Zarmayana's Blog | Learning without thinking is useless, but thinking ... [PDF]

Selain itu, penderita hemorrhoid juga perlu menjaga kebiasaan sehari-hari yang berkaitan dengan eliminasi fekal, terutam

5 downloads 26 Views 363KB Size

Recommend Stories


Feeling Without Thinking?
Ego says, "Once everything falls into place, I'll feel peace." Spirit says "Find your peace, and then

What is Lean Thinking?
The greatest of richness is the richness of the soul. Prophet Muhammad (Peace be upon him)

What is Strategic Thinking?
Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that

design thinking is
Be like the sun for grace and mercy. Be like the night to cover others' faults. Be like running water

making is thinking
I cannot do all the good that the world needs, but the world needs all the good that I can do. Jana

Thinking about Thinking
Come let us be friends for once. Let us make life easy on us. Let us be loved ones and lovers. The earth

PdF Download Lean Thinking
Those who bring sunshine to the lives of others cannot keep it from themselves. J. M. Barrie

PDF Download Thinking Physics
Don't watch the clock, do what it does. Keep Going. Sam Levenson

[PDF] Critical Thinking
Don't watch the clock, do what it does. Keep Going. Sam Levenson

(PDF) Deep Thinking
Never wish them pain. That's not who you are. If they caused you pain, they must have pain inside. Wish

Idea Transcript


Zarmayana's Blog Learning without thinking is useless, but thinking without learning is very dangerous! – Soekarno

What Girls Can Learn From Boys POSTED ON APRIL 30, 2011 BY ZARMAYANA 0 This gallery contains 1 photo. i 3 Votes Learn from them boy too! Nobody will win the battle of the sexes because there’s just too much fraternizing (pertemanan) with the enemy. Cowok dan cewek diciptakan untuk saling melengkapi. Kalau cowok bisa banyak belajar dari cewek, inilah yang harus … POSTED IN KNOWLEDGE, WORLD AROUND US TAGGED MOTIVATION

The Major Symptoms of Diabetes POSTED ON AUGUST 12, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This The Major Symptoms of Diabetes By Zarmayana Nur Khairunni, 1306464732 Nowadays, many people who evade of a healthy lifestyle with various reasons. In fact, avoid a healthy lifestyle would have diseases which are injurious to the body. One of the healthy lifestyles is intake of nutrients. Diabetes is one of the diseases that caused by a factor of nutrients. There were 9 million cases of diabetes in Indonesia in 2014, according to International Diabetes Federation. Diabetes in Indonesia, the ministry of health, believes this number will jump to 21.3 million by 2030. This number will continue to rise as some of them did not know the symptoms of diabetes or late to know that. The major symptoms of diabetes that can dettected without going to the doctor are polyphagia, polyuria, and polydipsia or 3P’s.

Polyphagia is the medical term which to describe excessive hunger or increased appetite. In a normal case, if the glucose enters the body, it will convert into glycogen by insulin and stored in the liver as energy reserves. Yet, in patients with diabetes, the glucose cannot get into target cells or transformed into glycogen to be stored in the liver. That because the insulin cannot work or can work with a slow operation. Therefore, there is no intake of glucose to the cells, that the condition causes the brain would think that the body is deprived of glucose so that the patient will continue to feel hungry and weak. The second symptom is polyuria, a condition usually defined as excessive or abnormally large production or passage of urine. Patients with diabetes, due to the insulin that are not able to turn glucose to glycogen makes glucose levels in the blood to be high. This condition cause hyperfiltration in the kidney, which also increasing the speed of filtration in the kidney. As a result, glucose and sodium absorbed the kidney into excess so that the urine that produced many and make patients become fast to pee and have a large production of urine. Polyuria can cause polydipsia. Polydipsia is the condition when someone increased thirst and fluid intake. Normally, the process of filtration in the kidneys are diffusion process, which is the filtration of a substance from the low to high pressure. However, in patients with diabetes who have high blood glucose causing a high concentration of glucose in blood vessels. Therefore, filtration process in the kidney turn to osmosis, the filtration of substance from high to low pressure. As a result, many substances of waters in the blood vessels move to the kidney, so the blood vessels have lost many substances of water or become low concentration that causing patient feels thirsty quickly and increase fluid intake. The 3P’s of diabetes are caused by the effects of diabetes on the body. Signs and symptoms of the above is a condition that causes discomfort for anyone. Be alert to the symptoms of diabetes early, it will save our lives or those around us. If you have any of these symptoms, it is important to contact your health-care provider right away. However, prevention still better than cure. So let’s take care of a healthy lifestyle from now. References Ministry of Health Republic Indonesia. (2009). Tahun 2030 prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Retrivied from http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-diindonesia-mencapai-213-juta-orang.html (http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html) International Diabetes Federation. (2014). Indonesia. Retrivied from http://www.idf.org/membership/wp/indonesia (http://www.idf.org/membership/wp/indonesia). POSTED IN FOOD AND DRINK, HEALTHY, KARDIOVASKULAR

Penatalaksanaan Hemorrhoid POSTED ON MAY 5, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This Penatalaksanaan Hemorrhoid Oleh Zarmayana Nur Khairunni

