September | 2013 | Dan At The Movies [PDF]

Sep 17, 2013 - Dan yang terpenting, seperti beberapa film summer lainnya yang mulai kembali ke basic, Sandler dan Dennis

14 downloads 13 Views 229KB Size

Recommend Stories


review | Dan At The Movies | Page 92 [PDF]
Ketika dewasa, Blu menjadi satu-satunya spesies jantan yang tersisa. ..... yang terjadi akibat banyaknya pembentukan gas biasanya akan dirasakan penderita yang mengeluh frekuensi buang angin mereka meningkat, dan tak jarang diikuti pula dengan ganggu

2011 | Dan At The Movies | Page 2 [PDF]
Sah, namun meninggalkan benang merah excitement-nya terlalu jauh ke belakang, juga bukan tindakan yang diinginkan banyak orang. .... maupun Melayu Sumatra yang juga mengenal bentuk keseniannya dengan nama sama, dan kontroversial atas penggambaran gej

review | Dan At The Movies | Page 95 [PDF]
Dan lebih lagi, Irham, sang sutradara itu, memberikan introduksi panjang lebar juga tentang pemahaman yang, saya yakin, sungguh dalam, bahkan melalui ..... cilik Emir Mahira (Garuda Di Dadaku, Melodi) yang sangat meyakinkan dengan cara berdialog dan

FOX MOVIES Program Schedule September
Don't be satisfied with stories, how things have gone with others. Unfold your own myth. Rumi

the September 2013 Newsletter
Seek knowledge from cradle to the grave. Prophet Muhammad (Peace be upon him)

at 03:22 26 September 2013
Sorrow prepares you for joy. It violently sweeps everything out of your house, so that new joy can find

MEDIA LAW & ETHICS (at the movies) - School of Communication [PDF]
Sep 30, 2016 - 1.2 Films. There will be viewing of six films in this course to augment understanding of media law and ethics. The films include: • Absence of Malice. • All the President's ..... In-Class Activity: Read syllabus, explain structure

Programme Notes Online At the Movies
Ask yourself: Who is your greatest role model? Next

Movies - StarTribune.com [PDF]
Movies opening Dec. 1. Movies opening Friday Bill Nye: Science Guy (not rated) The television personality struggles to promote science. The Breadwinner (PG-13)… Movies. November 25 ...

AZ Movies - Foxtel [PDF]
Apr 14, 2017 - BOlT. FOXTEL MOVIES DISNEY 2008 Family. April 3, 7, 13, 18, 23, 26. John Travolta, Miley Cyrus. For super-dog Bolt, every day is filled with adventure, danger and intrigue – at least, until the cameras stop rolling. BOOgie nighTs. MAST

Idea Transcript


. . Dan At The Movies . .

movie reviews by Daniel Irawan

Archive for September, 2013 METALLICA : THROUGH THE NEVER ; A KICK-ASS DOSE OF METAL MADNESS • September 30, 2013 • 1 Comment Posted in and the beat goes on Tags: Cliff Burton, Dane DeHaan, Dave Mustaine, Gyula Pados, James Hetfield, Jason Newsted, Kirk Hammett, Lars Ulrich, Mark Fisher, Metallica, Metallica : Through The Never, Nimród Antal, Robert Trujillo

RUNNER RUNNER : A FORMULAIC THRILLER THAT FAILED TO OUTPACE • September 29, 2013 • Leave a Comment Posted in dangerous minds Tags: Anthony Mackie, Ben Affleck, Brad Furman, Brian Koppelman, Christophe Beck, David Levien, Gemma Arterton, John Heard, Justin Timberlake, leonardo dicaprio, Mauro Fiore, movie, review, Runner Runner, Yul Vazquez

PENGKHIANATAN G30S PKI : A LOOK BACK TO OUR CINEMATIC GREATNESS • September 29, 2013 • 4 Comments Posted in retrospective, special features Tags: Ade Irawan, amoroso katamsi, arifin c.noer, Bram Adrianto, Embie C. Noer, Farraz Effendy, Hasan Basri Jafar, movie, pengkhianatan g30s pki, review, Syu'bah Asa, Umar Kayam, Wawan Wanisar

INSIDIOUS : CHAPTER 2 ; ROUND CIRCLE OF SCARE • September 29, 2013 • 1 Comment Posted in screamers Tags: angus sampson, insidious, Insidious Chapter 2, james wan, John R. Leonetti, Joseph Bishara, leigh whannell, lin shaye, movie, oren peli, patrick wilson, review, rose byrne, Steve Coulter, ty simpkins

MALAVITA : HERE COME THE BADFELLAS • September 22, 2013 • 2 Comments Posted in dangerous minds, on the funny side of the street Tags: Badfellas, Dianna Agron, Evgueni Galperine, Goodfellas, John D'Leo, Luc Besson, Malavita, Married To The Mob, Martin Scorsese, Michael Caleo, Michelle Pfeiffer, movie, review, Robert De Niro, Sacha Galperine, The Family, Tommy Lee Jones, Tonino Benacquista, We're A Nice Normal Family

2 GUNS : A FUN-PACKED BUDDY ACTION RIDE • September 21, 2013 • Leave a Comment Posted in adrenalination Tags: 2 Guns, Baltasar Kormákur, Bill Paxton, Boom!Studios, Charley Varrick, Denzel Washington, Edward James Olmos, Fred Ward, james Marsden, mark wahlberg, Michael Tronick, movie, Oliver Wood, Paula Patton, review, Robert John Burke, Steven Grant

WANITA TETAP WANITA : AN EFFORT AMONG CLASSIC CONFLICTS • September 21, 2013 • Leave a Comment Posted in destinasian : indonesia Tags: Andhy Pulung, anto hoed, David Dhuha, Dewi Irawan, Didi Riyadi, Fahrani Empel, Furqy, Hotnida Harahap, Ilma Fathnufrida, irwansyah, Lily Nailufar Mahbob, marcell domits, Melly, movie, raffi ahmad, Regina Anindita, Renata Kusmanto, revalina s.temat, review, reza rahadian, Shireen Sungkar, Teuku Wisnu, Wanita Tetap Wanita, Wina Aswir, Yunya Larasati, Zaskia Sungkar

THE FROZEN GROUND : A DECENT ADAPTATION OF TERRIFYING TRUE STORY •September 17, 2013 • 1 Comment

THE FROZEN GROUND

Sutradara : Scott Walker

Produksi : Grindstone Entertainment Group, Emmett/Furla Films, Lionsgate, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg8.jpg)

Among big stars with declining career these days, nama Nicolas Cage adalah salah satunya. Sebagai aktor seangkatan dari era ’80s teen movies dulu, John Cusack juga agaknya tengah menuju kesana. Mereka tetap menambah deretan filmografinya, but sadly, with bad decisions, hingga tak lagi bisa mengangkat karirnya. Padahal, keduanya pernah bertemu di ‘Con Air’ yang sampai sekarang punya status action classic. ‘The Frozen Ground’ kini me-reuni-kan keduanya, namun dalam tone yang jauh berbeda. History itu memang cukup membantu antusiasme para pemirsanya, tapi sayangnya, lagi-lagi terganjal dengan declining status di film-film mereka belakangan, ‘The Frozen Ground’ pun jatuh ke limited theatrical release disertai video on demand di negaranya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg1.jpg)

Dan yang ada di belakangnya adalah Scott Walker, sineas asal New Zealand yang baru memulai karir layar lebar setelah sebuah short film. Awalnya, Walker ingin mengangkat genre crime thriller ala ‘Deliverance’, salah satu film kesukaannya, namun dikenalkan oleh beberapa rekannya pada kisah nyata pembunuhan serial di tahun 1983 yang cukup menakutkan, ia langsung tertarik mengeksplorasinya. Kasus dimana seorang pembunuh serial bernama Robert Hansen akhirnya mengaku telah membunuh lebih dari 20 wanita di daerah pedalaman Alaska itu sekaligus diadaptasi Walker sebagai film layar lebar debutnya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg7.jpg)

