. [62]) Ibid. [63]) Ibid., hlm. 244. [64]) Ibid. [65]) Ibid. [66]) Ibid., hlm. 245. [67]) http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/otoritarianisme-catatan-hitam-peradaban.html, diunduh pada tanggal 3 Februari 2010. [68]) Ibid. [69]) http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/03/08/4039/Wahyu.Tuhan.atau. Tafsir.Manusia., diunduh pada tanggal 4 Februari 2010. [70]) "Hermeneutika…, hlm. 9. [71]) Ibid., hlm. 10. [72]) http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/, diunduh pada tanggal 6 Februari 2010. [73]) http://guntur.name/2007/12/04/membongkar-otoritarianisme-hukum-islam/, diunduh pada tanggal 1 Februari 2010. [74]) Khaled Abou El Fadl, Speaking…, hlm. 32. [75]) Khaled Abou El Fadl, Selamatkan…, hlm. 182-183. [76])

http://www.wahidinstitute.org/Agenda/Detail/?id=255/hl=id/Khaled_M_Abou_Al_Fadl_ Kelompok_Islam_Radikal_Produk_Sampingan_Kolonialisme_Dan_Modernitas, diunduh pada tanggal 6 Februari 2010. [77]) http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/, diunduh pada tanggal 2 Februari 2010. [78]) Ibid. [79]) Lebih lengkap baca M. Amin Abdullah, “Pendekatan…, hlm. vii-xvii. [80]) http://kombas.wordpress.com/category/islam-dan-diskursus-wacana/, diunduh pada tanggal 2 Februari 2010. Joomla SEF URLs by Artio

Pengawasan Pengaduan TLHP Pelanggaran Rekap Sanksi Disiplin Detil Sanksi Disiplin Putusan MKH

Berita Popular Daftar Aset dan Inventaris Peran Dewan Syariah Nasional Pengadilan Agama dalam Ekskusi Grosse Akta LITIGASI SENGKETA PERBANKAN SYARIÂ’AH Titik Singgung Kewenangan Mengadili Islamic Banking Kawin Siri Hukum Waris Islam dan Perwujudan Iman waris Daftar Istilah dalam Peradilan Agama Profil Pengadilan Agama Kendal

Lain-Lain Hikmah Khutbah Rekapitulasi Informasi Bagi Waris Hisab Rukyat SOP Pengelolaan Website SOP Pengelolaan Siadpa Hasil Bantuan Pemanggilan Sop Dokumentasi, Publikasi dan TI Hak Cipta © 2014 Pengadilan Agama Kendal Jl. Soekarno Hatta Km. 4, Brangsong - Kendal Telp. 0294-381490 Fax. 0294-384044 Jawa Tengah, Indonesia - 51371 Joomla template created with Artisteer.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.