Hemorrhoid (piles) atau dikenal sebagai wasir merupakan kondisi dimana jaringan pembuluh darah melebar pada mukosa dubur. Penyebab pasti hemorrhoid belum diketahui, namun kndisi ini sangat terkait dengan sembelit, kehamilan, penuaan, dan faktor genetik. Hemorrhoid biasanya memunculkan gejala seperti pendarahan anus, rasa sakit atau prolaps. Penatalaksanaan hemorrhoid dapat dilakukan secara konservatif yaitu dengan obat dan tergantung pada derajat hemorrhoid. Derajat 1 dan 2 lah yang dapat ditatalaksana secara konservatif, sedangkan derajat 3 dan 4 perlu dilakukan tindakan invasif yaitu pengangkatan hemorrhoid dengan operasi di rumah sakit. Pada cara konservatif, selain menggunakan terapi farmakologi, hemorrhoid juga dapat diatasi dengan diet serat yang tinggi dan banyak cairan. Selain itu, penderita hemorrhoid juga perlu menjaga kebiasaan sehari-hari yang berkaitan dengan eliminasi fekal, terutama kebiasaan toilet yaitu melakukan kunjungan rutin ke toilet, tidak menahan defekasi, serta tidak mengejan keras. Oleh karena itu, agar didapatkan pemahaman yang luas, tulisan ini akan membahas tentang penatalaksanaan hemorrhoid secara non invasif dan invasif. Artikel penuh: Penatalaksanaaan_Hemorrhoid (https://croisant.files.wordpress.com/2015/05/penatalaksanaaan_hemorrhoid.pdf) password: hemorrhoid POSTED IN GASTROINTESTINAL, MEDIKAL BEDAH TAGGED BIPOLAR COAGULATION (BICAP), CRYOTHERAPY, DOPPLER ULTRASOUND PROBE, EKSISI HAEMORRHOIDECTOMY, ELASTIC BAND HEMORRHOID LIGATION, ELIMINASI FEKAL, FOTOKOAGULASI DENGAN INFRAMERAH, GALVANIC CURRENT, HAEMORRHOIDAL ARTERY LIGATION (HALO), HAEMORRHOIDECTOMY, HEMORRHOID, LAKSATIF, MANDI SITZ, PILES, SCLEROTHERAPY, STAPLED HAEMORRHOIDECTOMY, STAPLED HAEMORRHOIDOPEXY, TRANSANAL HAEMORRHOIDAL DEARTERIALISATION (THD)

Penatalaksanaan Medis dan Non-medis Stenosis Mitral POSTED ON MAY 5, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This Penatalaksanaan Medis dan Non-medis Stenosis Mitral Oleh Zarmayana Nur Khairunni, 1306464732

Stenosis mitral merupakan kondisi atau penyakit dimana katup mitral tidak mampu terbuka sepenuhnya. Hal ini menyebabkan hambatan bagi jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh diakibatkan oleh meningkatknya kerja yang dibutuhkan untuk memompa darah melalui stenosis mital. Stenosis mitral menurunkan jumlah darah yang dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama diastol. Pada kondisi ini, ketika detak jantung meningkat, diastole menjadi singkat sehingga jumlah darah yang keluar sedikit. Peningkatan detak jantung berpotensi menurunkan curah jantung dan peningkatan tekanan pulmoner sehingga memungkinkan terjadinya darah dari atrium kiri kembali ke pembuluh paru (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010)

Penatalaksanaan medis stenosis mitral ditujukan untuk menghilangkan atau menurunkan kemungkinan penurunan curah jantung dan terjadinya kongesti paru (Porth & Matfin, 2009). Klien dengan riwayat demam reumatik, dapat diberikan profilaksis antibiotik terhadap bakteri yang menyebabkan demam reumatik (streptococcus grup A betahemolitik). Secara primer, pencegahan faringitis streptokokus grup A rekuren adalah metode paling efektif untuk mencegah penyakit jantung reumatik berat (pencegahan sebelum reumatik berkembang/berulang) (Northwestern Medicine, 2015). Namun, Demam reumatik dapat berulang bahkan ketika infeksi simptomatik diobati secara optimal. Oleh karena itu, pencegahan demam reumatik membutuhkan profilaksis antibiotik jangka panjang. Profilaksis antibiotik jangka panjang adalah metode paling efektif mencegah rekurensi demam reumatik. Profilaksis jangka panjang direkomendasikan pada pasien dengan riwayat demam reumatik dan pada pasien yang telah didiagnosis penyakit jantung reumatik (Almazini, 2014).

Profilaksis sebaiknya dimulai segera setelah demam reumatik akut atau penyakit jantung reumatik didiagnosis. Untuk memusnahkan residual streptokokus grup A, penisilin sebaiknya diberikan pada pasien demam reumatik akut, bahkan jika hasil kultur tenggorokan negatif (Almazini, 2014). Terdapat lima hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lama profilaksis adalah (1) riwayat rekurensi sebelumnya, (2) risiko pajanan terhadap infeksi streptokokus grup A, (3) saat serangan terakhir, (4) umur pasien, dan (5) keterlibatan jantung. Demam reumatik dengan karditis dan penyakit jantung residual (penyakit katup persisten menggunakan profilaksis selama 10-40 tahun. Pada saat itu, ditentukan tingkat keparahan penyakit katup dan potensial pajanan terhadap streptokokus grup A, dan profilaksis (bisa sampai seumur hidup) sebaiknya dilanjutkan pada pasien risiko tinggi (Almazini, 2014).