Obsesi Sgt. Detektif Jack Halcombe (Nicolas Cage ; disamarkan dari nama asli Glenn Flothe dalam kasusnya) menyelidiki serangkaian pembunuhan terhadap gadis-gadis PSK muda di daerah penjangkaran Alaska membawanya pada sosok psikopat Robert Hansen (John Cusack) yang bersembunyi dibalik statusnya sebagai seorang family man yang bekerja di sebuah toko roti disana. Usahanya mendapat banyak rintangan dari atasan dan jaksa distrik yang meminta Halcombe menyediakan bukti lebih, hingga akhirnya Cindy Paulson (Vanessa Hudgens), seorang PSK berusia 17 tahun yang sempat melarikan diri dari keganasan Hansen jadi senjata ampuh untuk menyeret Hansen ke ranah hukum. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg5.jpeg)

Trend genre thriller with twists belakangan ini memang sudah menenggelamkan genre-genre sejenis yang punya plot dan storytelling linear dengan alasan lebih pintar dalam racikannya, itu benar. But not all thriller with twists berarti bagus, dan sebaliknya. Begitu banyak film-film thriller ’80 ke ’90-an punya pendekatan konvensional dalam storytelling-nya dan berhasil, apalagi yang memang didasari sebuah kisah nyata. Poin-nya sebenarnya lebih mengarah ke sisi bagaimana mereka bisa membangun suspense dibalik performance pendukungnya yang cukup solid, dan ‘The Frozen Ground’ memilih cara konvensional itu. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg3.jpg)

Tanpa perlu berlama-lama menyembunyikan pelakunya atas dasar kisah nyata yang sudah diketahui sebagian orang terutama di daerah asal dan negaranya, Walker yang juga menulis skrip ‘The Frozen Ground’ lebih memilih proses hukum untuk memaparkan ulang kisah nyata mengerikan itu, tapi bukan juga berarti filmnya harus dipenuhi dengan goryness sebagai jualan utamanya. Bagi sebagian orang, pemaparan seperti ini akan terlihat klise dan tolol dibanding banyak film bergenre sama sekarang ini, but it’s overall intentional. Walker lebih memilih pendekatan dengan elemen-elemen kuno genre itu, menyorot konflik psychological dari karakter korban dan sebuah manhunt theme dalam membangun suspense-nya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg6.jpg)

Dan ini sangat berhasil dibawakan oleh tiga ensembel cast utamanya. Nicolas Cage yang memang sebenarnya punya kemampuan akting lebih dan sudah dibuktikannya sejak lama lewat Academy Awards dan penghargaanpenghargaan lainnya, berakting sangat intens sebagai Halcombe yang terobsesi mengungkap kasus ini. It’s often a bit comical, tapi bukan berarti lepas dari proporsi yang diperlukan bagi bangunan karakternya. John Cusack yang cukup jarang mendapat porsi villain juga ternyata bisa bertransformasi dengan cukup solid memerankan Robert Hansen, mostly di bagian-bagian akhir yang meledakkan aktingnya di scene-scene interogasi, namun yang paling bersinar adalah Vanessa Hudgens. Memerankan karakter victim yang punya peran penting dalam pengungkapan kasus nyatanya, bersama kiprahnya dalam ‘Spring Breakers’ yang lebih dulu beredar, Hudgens sudah sangat sukses menunjukkan pendewasaan akting sekaligus statusnya dari teen actress ke adult scenes di ‘The Frozen Ground’. Selebihnya juga masih ada pemeranpemeran pendukung lain yang cukup bagus seperti Kevin Dunn dan Dean Norris. Even 50 Cent dan Jodi Lynn O’Keefe juga mendapat peran singkat yang pas, hanya Radha Mitchell yang tak punya pengaruh banyak dibalik karakternya sebagai istri Halcombe. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/fg4.jpg)

Secara keseluruhan, sebagai sebuah thriller adaptasi dari kasus nyata pembunuhan berantai, ‘The Frozen Ground’ bisa dikatakan cukup berhasil. It might be cliché and conventional, tapi bukan berarti tak jagoan dalam membangun suspense di tengah proses-prosesnya. Tapi yang terbaik dalam ‘The Frozen Ground’ adalah solid performance dari trio Cage – Cusack dan Hudgens dalam menempatkan empati dan emosi terhadap karakter-karakter dibalik kisah nyatanya. Masih ada juga end credits song yang keren dari Nathan Picard, an emo-rock titled ‘Memory Finds You’. Ok, kita mungkin masih perlu diyakinkan dengan kiprah Cage dan Cusack ke depannya untuk benar-benar bisa memberikan welcome return yang layak, namun ‘The Frozen Ground’ jelas jauh lebih baik dari sederet filmografi Cage and Cusack belakangan ini. A decent adaptation of terrifying true story, and it’s surprisingly good. (dan) Posted in dangerous minds Tags: 50 Cent, Dean Norris, Jodi Lynn O'Keefe, John Cusack, Kevin Dunn, Memory Finds You, movie, nicolas cage, Radha Mitchell, review, Robert Hansen, Scott Walker, The Frozen Ground, vanessa hudgens

GROWN UPS 2 : CELEBRATION OF THE ‘80S •September 15, 2013 • Leave a comment GROWN UPS 2

Sutradara : Dennis Dugan

Produksi : Happy Madison, Columbia Pictures, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu29.jpg)

Genre komedi, memang hampir selalu akan berhadapan dengan like or dislike terhadap objeknya. Nama Adam Sandler adalah salah satunya yang jumlah penggemarnya juga hampir sama banyak dibarengi para haters, mostly critics. Tapi kenyataannya, dibalik sick jokes-nya yang kadang kelewat kasar, Sandler masih mampu bertahan dalam industrinya dibalik sejumlah komedian-komedian baru, sekaligus jadi jaminan untuk box office, tak peduli satu atau dua film komedinya juga ada yang tak terlalu laku bahkan kerap diganjar Razzie Awards. Dan satu sisi yang baik di luar film, sama seperti ratarata filmnya yang mau segila apapun tak pernah melupakan sisi warmness di konklusinya, Sandler selalu memberi jalan untuk talent-talent komedi baru, mostly alumnus ‘Saturday Night Live’, bahkan memproduseri mereka dibawah bendera Happy Madison miliknya. So like it or not, ia memang masih jalan terus dengan film-film barunya, dan sekarang adalah giliran ‘Grown Ups’ yang juga merupakan sekuel pertama dari deretan filmografi Sandler. Masih belum percaya? Well, box office-nya hingga saat ini sudah melewati 200 juta dolar dan masih akan bertambah dengan peredarannya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu21.jpg)

Kembali ke kampung halamannya di Connecticut, empat sahabat dalam ‘Grown Ups’ minus Rob Schneider ; Lenny Feder (Adam Sandler), Kurt McKenzie (Chris Rock), Eric Lamonsoff (Kevin James) dan Marcus Higgins (David Spade) beserta keluarganya harus menghadapi isu anak-anak mereka yang tengah tumbuh dewasa. Kalau Lenny, Kurt dan Eric masing-masing sudah memiliki anak, Marcus kali ini harus berurusan dengan putra 13 tahun yang baru dikenalnya, Braden (Alexander Ludwig), yang ternyata punya postur jauh lebih besar serta sangat temperamental. Lenny juga masih harus menghadapi trauma lamanya dibalik sosok Dennis Cavanaugh (Steve ‘Stone Cold’ Austin) yang kini jadi kekasih guru balet seksi putrinya (April Rose), dan mantan kekasih psycho masa SMU-nya, Penny (Cheri Oteri). Tapi diatas semuanya, ancaman terbesar bagi mereka adalah para Frat Boys yang dipimpin oleh Andy (Taylor Lautner) dan tangan kanannya Milo (Milo Ventimiglia). School’s badass yang merasa terganggu dengan Lenny dan sahabat-sahabatnya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu23.jpg)

Oh yes. Sekuel ini tetap membawa formula sick jokes serba kasar Sandler dalam pakem yang sama seperti pendahulunya. That so-called toilet humor, no brain-slapsticks yang menggunakan hal-hal jorok secara fisik dari muntah, poop and urination hingga jagoan mereka kali ini, burpsnart (burp sneez and fart at the same time) yang sangat mendasar bagi penonton awam. Tapi jangan lupa. Muatan itu memang sudah jadi trademark Sandler dari dulu-dulu dan sesuai dengan sasarannya. Melucu tanpa lantas jadi pretensius menyematkan pesan apapun di tengah-tengah sick jokes tadi, sementara kebiasaannya memuat pesan-pesan interaksi antar keluarga itu baru hadir sebagai konklusinya secara terpisah seperti biasa di bagian-bagian akhir. Resikonya bukan tak ada, namun walaupun nyaris seperti vignettes atau sketsa komedi, plot dasarnya tak lantas jadi sepenuhnya tertinggal di belakang. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu22.jpg)