(https://croisant.files.wordpress.com/2015/05/2.png)

Selain pemberian profilaksis, jika pasien dalam keadaan fibrilasi atrium, klien dapat diberikan terapi antikoagulasi dengan tujuan untuk mengendalikan laju ventrikel dan mencegah emboli sistemik (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Selain itu, terapi antikoagulasi ini juga digunakan untuk mengurangi risiko perkembangan trombus atrium (Porth & Matfin, 2009). Antikoagulan ini penting diberikan untuk mencegah stroke akibat embolus yang timbul dari atrium fibrillating. Fibrilasi atrium juga dapat dikontrol dengan Calsium Channel Blocker dan Beta-Blocker. Denyut ventrikel dapat diperlembat dengan pemberian beta-blocker IV atau Calsium channel blocker (dilitiazem atau verapamil). Denyut atau ritma jantung dapat dikontrol dengan beta-blocker oral, Calsium Channel Blocker, amiodarone, atau digoxin (Dima, 2014). Kontraindikasi pemberian beta-blocker dan CCB ini ialah irama sinus normal.

Penggunaan beta-blocker pada pasien dengan irama sinus normal dapat memperpanjang waktu pengisian diastolik sehingga mengurangi tekanan atrium kiri. Secara umum, penurunan afterload harus dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi (Dima, 2014). Selain itu, klien dengan stenosis mitral memiliki kemungkinan untuk menderita anemia sehingga dibutuhkan pengobatan untuk anemianya. Namun, perlu diperhatikan bahwa manajemen untuk menghindari anemia dan fibrilasi atrium dapat memicu dekompensasi dan gagal jantung (Aaronson, Ward, & Connolly, 2013). Perlu diperhatikan bahwa klien dengan stenosis mital harus menghindari aktivitas yang berat dan olahraga yang kompetitif untuk menghindari peningkatan denyut jantung (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Namun, apabila terjadi embolisasi berulang pada klien, maka perlu dilakukan tindakan bedah meskipun terapi antikoagulasi memadai (Dima, 2014). Intervensi bedah termasuk balon valvotomi, commissurotomy, dan perbaikan atau penggantian katup dapat digunakan untuk mengatasi penyakit katup mitral degeneratif dan fungsional (Porth & Matfin, 2009). Balon valvotomi atau Percutaenus Balloon Mitral Valvotomy (PBMV) merupakan suatu tindakan minimal invasif untuk memperlebar katup mitral jantung yang menyempit (Heart Consult, 2010). Tindakan ini menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter, yaitu selang yang ditusukkan pada daerah lipat paha hingga sampai ke jantung. Indikasi untuk dilakukan PBMV adalah sebagai berikut: (1) Pasien memperlihatkan gejala-gejala mitral stenosis, (2) Terdapat akumulasi cairan di paru-paru (Pulmonary oedema), dan (3) Pumlonary hypertension disertai disfungsi ventrikel sinistra. Sedangkan kontraindikasinya adalah thrombus atau jendalan darah pada ventrikel sinistra, regurgitasi mitral (aliran darah balik dari atrium sinistra ke ventrikel sinistra) yang cukup parah atau deformitas pada valva tricuspidalis. Pada kondisi tersebut, tindakan PBMV tidak disarankan (Heart Consult, 2010). Mitral Valve Commisurrotomy merupakan prosedur yang dilakukan untuk membuka komisura yang menyatu pada katup mitral. Mitral valve commissurotomy dapat dilakukan perkutan dengan kateter balon atau pembedahan melalui torakotomi kiri (Porth & Matfin, 2009). Prosedur ini dilakukan bagi klien yang memiliki penyempitan katup yang parah namun tidak terindikasi dengan baik untuk dilakukan balon valvotomi (Healthwise Staff, 2011). Prosedur MVP dilakukan dengan membuka komisura yang menyatu dengan jaringan parut, mengurangi gradien dan meningkatkan daerah katup. Mitral valve replacement (MVR) merupakan prosedur bedah jantung yang dilakukan untuk mengganti katup mitral pasien yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan katup jantung buatan (baik itu mekanik maupun bioprostetik). Pasien dengan pasca mitral valve repair tidak memerlukan obat pengencer darah dan pasien dapat hidup seperti pada populasi normal lainnya, sedangkan pada pasien dengan replacement/penggantian katup harus minum obat pengencer darah selama 3 bulan (bioprostetik) atau seumur hidup (mekanik). Ada dua kelompok besar katup mitral buatan: katup mekanik dan katup biologis (Reza & Hanafy, 2012). Katup mekanik dibuat dari logam dan pyrolytic carbon, yang dapatbertahan selama seumur hidup. Pasien dengan katup mekanik harus minum obat pengencer darah selama seumur hidup untuk mencegah terjadinya pembekuan darah. Sedangkan katup bioprostetik adalah katup buatan yang dibuat dari jaringan hewan. Pasien dengan katup jenis ini tidak perlu minum obat pengencer darah seumur hidupnya. Namun katup ini hanya bertahan antara 10-15 tahun dan perlu diganti kembali dengan proses operasi lagi (Cooper, 2013). Pemilihan jenis katup yang akan digunakan tergantung dari usia pasien, kondisi medis pasien, tempat tinggal pasien, dan kepatuhanpasien terhadap pengobatan (Sundt, 2014). Referensi Aaronson, P., Ward, J., & Connolly, M. (2013). The Cardiovaskular System at a glance (4th ed.). London: John Wiley & Sons, Ltd. Almazini, P. (2014). Antibiotik untuk Pencegahan Demam Reumatik Akut dan Penyakit Jantung Reumatik. IAI Continuing Profesional Development, 41(7), 497-501. Retrieved April 17, 2015, from http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_218CPD_Antibiotik%20untukPencegahan%20Demam%20Reumatik%20Akutdan%20Penyakit%20Jantung%20Reumatik.pdf (http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_218CPD_Antibiotik%20untukPencegahan%20Demam%20Reumatik%20Akutdan%20Penyakit%20Jantung%20Reumatik.pdf) Cooper, M. (2013). Mitral valve surgery – minimally invasive. Retrieved April 18, 2015, from Medline Plus: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007411.htm (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007411.htm)

Dima, C. (2014). Mitral Stenosis Treatment & Management. (L. Prisant, Editor) Retrieved April 17, 2015, from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/155724-treatment (http://emedicine.medscape.com/article/155724treatment) Healthwise Staff. (2011). Mitral Valve Repair Surgery (Commissurotomy) for Mitral Valve Stenosis. Retrieved April 18, 2015, from Healthwise: https://www.cardiosmart.org/healthwise/abn0/755/abn0755 (https://www.cardiosmart.org/healthwise/abn0/755/abn0755) Heart Consult. (2010). Mitral Valvuloplasty. Retrieved April 18, 2015, from Heart Consult: http://www.heart-consult.com/articles/mitral-valvuloplasty (http://www.heart-consult.com/articles/mitral-valvuloplasty)

Northwestern Medicine. (2015). Mitral Valve Regurgitation, Stenosis, and Prolapse. Retrieved April 17, 2015, from Northwestern Medicine: http://heartvalvedisease.nm.org/mitral-valve-regurgitation-stenosis-and-prolapse.html (http://heartvalvedisease.nm.org/mitral-valve-regurgitation-stenosis-and-prolapse.html) Porth, C. M., & Matfin, G. (2009). Pathophysiology Concepts of Altered Health States (8th Edition ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Reza, G., & Hanafy, D. (2012). Mital Valve Replacement (VMR). Retrieved April 18, 2015, from Bedah Jantung: http://www.bedahjantung.org/2012/12/mitral-valve-replacement-mvr.html (http://www.bedahjantung.org/2012/12/mitralvalve-replacement-mvr.html) Smeltzer, S. C., Bare, B., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing (12nd Edition ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Sundt, T. (2014). Mitral Valve Replacement. Retrieved April 18, 2015, from The Society of Thoracic Surgeon: http://www.sts.org/patient-information/valve-repair/replacement-surgery/mitral-valve-replacement (http://www.sts.org/patient-information/valve-repair/replacement-surgery/mitral-valve-replacement) Sumber Gambar http://www.cts.usc.edu/graphics/valves-mechanical-biological.gif (http://www.cts.usc.edu/graphics/valves-mechanical-biological.gif) http://www.heart-consult.com/articles/mitral-valvuloplasty (http://www.heart-consult.com/articles/mitral-valvuloplasty) http://emedicine.medscape.com/article/155724-treatment (http://emedicine.medscape.com/article/155724-treatment) POSTED IN KARDIOVASKULAR, MEDIKAL BEDAH TAGGED DEMAM REMATIK, KATUP MITRAL, MITRAL VALVE COMMISURROTOMY, MITRAL VALVE REPLACEMENT (MVR), PBMV, PERCUTAENUS BALLOON MITRAL VALVOTOMY, PROFILAKSIS, STENOSIS MITRAL

Gangguan Eliminasi Urin pada Klien dengan Gagal Jantung POSTED ON MARCH 21, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This Gangguan Eliminasi Urin pada Klien dengan Gagal Jantung Oleh Zarmayana Nur Khairunni, 1306464732 Outline: 1. 2. 3. 4.

Patofisiologi Gagal Jantung terkait Eliminasi Urin Pengkajian dan Uji Diagnostik Penatalaksanaan Gangguan Eliminasi Urin pada Klien Gagal Jantung Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Mekanisme (patofisiologi) gangguan eliminasi urin pada pasien gagal jantung dapat dikaitkan dengan komplikasi dari gagal jantung tersebut terhadap sistem eliminasi urin. Secara garis besar, penyakit gagal jantung menyebabkan tiga hal yang berhubungan dengan gangguan eliminasi urin, yaitu penurunan curah jantung, tekanan darah sistemik, dan aliran darah ke ginjal (Brashers, 2010). Penurunan curah jantung dan tekanan darah sistemik menyebabkan aktivasi baroreseptor sehingga pusat regulasi vasomotor di medulla terangsang dan menyebabkan kenaikan aktivaitas sistem saraf simpatik (Brashers, 2010).