Kecuali Rob Schneider, main cast dari film pertamanya juga tetap hadir. Ada Salma Hayek yang memerankan istri Lenny, Maya Rudolph for Chris Rock dan Maria Bello for Kevin James, Steve Buscemi ditambah seabrek dukungan dari Jon Lovitz, Shaquille O’Neal, standup comedian Nick Swardson bersama alumnus ‘Saturday Night Live’ yang biasa nongol di film-film Sandler ; Andy Samberg, Peter Dante, Jonathan Loughran dan Allen Covert. Taylor Lautner, Milo Ventimiglia, Alexander Ludwig dan Patrick Schwarzenegger (putra Arnold Schwarzenegger) yang berada di deretan pemeran muda juga memberikan dayatarik plus buat ‘Grown Ups 2’, lengkap dengan self-mocking Lautner ke ‘Twilight’ dan tampilan Ventimiglia yang jadi luarbiasa menyebalkan dengan rambut pirangnya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu28.jpg)

But here’s the most interesting part. Bahwa tribute to ‘80s pop culture yang biasanya tetap masuk ke dalam film-film komedian generasi Sandler, kini benar-benar menjadi bagian utuh dari third act-nya secara taktis. Meski mungkin akan sangat segmented, tapi buat penonton yang bisa mengenali satu-persatu trivia dari klimaks ini, ‘Grown Ups 2’ bakal membangun genuinely hilarious nostalgic moments dalam gelaran komedinya. Dari lagu-lagu ‘80s seperti ‘Cherry Pie’-nya Warrant, ‘Heaven’-nya Bryan Adams, ‘Bizarre Love Triangle’-nya New Order, ‘Relax’-nya Frankie Goes To Hollywood hingga Reo Speedwagon’s ‘Live Every Moment’ untuk end credits song dan penampilan khusus J. Geils Band membawakan hit mereka ‘Centerfold’, tribute ke ‘The Warriors’-nya Walter Hill yang baru saja menginspirasi dalam ‘KickAss 2’ berikut beberapa ’80s teen movies, dan pastinya cosplay ke glamorous artist ’80-an dari Prince, Hall & Oates, Bruce Springsteen, Michael Jackson, Boy George, Cyndi Lauper, Madonna and many more. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/gu241.jpg)

So that’s it. ‘Grown Ups 2’ jelas tak lari jauh dari pendahulunya. Jadi jangan harapkan Sandler haters bakal merubah cemoohan mereka ke sekuel ini karena formula-nya kurang lebih masih sama. Those who hate it bisa memilih tontonan lainnya. While for the others, jokes-jokes ala Sandler, no matter how sick dan menyentuh wilayah-wilayah toilet, pasti tetap bisa meledakkan tawa. Dan yang terpenting, seperti beberapa film summer lainnya yang mulai kembali ke basic, Sandler dan Dennis Dugan, sutradara langganannya, juga tak lupa membawa kita ke hal paling mendasar dari keberadaan summer movies sebagai tontonan hiburan murni. This time, they aim the ‘80s, and the result is a totally hilarious carnivale. What a celebration! (dan) Posted in on the funny side of the street Tags: '80s, Adam Sandler, Alexander Ludwig, Allen Covert, Andy Samberg, April Rose, Cheri Oteri, Chris Rock, David Spade, Dennis Dugan, Frankie Goes To Hollywood, Grown Ups, Grown Ups 2, J. Geils Band, Jon Lovitz, Jonathan Loughran, Kevin James, Maria Bello, Maya Rudolph, Milo Ventimiglia, movie, New Order, Nick Swardson, Patrick Schwarzenegger, Peter Dante, Reo Speedwagon, review, Salma Hayek, Shaquille O'Neal, Steve Austin, Steve Buscemi, Taylor Lautner, Warrant

KICK-ASS 2 : A SEQUEL ROLLED OUT OF TEMPO •September 15, 2013 • Leave a comment KICK-ASS 2

Sutradara : Jeff Wadlow

Produksi : Marv Films, Plan B Entertainment, Universal Pictures, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka28.jpg)

Beyond controversies, ‘Kick-Ass’ is simply one of the kind. Diangkat dari komik karya Mark Millar dan John Romita, Jr., penggabungan costumed superhero dengan explicit violence and profanity memang berpotensi mengundang banyak perdebatan, apalagi mereka menempatkan anak-anak di bawah umur sebagai pelakunya. Tapi siapa yang bisa menolak box office tinggi yang sejalan dengan resepsi bagus serta cult following yang kuat dari hasilnya? Walaupun Jim Carrey akhirnya menolak untuk memberi support-nya atas kasus penembakan di Sandy Hook Elementary School tempo hari, toh mereka berjalan terus dengan konsep yang ada. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka26.jpg)

Menggabungkan sekaligus dua komik sebagai source-nya, ‘Kick-Ass 2’, tetap dari Millar dan Romita, Jr. dengan ‘Hit Girl’ spin off yang lebih berupa bridge dari komik pertama ke sekuelnya, sutradara Matthew Vaughn kini hanya duduk sebagai produser. Penyutradaraannya diserahkan pada Jeff Wadlow (‘Cry Wolf’, ‘Prey’ and ‘Never Back Down’) atas pilihan Vaughn sendiri, dengan skrip yang ditulis Wadlow bersama Chad Gomez – Dara Resnik Creasey (uncredited). Walau sedikit berbeda dari gabungan dua komik itu, formulanya tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Tetap dengan keahlian Millar menggabungkan referensi-referensi superhero ke dalam kisahnya, terlebih dengan masuknya Carrey sebagai Colonel Stars and Stripes untuk mendampingi real-life superhero characters-nya, seakan menempati porsi Nicolas Cage sebagai Big Daddy di film pertama. Kesuksesan franchise itu juga membuat semua cast utamanya bersedia tampil kembali. Now let’s look at the plot. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka23.jpg)

Beberapa tahun setelah ‘Kick-Ass’, Dave Lizewski a.k.a. Kick-Ass (Aaron Taylor-Johnson) kini memilih pensiun setelah mengetahui aksinya sudah menginspirasi banyak orang untuk beraksi memerangi kejahatan sebagai real-life superheroes dalam berbagai bentuk. Sementara Mindy Macready a.k.a. Hit Girl (Chloë Grace Moretz) yang masih sulit melepas alterego-nya diasuh oleh petugas polisi Marcus Williams (Morris Chestnut) yang mengekangnya agar bisa kembali ke kehidupan normal. Namun masa istirahat itu tak berlangsung lama, apalagi ketika Chris D’Amico (Christopher MintzPlasse) yang masih menyimpan dendam pada Kick-Ass kini merubah identitasnya menjadi ‘The Motherfucker’ dan mengumpulkan super villain lain bersama pelayan setianya, Javier (John Leguizamo) untuk membuat kekacauan di kota. Dave pun bergabung dengan tim superhero ‘Justice Forever’ dibawah pimpinan Colonel Stars and Stripes (Jim Carrey), dan Mindy yang tak tahan dengan usaha Marcus menyandingkannya dengan dance team cewek-cewek populer di sekolah kembali memakai kostumnya. Namun The Motherfucker juga sudah merancang rencana cermat untuk menjebak Kick-Ass lewat orang-orang terdekatnya. Ketika korban mulai berjatuhan dan polisi mulai meringkus satu persatu real-life superheroes yang dianggap mulai meresahkan keamanan, Kick-Ass dan Hit Girl harus beraksi sekali lagi untuk menuntaskan segalanya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka22.jpg)

Diprediksi gagal mencetak box office menyamai pendahulunya dari hasil yang ada hingga saat ini berikut resepsi negatif dari banyak pihak, kelemahan terbesar dari sekuel ini adalah plot dan karakterisasi yang dikembangkan kelewat penuh sesak oleh Wadlow berdasar dua source komiknya sekaligus. In those two comics mungkin tak mengapa, tapi ke adaptasi film, dengan subplot-subplot yang mungkin membuat Wadlow jadi ingin menyempalkan tone senada ke beberapa film lain dan keterusan di beberapa bagian, ‘Kick-Ass 2’ jadi sangat kehilangan pace-nya. Not only ‘Mean Girls’, ada juga ‘The Warriors’-nya Walter Hill seperti diakui Mintz-Plasse dalam sebuah interview-nya, juga the upcoming ‘Carrie’ yang sama-sama dibintangi Moretz. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka24.png)