Kenaikan aktivitas sistem saraf simpatik menyebabkan sekresi epinerfrin dan norepinefrin secara besar-besaran (Williams & Hopper, 2007). Kemudian, norepinefrin menstimulasi reseptor alfa1-adrenergik yang menyebabkan kontriksi pembuluh sehingga menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun (Silbernagl & Lang, 2000). Selain itu, kenaikan aktivitas sistem saraf simpatik ini juga memicu sekresi renin oleh ginjal (Silbernagl & Lang, 2000). Renin juga dipicu oleh penurunan aliran darah ke ginjal. Selanjutnya, renin menyebabkan aktivasi RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone system) yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh, sekresi aldosteron, sekresi ADH (Williams & Hopper, 2007), dan kenaikan fraksi filtrasi. Kenaikan fraksi filtrasi menyebabkan tekanan osmotik glomerulus meningkat sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Penurunan laju filtrasi glomerulus ini dapat menyebabkan oliguria (Porth & Matfin, 2009) dan anuria. Kemudian, sekresi aldosteron menyebabkan retensi garam dan air, peningkatan reabsorbsi garam dan air, serta penurunan eksresi garam (Brashers, 2010). Retensi garam dan air akan menyebabkan kenaikan tekanan kapiler pulmonar dan vena, sehingga dapat menyebabkan penimbunan cairan dalam ruang intersitial (Silbernagl & Lang, 2000). Penimbunan ini dapat menyebabkan edema perifer. Pada siang hari, edema perifer menunjukkan penumpukan pada eksstremitas terutama tungkai akibat gravitasi (Silbernagl & Lang, 2000). Sehingga pada malam hari, ketika tubuh terbaring, cairan dibawah kaki kembali ke sistem peredaran darah. Hal ini menyebabkan aliran darah ke ginjal dan filtrasi meningkat sehingga dapat terjadi nokturia diuresis hingga 6x (Williams & Hopper, 2007) (Silbernagl & Lang, 2000). Selanjutnya, peningkatan reabsorbsi garam dan air dan sekresi ADH dapat menyebabkan pengeluaran urine menjadi sedikit atau oliguria (Williams & Hopper, 2007).

Untuk mengetahui tentang tingkat keparahan gangguan eliminasi pada klien dengan gangguan ginjal, maka perawat juga perlu mengetahui pengkajian dan nilai laboratorium pada gangguan terkait. Pasa proses pengkajian, yang perawat akan kaji ialah riwayat keperawatan, status hidrasi, dan pemeriksaan urine serta menghubungkan data yang didapat dengan hasil pemeriksaan dan prosedur diagnostik (Kozier, Erb, Berwan, & Burke, 2007). Pada wawancara pengkajia, perawat dapat menanyakan tentang pola berkemih seperti berapa kali pasien berkemih dalam satu hari, perubahan pola dalam beberapa waktu terakhir, dan tingkat bangun pada malam hari untuk berkemih. Selanjutnya, dapat juga dikaji tentang masalah eliminasi urin sperti jumlah urine yang dikeluarkan dan tingkat keseringan berkemih.

Selain itu, perawat juga mengkaji hal-hal lain seperti obat-obatan yang dikonsumsi klien, asupan cairan, faktor lingkungan, dan kondisi penyakit yang dialami. Selanjutnya pada pengkajian fisik, pada umumnya klien gagal jantung akan mengalami edema. Apabila perawat menemukan edema, maka hal tersebut perlu diwaspadai. Selain itu, pada pengkajian urine, perawat mengkaji tentang haluaran urine klien. Seseorang yang mengalami gagal jantung, mengalami oliguria atau memiliki haluaran urine kurang dari 500mL per hari (Kozier, Erb, Berwan, & Burke, 2007). Selain itu, terkadang ditemukan proteinuria atau hematuria di dalam urine klien apabila gagal jantung yang dialami sudah berat. Selanjutnya, dapat dilakukan uji bersihan kreatinin. Uji bersihan kreatinin menggunakan urine 24 jam dan kadar kreatinin serum untuk menentukan laju filtrasi glomerulus, sebuah indikator fungsi ginjal yang sensitive. Peningkatan kreatinin (>0,6 – 1,3 mg/dl pada pria; Wanita 0,5 – 0,9 mg/dl) dalam darah menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka.

Sebagai seorang perawat professional, perawat juga mempelajari dan menguasai tentang penatalaksaan medis serta implikasi keperawatannya. Penatalaksanaan medis gangguan eliminasi pada klien dengan gangguan gagal jantung terdapat dua sisi, yaitu non farmakologi dan farmakologi. Secara non farmakologi, dapat dilakukan pembatasan asupan cairan dan natrium dan manajemen berat badan (Porth & Matfin, 2009); Hal ini dikarenakan tingkat asupan cairan dan sosium mempengarungi tingkat keparahan gagal jantung dan output urine itu sendiri. Sedangkan secara farmakologi (Williams & Hopper, 2007) (Porth & Matfin, 2009), hal yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan obat berikut. 1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) 1. Cara kerja: Menghambat pembentukan Angiotensin II sehingga menurukan retensi garam dan air. 2. Nama obat: Captopril (Capoten), Enalapril (Vasotec), Fosinopril (Monopril), Lisinopril (Prinivil, Zestril), Moexipril (Univasc), Perindopril (Aceon), Quinapril (Accupril), Ramipril (Altace), Trandolapril (Mavik) 3. Efek samping: Batuk, hipotensi, ruam, proteinuria, hiperkalemia, angioedema (dyspnea, wajah bengkak), neutropenia (dengan kaptopril). 4. Implikasi keperawatan: 1. Periksa tekanan darah sebelum memberikan obat. 2. Pantau WBC dengan kaptopril. 3. Ambil kaptopril dan moexipril pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan). 4. Ajarkan pasien untuk melaporkan perkembangan batuk, sehingga obat dapat diubah jika ada perubahan. 5. Ajarkan pasien untuk memeriksa tekanan darah setiap minggunya dan melaporkan perubahan ke dokter. 6. Ajarkan pasien untuk melaporkan jika terjadi ruam, sakit tenggorokan / mulut, demam, pembengkakan tangan / kaki / wajah / lidah, kesulitan bernapas / menelan, nyeri dada atau detak jantung tidak teratur. 2. Diuretik 1. Cara kerja: Menaikkan kecepatan pembentukan urin dan menaikkan eksresi natrium dan air serta menghancurkan garam yang tersimpan di dalam tubuh. 2. Nama obat: Bumetanide, Furosemide, Torsemide 3. Efek samping: Hipokalemia, hipokloremia, hypomagnesemia, hiponatremia, dehidrasi, hipotensi 4. Implikasi keperawatan: 1. Jangan memberikan loop atau diuretik thiazide pada pasien sulfa-alergi. 2. Mengambil tekanan darah dan denyut nadi sebelum memberikan obat. 3. Pantau kadar elektrolit (khususnya tingkat kalium dan bagi mereka pada digitalis), dan status cairan (bobot harian, asupan, output, haus, mulut kering, lemah, oliguria) seluruh terapi. 4. Mengelola gaya hidup pasien (biasanya dalam AM) untuk menghindari nokturia. 3. Angiotensin II Receptor Inhibitor 1. Cara kerja: Memblok aksi angiotensin II 2. Nama obat: Kaptopril, Enalapril, Lisinopril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril 3. Efek samping: Sakit kepala, pusing, angioedema (dyspnea, pembengkakan wajah) 4. Implikasi Keperawatan: 1. Mengambil tekanan darah dan denyut nadi sebelum memberikan obat. 2. Ajarkan untuk mengubah posisi secara perlahan untuk mengurangi hipotensi ortostatik. 3. Ajarkan untuk melaporkan apabila terjadi ruam, sakit tenggorokan / mulut, demam, pembengkakan tangan / kaki / wajah / lidah, kesulitan bernapas / menelan, nyeri dada atau detak jantung tidak teratur. 4. Penyekat reseptor beta adrenergic 1. Cara kerja: Menurunkan angiotensin II sehingga menghambat sekresi rennin dari sel jukstaglomerular ginjal 2. Nama obat: Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Concept: Betaxolol, Bisoprolol, Pindolol, Acebutolol, Penbutolol 3. Efek samping: Pusing, hipotensi, hiperglikemia, retensi cairan, diare, bradikardia, impotensi, bronkospasme (carvedilol) 4. Implikasi keperawatan: 1. Hindari karvedilol pada pasien dengan asma (menyebabkan bronkospasme). 2. Periksa denyut jantung dan tekanan darah apikal. Jika denyut jantung di bawah 50 atau tekanan darah sistolik di bawah 100, hubungi dokter sebelum memberikan obat. 3. Ajarkan untuk mengecek denyut nadi harian dan tekanan darah dua kali seminggu dan menghubungi dokter sebelum mengkonsumsi obat jika denyut nadi di bawah 60. 4. Ajarkan untuk mengubah posisi secara perlahan untuk mengurangi hipotensi ortostatik. Selain mengetahui tentang penatalaksanaan medis, perawat tentu juga mengetahui tentang diagnosa keperawatan terkait. Terdapat beberapa diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan gangguan eliminasi pada pasien gagal jantung. Diantaranya ialah gangguan pola tidur dan kelebihan volume cairan. Berikut diagnosa keperawatan dan intervensinya secara lebih rinci. Pola tidur yang terganggu terkait dengan nokturia dan ketidakmampuan untuk berbaring dan tidur dengan nyaman (Williams & Hopper, 2007) Intervensi: 1. 2. 3. 4.

Mengidentifikasi hambatan untuk tidur. Membantu pasien dalam mengidentifikasi posisi kenyamanan untuk tidur. Ajarkan penyebab pasien dyspnea di malam hari. Dorong pasien untuk berbaring selama 30 sampai 60 menit sebelum tidur. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gagal jantung dan penurunan sekunder dalam aliran darah ginjal untuk filtrasi(Williams & Hopper, 2007).

Intervensi: 1. 2. 3. 4.

Memantau edema, berat badan, jugularis vena distensi (JVD), paru-paru ronki. Mengurangi asupan natrium seperti yang diperintahkan dokter. Berikan diuretik atau inotropik yang sesuai. Pantau asupan dan keluaran.

Referensi Brashers, V. (2010). Alterations of cardiovascular function. In K. L. McCance, & S. E. Huether, Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. St. Louis: Mosby. Kozier, B., Erb, G., Berwan, A., & Burke, K. (2007). Fundamentals of Nursing: Concepts. Process, and Practice. (8th Edition ed., Vol. 2). New Jersey: Prentice Hall Health. Porth, C. M., & Matfin, G. (2009). Pathophysiology Concepts of Altered Health States (8th Edition ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Silbernagl, S., & Lang, F. (2000). Color Atlas Of Pathophysiology. Newyork: Thieme. Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing (3rd Edition ed.). Philadelphia: F. A. Davis Company. POSTED IN KEPERAWATAN TAGGED ANGIOTENSIN II RECEPTOR INHIBITOR, ANURIA, DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN, DIURETIK, EDEMA, ELIMINASI URIN, FRAKSI FILTRASI, GAGAL JANUNG, GANGGUAN ELIMINASI URIN PADA KLIEN DENGAN GAGAL JANTUNG, KEPERAWATAN, NERS, NOKTURIA, NURSE, OLIGURIA, PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG, PENATALAKSANAAN GANGGUAN ELIMINASI URINE, PENGHAMBAT ENZIM KONVERSI ANGIOTENSIN (ACEI), PENGKAJIAN DAN UJI DIAGNOSTIK, PENYEKAT RESEPTOR BETA ADRENERGIC, PERAWAT, POLA TIDUR YANG TERGANGGU TERKAIT DENGAN NOKTURIA DAN KETIDAKMAMPUAN UNTUK BERBARING DAN TIDUR DENGAN NYAMAN, RESEPTOR ALFA1-ADRENERGIK POSTED ON FEBRUARY 19, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This Dasar-dasar Metodologi Penelitian Oleh Zarmayana Nur Khairunni, 1306464732