Banyak karakter-karakter baru itu juga gagal dieksekusi secara lebih adil dalam wujudnya sebagai sebuah costumed superhero movie. Donald Faison sebagai Doctor Gravity, Robert Emms sebagai Insect Man, Steven Mackintosh – Monica Dolan sebagai superhero couple Remembering Tommy, dua sahabat Dave yang diperankan Clark Duke dan Augustus Prew masing-masing sebagai Battle Guy dan Ass Kicker yang masih mendapat subplot dan sempalan konflik lagi, and mostly Jim Carrey sebagai Colonel Stars and Stripes, Garrett M. Brown sebagai ayah Dave dan Lindy Booth sebagai Night-Bitch yang punya hubungan ke Kick-Ass, seharusnya dieksplorasi lebih karena punya fungsi sebagai conflict turnover-nya. Belum lagi menyebut super villains anggota ‘The Toxic Mega-Cunts’ –nya The Motherfucker, yang hanya menyisakan Mother Russia, diperankan oleh bodybuilder Rusia Olga Kulkurina, yang benar-benar jadi highlight menarik disini. Wadlow agaknya lebih memilih Morris Chestnut, John Leguizamo dan Claudia Lee yang memerankan Brooke, leader of the dance team dalam plot-plot bully sekolahan itu untuk mendapat porsi lebih. Tak salah memang karena semuanya punya peranan dalam plotnya yang tumpang tindih, tapi terasa tak seimbang dengan keperluan storytelling-nya secara keseluruhan. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka210.jpg)

Though however, sekuel ini jelas masih menyisakan konsep yang ingin disaksikan semua fans-nya. Sisi kesadisannya masih tampil dengan sangat seru dan eksplisit meskipun final showdown-nya gagal mengimbangi adeganadegan aksi lain di sepanjang film dan pastinya tak lagi memunculkan shocking value sebesar film pertama dalam blend keseluruhannya. Taylor-Johnson – Mintz-Plasse and mostly Moretz yang tetap jadi yang terbaik, terlihat kian matang masuk ke dalam karakter-karakter superhero dan villain franchise ini berikut punchline-punchline komikalnya yang lucu. Scoring dari Henry Jackman (kini hanya didukung Matthew Margeson) juga masih tampil dengan kuat dibalik main theme ‘Kick-Ass’ yang cukup memorable walaupun pilihan lagu-lagu dalam OST-nya tak sekuat instalmen pertama. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka27.jpg)

Jadi begitulah. As a sequel to that so remarkable predecessor, ‘Kick Ass 2’ surely not tapped out yet . Beberapa formula orisinilnya masih bekerja dengan baik sebagai pengisi summer movies tahun ini baik dalam adegan-adegan aksi yang sadis dan sickjokes comedy-nya. Hanya saja, plot dan karakterisasi yang tak tergarap dengan seimbang itu membuatnya kehilangan pace di tengah-tengah. A li’l rolled out of tempo, lack of emotion dan jelas gagal mengimbangi kiprah Vaughn di instalmen sebelumnya. Now here’s an advise, untuk tak cepat-cepat keluar setelah film berakhir karena masih ada post credits scene yang cukup menarik di penghujungnya. (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ka21.jpg) Posted in myths and legends Tags: Aaron Taylor-Johnson, Augustus Prew, Carrie, Chad Gomez Creasey, Chloë Grace Moretz, Christopher Mintz-Plasse, Clark Duke, Claudia Lee, Dara Resnik Creasey, Donald Faison, Garrett M. Brown, Henry Jackman, Hit Girl, Jeff Wadlow, Jim Carrey, John Leguizamo, John Romita, jr., kick ass, Kick-Ass 2, Lindy Booth, Mark Millar, Matthew Margeson, Matthew Vaughn, Mean Girls, Monica Dolan, Morris Chestnut, movie, Olga Kulkurina, review, Robert Emms, Steven Mackintosh, The Warriors

PLANES : A SMALL SPIN-OFF THAT WORKS •September 14, 2013 • 1 Comment PLANES

Sutradara : Klay Hall

Produksi : Walt Disney Pictures, DisneyToon Studios, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl10.jpg)

Here’s the truth. Disney, bukan hanya membuat animasi. Jauh dibalik itu, mereka memang memasarkan banyak produk-produk seputar franchise-franchise yang dimilikinya. Jadi, kepentingan satu sama lain jelas tak bisa dipisahkan. Termasuk dengan Pixar yang jadi bagian dari mereka. Bagi sebagian orang, aji mumpung. Buat yang lain, ini trik pasar. Jadi tak perlu heran bila ‘Cars’ sebagai produk Pixar yang selalu dianggap jauh lebih inovatif dari Disney sendiri, kini punya semacam spin-off dari Disney. Bukan Pixar. Well yes, resikonya cukup besar. Belum apa-apa, akan sudah banyak orang mencibir. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl4.jpg)

Belum lagi dengan kenyataan bahwa ‘Cars’ sebagai produk Pixar tak mendapat resepsi sebesar animasi-animasi mereka lainnya. Meski perolehan box office-nya sudah berlanjut ke sekuel ‘Cars 2’, berikut penjualan merchandise yang cukup masif, kebanyakan orang tetap menganggap ‘Cars’ lebih kids-friendly dibanding the other Pixar’s. ‘Planes’ pun kian terpuruk dengan cacian bahkan sebelum ditayangkan. Some said, ‘Unnecessary remake with just a different set’, while others : ‘so now those Cars have wings?’, and so on. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl9.jpg)

But do look around you, mostly if you’re hanging out with kids. They love ‘Cars’ that much. Dan Disney company sejak kelahirannya tak pernah diperuntukkan buat penonton dewasa. Even Pixar’s. This is the treat for the small ones, dari tim DisneyToon yang selama ini sudah kita saksikan dalam instalmen-instalmen ‘Tinkerbell’, diantaranya. Termasuk sutradara Klay Hall dan penulis Jeffrey M. Howard, walau konsepnya tetap datang dari John Lasseter. Mereka pun awalnya tak merencanakan ‘Planes’ untuk bioskop tapi hanya sekedar animasi direct to video. Hanya mungkin, mereka melihat peluang lebih dalam pemasarannya, termasuk ke pengembangan merchandise, tentunya, hingga akhirnya dirilis sebagai film layar lebar menyusul ‘Pooh’s Heffalump Movie’ (2004) dari divisi DisneyToon yang jarang-jarang diperuntukkan untuk bioskop. If you’re willing to accompany your little ones, silahkan pakai bukan hanya kacamata 3D, tapi juga kacamata mereka untuk bisa menikmatinya. It’s that simple. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl11.jpg)

Walau takut pada ketinggian, pesawat cropduster Dusty Crophopper (Dane Cook) punya mimpi untuk menjadi pesawat air race. Tanpa mendengarkan nasehat atasannya, Leadbottom (Cedric The Entertainer) dan petugas mekanik Dottie (Teri Hatcher), Dusty nekat mengikuti kualifikasi dalam event air race ‘Wings Across The World’ hanya dengan dukungan temannya, Chug si truk minyak (Brad Garrett). Di tengah cemoohan banyak pihak, secara tak terduga Dusty berhasil masuk ke babak kualifikasi, dan Skipper Riley (Stacy Keach), pesawat perang navy yang sudah dikandangkan berbalik bersedia menjadi mentornya. Posisi Dusty mulai menanjak dengan rekan-rekan barunya, pesawat balap Meksiko El Chupacabra (Carlos Alazraqui) dan French-Canadian Rochelle (Julia Louis-Dreyfus). Masih ada pesawat India Ishani (Priyanka Chopra) yang menarik perhatiannya serta Bulldog (John Cleese) yang sempat diselamatkannya, namun diatas semuanya, berhadapan dengan juara bertahan Ripslinger (Roger Craig Smith) yang arogan. Menempuh balapan keliling dunia, Dusty harus membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi yang terbaik. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl7.jpg)

Sejauh tak datang dengan ekspektasi menikmati produk Pixar, ‘Planes’ sungguh tak sejelek cemoohan kritikus kebanyakan. It might be kids-friendly, tapi tak sampai seperti animasi-animasi ‘Winnie The Pooh’ bahkan Disney fairies sekalipun, yang sebenarnya juga bukan animasi yang digarap sekedarnya. Plot-nya juga serba zero to hero cliche, tapi lagi, ini memang sebuah animasi Disney yang lebih diperuntukkan bagi pemirsa belia. Susunan voice talents-nya pun seperti versi kelas 2 dari ‘Cars’ dengan Dane Cook dan Stacy Keach yang menempati formula Owen Wilson dan Paul Newman di ‘Cars’. But do remember, bahwa Disney maupun Pixar tak pernah juga berfokus di aktor-aktor kelas atas sebagai voice talents mereka selama ini bila dibandingkan dengan DreamWorks dan pesaing lainnya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl6.jpg)

Paling tidak, deretan voice talents yang mendukung Cook dan Keach masih cukup dikenal. Selain Teri Hatcher, Cedric The Entertainer, Julia Louis-Dreyfus hingga komedian senior Inggris John Cleese, ada pula Bollywood’s Priyanka Chopra serta dua bintang ‘Top Gun’ sebagai bagian dari tributes yang sangat terasa ke genre-nya, Anthony Edwards dan Val Kilmer. Scoring dari Mark Mancina yang pas sekali mengiringi atmosfer air race –nya dengan patriotic atmosphere juga jadi satu keunggulan bersama anthem theme song dari artis Christian dan Southern Rock Mark Holman ‘Nothing Can Stop Me Now’. Melekat erat dengan genre-genre sejenis tentang pesawat, bak ‘Top Gun’ atau ‘Iron Eagle’, tak ada yang lebih pas dari genre 80s pop rock sekaligus sebagai variasi ke film-film Disney lainnya yang lebih sering menyematkan lagu-lagu pop dari talent-talent belia sekarang ini. Dan selain ‘Nothing Can Stop Me Now’, masih ada Jon Stevens, mantan vokalis INXS pasca Michael Hutchence dengan ‘Fly’. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl8.png)

But above all, keunggulan terjelas ‘Planes’, dan mungkin jadi satu alasan tepat untuk membawanya jadi konsumsi layar lebar adalah visual yang bagus. Tanpa harus dibanding-bandingkan dengan teknologi animasi di ‘Cars’, tim Disney cukup bisa mengimbangi visualnya untuk tak kelihatan terlalu jauh berbeda, dengan gimmick 3D yang sama menariknya pula. So come on, kids-friendly and cliches aint always mean bad. Yang lebih penting adalah bagaimana mengemasnya sebagai tontonan yang menghibur tanpa harus berusaha kelihatan lebih pintar, mostly because ini adalah animasi Disney buat tontonan segala usia. Again, don’t listen to bad critics, kecuali Anda memang tak bisa akrab dengan film-film semacam ini. A small spin-off it might be, but still charmingly works. Entertaining! (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/pl1.jpg) Posted in sunday morning flicks Tags: Anthony Edwards, Brad Garrett, Carlos Alazraqui, Cars, cedric the entertainer, Dane Cook, DisneyToon Studios, Jeffrey M. Howard, John Cleese, John Lasseter, Jon Stevens, Julia Louis-Dreyfus, Klay Hall, Mark Holman, Mark Mancina, movie, Nothing Can Stop Me Now, Pixar, Planes, Priyanka Chopra, review, Roger Craig Smith, Stacy Keach, Val Kilmer

RIDDICK : OFF THE HOOK AND INTO PITCH BLACK •September 13, 2013 • Leave a comment RIDDICK

Sutradara : David Twohy

Produksi : Radar Pictures, One Race Films, Universal Pictures, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd9.jpg)

How well did you know ‘Riddick’? Originated dari sebuah sci-fi action adventure ‘Pitch Black’ di tahun 2000 yang digarap sutradara David Twohy dengan bujet serba terbatas namun tanpa diduga menjadi sleeper hit, karakter one of the last kind antihero dari planet bernama Furya ini berkembang menjadi franchise. Berbeda dari kebanyakan sci-fi adventure di zamannya, hal terbaik dalam ‘Pitch Black’ memang karakter Riddick yang ditempatkan sebagai bagian penting dari twistnya sendiri. An unpredictable character turnover, yang sekaligus membawa Vin Diesel ke popularitasnya sebagai action hero Hollywood. Jadi wajar saja kalau Diesel dan Twohy memberikan respek besar terhadap franchise ini. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd2.jpg)

Sayangnya, sekuel ambisius yang dilanjutkan Universal dengan bujet jauh lebih gede, ‘The Chronicles Of Riddick’, tetap disutradarai David Twohy, tersandung dengan ambisinya sendiri. Juga Diesel yang lebih memilih sekuel ini dan langsung terjun ke kursi produser ketimbang ‘The Fast And The Furious’ waktu itu. Membawa petualangan Riddick lebih jauh ke sebuah universe dengan detil seabrek yang dipaksa muncul sekaligus dalam satu instalmen plus animated and videogames companion, tak hanya memperoleh cacian dari para kritikus, raihan box office-nya juga tergolong hanya lebih tipis dari bujetnya. Begitupun, statusnya sebagai cult movie dengan cult following cukup gede mungkin membuat Twohy dan Diesel tak mau berhenti begitu saja disana. Butuh waktu hampir sepuluh tahun, akhirnya franchise-nya berlanjut ke instalmen ketiga dengan judul singkat. ‘Riddick’. Rentang panjang itu memang membuat generasi penontonnya sedikit terbagi antara fans Riddick atau sekedar membawa nama Vin Diesel yang sudah jauh lebih sukses di Hollywood. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd7.jpg)

Tetap ditulis Twohy, ‘Riddick’ memang digagas secara cukup taktis. Sadar dengan kesalahan mereka di ‘The Chronicles Of Riddick’, instant universe dengan segala macam istilah dan penokohan itu dikembalikan Twohy di first actnya kembali ke tone yang jauh lebih ‘Pitch Black’. Cat and mouse thriller in a stranded planet sebagai dasar sci-fi action adventure-nya, bahkan dengan sedikit kontinuitas langsung ke instalmen pertama itu, dimana Riddick harus kembali menggunakan kemampuan terbaiknya. Lepas dari Necromongers, Riddick menemukan dirinya dalam keadaan terluka di sebuah planet panas terdesolasi, ia pun mencoba bertualang mencari jalan keluar. Namun sinyal yang dikirimkannya ke sebuah mercenary station malah membuka identitasnya dan mengundang dua kelompok mercenary datang untuk meringkusnya. Yang pertama, bounty hunters sadis pimpinan Santana (Jordi Mollà), serta menyusul kemudian sekelompok mercenary profesional yang dikepalai Boss Johns (Matthew Nable). Di tengah benturan antar dua kelompok ini, bersama monster-monster buas Mud Demons dan badai angkasa yang siap menyerang, Riddick harus berjuang untuk bisa keluar hidup-hidup. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd4.jpg)

Keputusan Twohy untuk mengembalikan petualangan Riddick ke ‘Pitch Black’-like tone yang lebih simpel untuk mengedepankan sisi action-nya, termasuk dalam bujet pembuatannya yang kembali menipis, memang tepat. Meski sebagian menuduh ‘Riddick’ tak ubahnya seperti ‘Pitch Black’ re-do, pilihan ini jadi terasa sangat efektif dalam sisi hiburannya. Bagian-bagian awalnya memang sedikit tersendat-sendat dengan pengalihan atmosfer dari ‘The Chronicles Of Riddick’ yang tetap menampilkan Karl Urban dalam peran singkatnya sebagai Vaako. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd5.jpg)

But once the engine starts, cat and mouse thriller dimana Riddick menghadapi sekelompok serdadu dan algojo-algojo ganas di tengah stranded planet itu benar-benar jadi sebuah sajian penuh aksi yang seru. Vin Diesel, as ever, tentu saja masih memerankan Riddick dengan gestur yang pas, sekalipun kita sudah mengenal karakterisasi antihero-nya. Masih ada pula pameran creature effects untuk menambah excitement-nya dibanding ‘Pitch Black’ yang lebih serba fokus ke konflikkonflik manusiawi karakternya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd6.jpg)