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan proposal penelitian seperti kriteria judul proposal penelitian, kata kunci, latar belakang, pertanyaan penelitian, penulidan literatur, plagiarisme, tinjauan pustaka, kerangka teori dan kerangka konsep, variabel penelitian, definisi operasional, siklus empiris penelitian, dan etik penelitian. POSTED IN PENELITIAN TAGGED BENEFI'CENCE, DAN TAJAM, DAN VARIABEL PENGGANGGU ATAU VARIABEL RANCU, DEFINISI OPERASIONAL, DISERTASI, EMBASE, ETIK PENELITIAN, FASE DEDUKSI, FASE INDUKSI, FASE OBSERVASI, FASE PERCOBAAN, FINER, JUSTICE, KATA KUNCI, KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP, KNOWLEDGE GAP, KRITERIA JUDUL PROPOSAL PENELITIAN, LATAR BELAKANG, LATAR BELAKANG SEBUAH PROPOSAL PENELITIAN DIANGGAP BAIK, MANFAAT PENELITIAN, MEDICUS/MEDLINE, METODOLOGI PENELITIAN, NONMALEFICENCE, OBJECTIVITY, PENELITIAN, PENULIDAN LITERATUR, PERTANYAAN PENELITIAN, PLAGIARISME, PROQUEST, RESPECT FOR PERSON, SIKLUS EMPIRIS PENELITIAN, SKRIPSI, SPESIFIK, TAHAP EVALUASI, TERFOKUS, TESIS, TINJAUAN PUSTAKA, TUJUAN KHUSUS PENELITIAN, TUJUAN UMUM PENELITIAN, VALIDITY, VARIABEL ANTARA, VARIABEL BEBAS, VARIABEL PENELITIAN, VARIABEL TERIKAT

Aliran Darah Saat di Jantung (Blood Flow Through the Heart) POSTED ON FEBRUARY 17, 2015 BY ZARMAYANA 0 i 1 Votes POSTED IN ILMU BIOMEDIK DASAR, KEPERAWATAN DASAR IV, SIKKULASI TAGGED ALIRAN, ALIRAN DARAH, ATRIUM, BIOLOGY, BIOMEDIC, BLOOD, BLOOD FLOW, CIRCULATION, COLLEGE, CORONARY SINUS, DARAH, FLOW, HEART, HUMAN, HUMAN ANATOMY, JANTUNG, NURSE, PARU-PARU, PULMO, PULMONARY TRUNK, RIGHT ATRIUM, SIRKULASI, TRICUSPID VALVE, VALVE, VENTRIKEL

Peran Negara dalam Menangani Kasus Korupsi POSTED ON FEBRUARY 3, 2015 BY ZARMAYANA 0 i Rate This Abstrak Saat ini nilai-nilai Pancasila tidak lagi memiliki keselarasan dengan tingkah laku sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya, korupsi pun terjadi dimana-mana termasuk elite politik yang seharusnya menjunjung tinggi moralitas. Oleh karena itu, tulisan ini membahas dan mengkaji tentang peran negara dalam menangani kasus korupsi agar pembaca mengetahui peran negara yang ideal. Penulis menggunakan studi literatur dan wawancara. Secara garis bear, peran negara tersebut terdapat dua yaitu strategi penindakan dan pencegahan. Peran negara ini dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kata Kunci : eksekutif, korupsi, legislatif, peran negara, undang-undang, dan yudikatif

Indonesia sebagai negara Pancasila memiliki hakikat sebagai negara persatuan, integralistik, kebangsaan yang berketuhanan, berkeadaban, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Secara teori, Indonesia sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila dapat menjadi negara yang bebas dan bersih dari korupsi. Namun, saat ini korupsi benar-benar menjadi tindakan mengakar yang mampu menghancurkan Indonesia dari dalam. Korupsi juga telah melibatkan hampir semua orang dari berbagai kalangan dan status sosial masyarakat. Negara memegang peran penting dalam menangani dan mencegah tindak pidana korupsi. Peran tersebut dilaksanakan agar terwujud Indonesia yang sukses, baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas peran negara dalam menangani kasus korupsi. Peran negara dalam menangani korupsi dapat ditinjau dari dua strategi, yaitu strategi penindakan dan pencegahan. Pelaksanaan strategi pencegahan oleh badan eksekutif, yudikatif, legislatif, dan seluruh anggota masyarakat dikarenakan korupsi tak hanya diprakarsai oleh pejabat. Namun, terkadang korupsi diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri, seperti ingin mendapat pelayanan yang lebih cepat. Sedangkan pada strategi penindakan dilakukan oleh badan eksekutif, badan legislatif, dan badan yudikatif. Ketiga badan tersebut melakukan tugasnya dengan sistem pembagian kekuasaan dan kerja sama. (Budiarjo, 2008 dalam Markum, Meinarno & Juneman, 2011 dalam Dewi, Soemiarno, Poerbasari, & Meinarno, 2013). Sebagai contoh, dalam pembuatan undang-undang tentang korupsi, badan legislatif tidak dapat menjadi satu-satunya lembaga yang membuat undang-undang.