Deretan cast pendukungnya juga cukup pas dengan action atmosphere-nya. Formula dan susunan karakternya mungkin masih terasa mengadopsi ‘Pitch Black’, namun Matthew Nable, Jordi Mollà dan Katee Sackhoff sama-sama menjadi pendukung kuat untuk Diesel, dan masih ada tampang-tampang sangar Dave Bautista dan Bokeem Woodbine diantaranya, yang hampir semua muncul dengan sangat believable dibalik karakter mereka. They’re playing mercenaries, bounty hunters, dan itu juga yang kita lihat di penokohannya. Menyaksikan perseteruan karakter-karakter gahar ini di tengah perburuan Riddick tanpa bisa dipungkiri memang membangun pameran action-nya menjadi sangat intens. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/rd8.jpg)

So begitulah. Masih terlalu dini mungkin untuk memastikan apakah Riddick bakal melanjutkan lagi petualangannya lewat ending yang sedikit banyak membuka kemungkinan itu, but meanwhile, instalmen ketiga ini berhasil menyelamatkan franchise itu dari ruang sempit bak tali kekang yang menghalangi potensinya demi sebuah ambisi kelewat besar. Walau tak sebaik ‘Pitch Black‘ yang sangat inovatif di masanya, ini jauh lebih universal daripada instalmen kedua yang memaksa penontonnya mengerinyitkan kening buat mengingat satu-persatu isi universe penuh CGI-nya. Serba mewah, bisa jadi, tapi juga penuh sesak hingga tak lagi menyisakan aksi yang layak. This time, Twohy brought it ot its basic. Just like Riddick, it’s off the hook, and once again into Pitch Black. (dan) Posted in myths and legends Tags: Bokeem Woodbine, Dave Bautista, David Twohy, Jordi Molla, Katee Sackhoff, Matthew Nable, movie, Pitch Black, review, Riddick, The Chronicles Of Riddick, vin diesel

AZRAX : MELAWAN SINDIKAT PERDAGANGAN WANITA ; AN ‘X’ OF MANY, MANY, ‘X’NESS •September 11, 2013 • 10 Comments AZRAX : MELAWAN SINDIKAT PERDAGANGAN WANITA

Sutradara : Dedi Setiadi

Produksi : Brajamusti Film, 2013

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az13.jpg)

Katanya, salah satu masalah di perfilman kita adalah stagnansi tema. Saya lebih memilih menyebut genre, dimana yang hadir sepuluh tahun terakhir ini hampir tak berkembang dari kesamaan genre. Kalaupun ada satu dua, tetap tak sampai memunculkan trend. Walau sebelumnya bukan tak ada, ‘The Raid’ mungkin sudah membangun kembali kecintaan penonton kita terhadap genre action, yang dulu sekali sempat jadi trend di film-film kita. Sayangnya, setelah itu, hampir tak ada yang bisa menyamai kualitasnya, dan tetap tak membuat genre action jadi membanjir.

But then, bersama banyak fenomena-fenomena aneh yang ada di negeri ini, comes AA Gatot. A man quite well known sebagai seorang guru spiritual dibanyak beberapa gosip-gosip artis, controversially came out of nowhere untuk memimpin salah satu organisasi keartisan paling dikenal di perfilman kita sejak dulu, setelah kiprahnya di beberapa film seperti ikut bermain di ‘Ummi Aminah’ dan memproduksi ‘Tanah Surga, Katanya’, film terbaik FFI 2012, AA Gatot menggebrak genre ini lewat ‘Azrax : Melawan Sindikat Perdagangan Wanita’ dengan beberapa “kehebatan” lain.

Salah satunya adalah memadukan action dengan banyak aspek lain. Skrip yang ditulis Didi Surya dengan dialogdialog bercitarasa tinggi itu berisi semi biopik ke karakternya, drama, reliji yang mengajarkan banyak kebaikan, pesan moral yang katanya bertujuan untuk mengetuk hati pemerintah tentang masalah ketenagakerjaan negeri ini terutama di masalahmasalah TKI, hingga komedi yang jadinya jauh lebih besar dalam porsi tak terduga (baca = unintentionally). And might be inspired dari banyak film-film India daerah, seperti yang disebutkan tim pembuatnya sendiri, bahwa mereka ingin membuat sebuah hiburan untuk masyarakat menengah ke bawah yang mereka sebut ‘film kampung’, balutan keseluruhan dipenuhi dengan ‘WTF moment’. Exploitation genre. Lengkap pula dengan scoring memorable dari Viky Sianipar, twist ‘everything is (somehow) connected‘ yang melebihi ‘Cloud Atlas‘ dan sepenggal adegan ending yang entah seolah jadi keseharian pemeran utamanya, bahkan belum pernah terpikirkan oleh sineas manapun, diakhiri dengan kata TAMAT (pake ‘deh‘).

Oh, tak ada yang salah dengan pendekatan-pendekatan ‘WTF’ atau eksploitatif dalam film-film hiburan memang, tapi ‘Azrax’ datang dalam porsi yang sungguh berbeda, termasuk dengan penokohan teramat sangat unik dibalik gestur akting AA Gatot dengan rambut separuh gondrong-nya, hingga sulit memasukkannya ke salah satu genre yang selama ini sudah dikenal. See the trailer and you’ll know, this is something you haven’t seen before. Lupakan segala masalah yang ada dibalik pembuatannya sampai kabarnya tertunda cukup lama. Lupakan juga film-film KKD. But if you think movies like ‘Rantai Bumi’-nya Ki Kusumo, ‘Sajadah Ka’bah‘-nya Rhoma Irama, ‘The Mentalist’-nya Deddy Corbuzier vs Limbad bahkan ‘Dunia Lain The Movie’ hingga ‘Pemburu Hantu The Movie’ adalah sesuatu yang ‘epik’ dibalik narsis-narsis orangorangnya, percayalah. ‘Azrax’ akan melampaui semuanya. Melebihi rasa opor jantung pisang kegemarannya, ‘Azrax’ adalah sebuah mahakarya. An ‘X’ of many, many ‘X’-ness, terserah Anda apa itu ‘X’-nya. Easily the best Indonesian movie in many, many, years. Even Chuck Norris bakal cemburu setengah mati. OH HELL. I’M JUST KIDDING!

Now here’s the serious part. Kali ini blog saya kedatangan seorang kontributor yang mungkin akan jauh lebih mampu mendeskripsikan ke-epix-an film ini. Tanpa perlu menyebut nama, kalau mau mengenalnya lebih jauh, silahkan follow akun twitter @ritvisu . Katanya, demi twist, biarlah identitasnya menjadi misteri. Persis seperti Mamang. Enjoy!

Indonesia pernah punya tokoh-tokoh jagoan fiksi film lokal. Sebut saja Jaka Sembung, Rawing, Gobang & banyak lagi jagoan-jagoan lainnya. Di abad sosial media seperti sekarang ini Indonesia pun mengeluarkan Azrax sebagai jawaban atas munculnya tokoh jagoan Hollywood seperti Riddick, Jason Bourne atau bahkan Borat. Lalu apa keistimewaan Azrax dari jagoan-jagoan Hollywood?