Hal tersebut diberlakukan untuk menjaga kelancaran organisasi dan mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari badan legislatif, sehingga dibutuhkan badan yudikatif sebagai badan yang menguji undang-undang tersebut (Markum, Meinarno & Juneman, 2011 dalam Dewi, Soemiarno, Poerbasari, & Meinarno, 2013). Akan tetapi, dalam melaksanakan tugas menyusun APBN, lembaga eksekutif harus bekerja sama dengan lembaga legislatif, Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir terjadinya korupsi dari dana tersebut dan pelanggaran dari hak-hak rakyat. Hal tersebut juga sebagai bentuk pengawasan rakyat terhadap badan eksekutif melalui badan legislatif. Selain badan legislatif dan eksekutif, fungsi dari badan yudikatif harus menjadi fungsi terpisah dari pengaruh lembaga lainnya. (Van Vollenhoven dalam Soebagio, Abdirrahman, Situmorang, Soemarso, Dharmono, Nurcahyo, & Hertanto, 2001).

Pada kasus korupsi, fungsi yudikatif sebagai badan yang menyelesaikan perkara perdata berbagai pihak di pengadilan harus bebas dari pengaruh badan manapun agar menghasilkan keputusan yang adil, bijaksana, dan tepat serta tidak sewenang-wenang (Van Vollenhoven dalam Soebagio, Abdirrahman, Situmorang, Soemarso, Dharmono, Nurcahyo, & Hertanto, 2001). Jika tidak menjadi badan yang bebas, maka akan terjadi kasus korupsi dalam badan yudikatif sendiri seperti hakim yang menerima ‘uang pelicin’. Selain itu, peran negara dalam menangani korupsi dapat ditinjau dari dua strategi, yaitu strategi penindakan dan pencegahan. Pada stategi penindakan, badan yudikatif harus mengadili semua pelaku tindak korupsi tanpa pandang bulu (Adjis & Akasyah, 2004).

Strategi penindakan tersebut juga membutuhkan dukungan dari badan eksekutif dan legislatif agar dapat berjalan dengan baik. Sedangkan pada strategi pencegahan yang dapat dilakukan oleh negara seperti membuat undang-undang korupsi yang tegas dan menjadi wadah untuk segala perbuatan korup berbagai bidang (Adjis & Akasyah, 2004). Selain itu, pelaksanaan undang-undang tentang korupsi harus dilakukan secara konsisten, simultan, dan konsekuen serta disosialisasikan kepada masyarakat dan pejabat.

Kestabilan peran negara sangat penting dijaga karena dapat mempengaruhi kondisi internal eksternal negara tersebut.Berdasarkan bentuk negara dan ideologi yang dianut oleh Indonesia, peran negara yang ideal dalam menangani korupsi terbagi menjadi dua strategi, yaitu pencegahan dan penindakan. Kedua strategi ini membutuhkan pengawasan dari setiap lapisan masyarakat dan lembaga negara. Hal tersebut bertujuan agar peran negara tetap berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Pengawasan tersebut juga bertujuan agar terjaga kelancaran organisasi dan meminimalisir terjadinya kekurangan dalam kekuasaannya. Sebaiknya, masyarakat meninggalkan sikap apatis dan menanam serta mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dengan sungguh-sungguh agar pengawasan tersebut dapat berjalan optimal. Daftar Pustaka Adjis, CA. & Dudi Akasyah. 2004. Pengantar kriminologi perspektif sosiologi, hukum, kepolisian, dan hukum. Jakarta: Indonesian Crime Research Institute. Dewi, RI., Soemiarno, S., Poerbasari, AS., & Eko A. Meinarno. 2013. Mata kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi a buku ajar III, bangsa, negara, dan pancasila. Depok: LPFEUI. Soebagio, DT., Abdirrahman, L., Situmorang, T., Soemarso, M., Dharmono, B., Nurcahyo, H., & Ari Wahyudi Hertanto. 2001. Ilmu negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Oleh: Zarmayana Nur Khairunni – 1306464732 – Ilmu Keperawatan POSTED IN EKSEKUTIF, LEGISLATIF, MASYARAKAT, PANCASILA, PEMBUATAN UNDANG-UNDANG TENTANG KORUPSI, PENCEGAHAN, POLITIK, STRATEGI PENINDAKAN, UNDANG-UNDANG, YUDIKATIF TAGGED KORUPSI, MPKT A, PERAN NEGARA, PERAN NEGARA DALAM MENANGANI KASUS KORUPSI, PKN Zarmayana's Blog

Smile Life

When life gives you a hundred reasons to cry, show life that you have a thousand reasons to smile

Get in touch

© Copyright 2015 - 2024 PDFFOX.COM - All rights reserved.