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az5.jpg)

Kita mulai plot film yang berjudul: ‘Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita’. AA Gatot (Azrax) (Gatot Brajamusti) adalah seorang alim ulama yang memiliki pesantren yang memiliki santri-santri anak yatim berjumlah kurang lebih sama dengan jumlah anak-anak yang riang gembira bermain di Neverland. Hanya saja bedanya kalau anak-anak Neverland memiliki kesibukan bermain riang gembira sambil sesekali bertempur dengan komplotan bajak laut pimpinan Captain Hook, di pesantren Azrax ini anak-anak yatim berkesibukan belajar agama sambil sesekali berebutan menyikat singkong rebus milik Ustadz Azrax.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az14.jpg) Suatu hari, disebuah siang dimana Azrax hendak menunaikan hajat makan siangnya, Azrax mendapat laporan bahwa di kebun miliknya ada seorang perempuan yang disinyalir sedang dikejar oleh beberapa orang penjahat. Karena Azrax memiliki sifat membela kaum yang lemah & tertindas, maka Azrax pun langsung membela sang perempuan dengan menghadapi para penjahat tersebut. Karena kita tau bahwa seorang Ustadz atau Kiai itu selain paham tentang agama & otomatis juga jago beladiri sekaligus pandai mengusir setan, maka tentu saja Azrax dapat dengan mudah mengalahkan para pejahat tersebut. Azrax melawan para penjahat tanpa perlu keluar keringat, jangankan keluar keringat, bahkan sorban di kepala Azrax pun tak bergeser atau pindah posisi saat dia berkelahi.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az1.jpg) Usut punya usut ternyata perempuan yang di selamatkan oleh Azrax ternyata adalah seorang calon tenaga kerja wanita yang menolak saat akan diajak bekerja ke luar negeri. Hal ini jelas menimbulkan kemurkaan bagi agen tenaga kerja yang akan menyalurkannya ke luar negeri. Lagi-lagi Azrax harus berkelahi dengan para preman yang dibawa oleh agen tenaga kerja tersebut. Tapi rupanya karena kondisi belum makan siang & kita tau bahwa orang Indonesia rata-rata selalu cepat merasa kurang semangat kalau belum terkena makanan, maka Azrax kali ini harus menerima kekalahan. Azrax semakin kesan & marah dengan kondisi kekalahannya, apalagi begitu sesampainya di rumah dia mendapatkan kenyataan bahwa makan siang kesukaannya digondol kucing. Layaknya kemurkaan Anang karena KD digondol Raul, Azrax pun berteriak kesal & berjanji akan membalas dendam.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az7.jpg) Ternyata oh ternyata, kondisi tenaga kerja wanita ilegal ini pun telah meresahkan sebagai warga kampung yang anaknya pergi untuk menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri tanpa kejelasan status. Warga kampung berupaya mencari solusi dengan meminta tolong Azrax agar mau mencari anak mereka yang dikirim keluar negeri. Azrax yang saat itu sedang memberi makan ternak ikan koi pun tergugah untuk membantu warganya. Dengan didasari keinginan luhur serta rasa penasaran apakah para wanita itu akan menjadi korban-korban seperti di film ‘Hostel’, Azrax pun akhirnya berangkat ke ibukota dengan mengendarai mobil jeep dengan ban bigfoot & berbekal rantang berisi opor jantung pisang & ikan goreng sebagai menu kesukaan Azrax. Entah apa tujuannya sampai Azrax masih memikirkan untuk mengisi perutnya, Padahal apa susahnya membeli makan di jalan?

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az12.jpg) Sesampainya di ibukota Azrax langsung mengunjungi kantor agen pengiriman tenaga kerja, disitu Azrax bertemu dengan 2 orang pemuda yang juga ingin membongkar praktek ilegal tenaga kerja keluar negeri, Ricky (Mario Irwinsyah) & Budi (Yama Carlos). Dengan berbekal kesamaan tujuan & motivasi, maka mereka bertiga pun akhirnya sepakat untuk membongkar jaringan tenaga kerja ilegal ini dengan bersemboyankan sebuah kalimat mujarab hasil temuan Azrax yang mencerminkan kontemplasi budaya bangsa nan adiluhung yang berbunyi: EASY MAN!

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az3.jpg) Setelah mendengar kalimat ‘Easy Man‘ keluar dari mulut Azrax itu pun akhirnya mereka memutuskan pergi ke Hongkong untuk menelusuri dimanakah gadis-gadis Indonesia dijadikan pelacur?

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az4.jpg) Tapi tunggu dulu, sebelum Azrax berangkat ke Hongkong dimana berangkat ke Hongkong membutuhkan Visa & Passport, maka dengan tehnik rapalan mantera Harry Potter yang berbunyi Alohomora Accio, kemudahan pun cepat didapat oleh ketiga jagoan kita ini. Besok harinya mereka pun cepat dapat Visa & Passport, semua siap berangkat ke Hongkong, bahkan untuk Budi yang notabene sebagai preman pun semua siap tersedia. Tunggu dulu…. Preman memiliki Visa & Passport? Oke namanya juga film. Kalo di film Jagal seorang preman bisa dapat bintang kepahlawanan, kenapa di film ini preman tidak bisa mendapat Visa & Passport secara mudah? Ahh… Sudahlah nggak usah dipikirkan.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az6.jpg) Sebelum berangkat ke Hongkong Azrax & Budi pun telah membebaskan 2 orang tenaga kerja wanita yang disandera disebuah gudang bekas pabrik… Entah ya, kenapa di film indonesia selalu saja gudang dipakai sebagai lokasi penyanderaan. Padahal kenyataannya penyanderaan itu selalu berlokasi dirumah kontrakan atau dimarkas brimob. Tapi ya sudahlah, baiknya AA Gatot sajalah. Terserah Azrax juga kalau momentum klimaks membebaskan sandera cukup diisi aksi heroik dengan melontarkan kalimat ‘Cilukkk baaa…‘ Sebagai sebuah punchline.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az10.jpg) Entah apa yang ada diotak Azrax, mungkin tadinya Azrax mau berkata ‘You had me at cilukk baaa..‘ Sebagai sebuah punchline. Terserah kau sajalah ‘Zrax!

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az8.jpg) Singkat kata singkat cerita akhirnya Azrax, Budi & Ricky sampai ke Hongkong & berhasil membongkar komplotan pengekspor tenaga kerja ilegal setelah melakukan penggerebekan pada saat Subuh. Ide penggerebekan saat Subuh ini adalah ide Azrax karena terinspirasi oleh film ‘Janur Kuning‘. Tapi karena dijaman social media saat subuh adalah saat-saat dimana banyak akun tumblr mengupdate foto-foto yang membuat Tim Internet Sehat Kominfo kecolongan, maka otomatis strategi Azrax itu pun diketahui oleh para penjahat. Azrax pun berhasil mendapatkan informasi tentang tokoh utama dibalik penyaluran tenaga kerja ilegal ini. Tak disangka & tak diduga, ternyata otak dibalik semua ini adalah Mamang. Nah sekarang pertanyaannya siapakah Mamang? A. Bruce Wayne B. Verbal Kint Aka Keyser Soze C. Yayan Ruhiyan D. Entah Siapa, kita nggak akan peduli!

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az9.jpg) Tokoh Mamang ini pun ternyata tidak dijelaskan diawal atau dipertengahan film. Mamang disini terkesan misterius & memiliki pengaruh kuat seperti peran ‘Bunda‘ dalam kasus LHI & Fathanah. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa film ini seperti ingin memberikan twist ending yang tidak dapat diterka oleh penonton walaupun penonton tersebut memiliki ilmu menelisik super canggih milik Detektif Conan.

(http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/az11.jpg) Film ini adalah sebuah film yang tau bagaimana menyuguhkan tontonan yang membuat penontonnya lebih pintar dari pembuat filmnya. Ini adalah hal yang susah apalagi untuk ukuran film Indonesia. Rata-rata film Indonesia selalu ingin memberikan tontonan dengan ide terbaru yang padahal ide itu sama saja dengan film-film sebelumnya. Film ini berbeda, Azrax adalah sebuah film yang dibuat dengan keseriusan tingkat tinggi, bahkan saking seriusnya kita malah tidak bisa menemukan dimana keseriusannya & hasilnya kita malah terhibur dengan keminusan peran, ide cerita & plot cerita film ini yang benar-benar tidak ada kejelasannya sama sekali.

Oke saja kalau ide cerita film ini tentang human trafficking yang mengangat tentang tenaga kerja ilegal. Kita cukup tau ide cerita film ini, walaupun tidak menonton film ini pun kita tau nasib tenaga kerja kita di luar negeri seperti apa. Tapi dialog antara Mamang dengan Azrax tentang tenaga kerja sebagai pemasukan devisa pun cukup jelas & dapat dimengerti oleh siapapun yang memiliki intelijensia sekelas Olga Syahputra. Sekarang apalagi yang kurang dari film ini? Adegan laga khas ‘Mission : Impossible‘ dimana motor meloncati mobil pun ada di film ini. Trik-trik murahan berlebihan ala Robert Rodriguez pun bermunculan di film ini. Kalau kita bisa menerima film-film lebay seperti ‘Machete‘, ‘Hobo with a Shotgun‘. Kenapa kita tidak dapat suka dengan film Azrax ini? Masalahnya otak kita sudah terlalu banyak terisi dengan pencitraan bahwa sejelek & sebodoh apapun yang dibuat oleh Hollywood adalah bagus, maka kita akan menolak jika ada film lokal yang jelek & bodoh. Itulah kenapa semua banyak orang yan pesimis untuk tidak menonton film yang berlokasi syuting di Hongkong – Jakarta – Puncak ini.

Pertanyaannya adalah, apakah film ini jelek? Jawabannya adalah: IYA JELEK BANGET!

Lalu apakah film ini layak ditonton? Jawabannya adalah: IYA SANGAT LAYAK DITONTON!

Ibaratnya sebuah obat, ambil contoh saja obat itu bernama Xanax, separah apapun efek dari obat itu dikonsumsi tanpa resep dokter pun ternyata banyak orang yang mengkonsumsi Xanax tanpa resep dokter. Mungkin dengan analogi Xanax itu juga kenapa film ini diberi judul AZRAX! Pesan penulis hanya satu: tonton film ini, tertawalah sepuasnya tapi sebelumnya lebih baik jangan makan terlalu banyak, nanti muntah. (@ritvisu) PS : Nama-nama Brajamusti yang memenuhi deretan cast–nya juga biarlah menjadi misteri. Begitu juga dengan nama AZRAX. Posted in destinasian : indonesia Tags: AA Gatot, Ade Hutagaol, Aditya Pelani, Azrax, Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita, Baby Mameza Brajamusti, dedi setiadi, Didi Surya, Elma Theana, Gatot Brajamusti, Marbela Brajamusti, Mario Irwinsyah, movie, piet pagau, review, Reza Artamevia, Suci Patia Brajamusti, Viky Sianipar, Yama Carlos

THE INTERNSHIP : GOOGLE CRASHERS… AND FLASHDANCE! •September 9, 2013 • Leave a comment THE INTERNSHIP

Sutradara : Shawn Levy

Produksi : Regency Enterprises, Dune Entertainment, 20th Century Fox, 2013 (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti6.jpg)

You know ‘Google’. But what is ‘googliness’? Heard it or not, inilah ide dari Vince Vaughn lewat skrip yang ditulisnya bersama Jared Stern dari ‘The Watch’ dan ‘Mr. Popper’s Penguins’ untuk melanjutkan duo show comedy-nya bersama ‘Frat Pack-ers’ lain dalam ‘Wedding Crashers’, Owen Wilson. Carreer opportunities yang mungkin belum banyak diketahui orang-orang, kecuali tentu yang berkarir sebagai bagiannya. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti2.jpg)

Then also comes a risk. ‘The Internship’ pun banyak dituduh sebagai extended advertisement dari ‘Google’, mau mereka membantah company ini hanya sebatas mengizinkan dan mendukung ide itu tanpa mendanai. Dampak lebih jauhnya adalah banyaknya pandangan sebelah mata dari para kritikus pembenci aji mumpung. Tapi apapun itu, mau sebanyak apapun dialog-dialog advertise-like di dalamnya ; ‘Hey look! There’s this and that’ to an amazing working space and environment, Vaughn agaknya hanya menggunakan ‘Google’ sebagai vehicle ke zero to hero comedy yang ingin diusungnya. Formulaic, it is, but hey, this is summer comedy. A celebration to something called entertainment. Sah saja. Let’s see the plot. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti7.jpg)

Losing their job as luxurious watch salesmen dari Sammy Boscoe (John Goodman) yang mengaku usahanya sudah ketinggalan zaman, Billy MacMahon (Vince Vaughn) dan Nick Campbell (Owen Wilson) mengajukan lamaran mengikuti program internship di Google yang dirasa Billy sangat menarik. Tanpa disangka mereka diterima lewat interview online, dan seketika bergabung dengan peserta program internship lainnya, called ‘Nooglers’, bersaing dengan tujuan mendapatkan jaminan pekerjaan di company-nya. Tapi tentu tak semudah itu di tengah usia mereka dibanding para peserta lain. Billy dan Nick akhirnya terpaksa bergabung dengan rejected groups ; Yo-Yo Santos (Tobit Raphael), geeky homeschooled AsianAmerican, Stuart (Dylan O’Brien) yang serba nihilistik dan Neha (Tiya Sircar), cewek India over-enthusiast di bawah bimbingan Lyle (Josh Brener) yang juga paling dikucilkan diantara tim penilai. Menemukan tim mereka jadi bulan-bulanan bully tim jagoan yang dipimpin oleh peserta ambisius Graham Hawtrey (Max Minghella), dua post-age underdog ini pun berjuang memenangkan posisi terbaik, took challenge to challenge, termasuk mengambil hati Mr. Chetty (Aasif Mandvi), kepala program internship yang punya hati sekeras batu. And it’s crashing madness all over again. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti4.png)

Okay. First thing is do not listen to any bad critics. Hal terbaik dalam ‘The Internship’, selain tentunya chemistry smart-mouthed Vaughn dan awkward-acts Wilson bersama komedi yang sudah pasti mengalir dengan lancar dari Shawn Levy adalah skrip dari Vaughn dan Jared Stern. Skrip itu berhasil memanfaatkan banyak sisi yang ada dalam latar yang digunakannya sebagai vehicle yang benar-benar kokoh membangun komedi berikut konflik-konfliknya. Cliché and formulaic even to its characters as any zero to hero themes in movies, tapi juga luarbiasa informatif menggelar ide-idenya. Everything about ‘Google’ termasuk working environment dan filosofi-filosofi modernnya di era ini, dalam paduan yang pas bersama sickjokes-sickjokes ala ‘Frat Pack’ dan referensi-referensi yang asyik, which mostly hit our laugh-nerves hilariously. Plus scoring keren dari Christophe Beck, lengkap pula dengan resep wajib generasi komedian-komedian ini ke ‘80s pop culture, yang kali ini dituangkan lewat tribute-tribute ke ‘80s classic dance movie, ‘Flashdance!’, dari dialog hingga ke penggalan klimaks dengan theme song legendaris ‘What A Feeling’-nya Irene Cara yang tak kalah hebohnya (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti3.jpg)

Pemeran-pemeran pendukungnya juga juara. Selain John Goodman dan Will Ferrell’s special appearances, ada Dylan O’Brien – Tobit Raphael – Josh Brener dan Tiya Sircar yang bisa bergantian mengisi kegilaan Vaughn dan Wilson, Josh Gad sebagai the mysterious headphones guy, Max Minghella dalam typical villain role di film-film sejenisnya hingga Rose Byrne sebagai Google’s executive who’s Nick flirt with. Namun yang benar-benar mencuri perhatian adalah Aasif Mandvi. Memerankan Mr. Chetty bak seorang uncompromised military drill instructor, punchlines dan gestur aktor-komedian Indian-American ini melangkah lebih dari sekedar seorang komedian maupun supporting roles-nya di film-film yang selama ini kita saksikan. (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti8.jpg)

So yes, I’m telling you again. Do not listen to any bad critics. ‘The Internship’ is indeed a really hilarious comedy for this summer, sejauh Anda tak keberatan dengan cliché or formulaic things di dalamnya. Paling tidak, Vaughn dan Stern sudah menggelar informasi tentang ‘Google’ company dengan sangat menarik, told us clearly that these things do exist, dibalik sebuah comedy show yang lucu, terserah mau menganggap mana hidangan utama dan bonusnya. That you’ve got the meaning of ‘googliness’ or not, siapa bilang film komedi tak bisa punya konten informasi sebagai pengiring tawa dalam tendensi utamanya? It’s now the Google Crashers, and it’s Flashdancing-ly awesome! (dan) (http://danieldokter.files.wordpress.com/2013/09/ti1.jpg) Posted in on the funny side of the street Tags: Aasif Mandvi, Christophe Beck, Dylan O'Brien, Flashdance, Google, googliness, Irene Cara, Jared Stern, John Goodman, Josh Brener, Max Minghella, movie, Owen Wilson, review, rose byrne, Shawn Levy, The Internship, Tiya Sircar, Tobit Raphael, Vince Vaughn, Wedding Crashers, What A Feeling, Will Ferrell Dan At The Movies

Create a free website or blog at WordPress.com.

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.